Salin Artikel

Kisah Vivin, Rintis Batik dari Pelosok Desa, Modal Rp 100.000, Kini Omzet Puluhan Juta

Meski sempat mendapat cibiran dari tetangga, Vivin tak memedulikannya. Batik yang dikembangkannya dari nol itu akhirnya membuahkan hasil.

Vivin selama ini tinggal di pelosok desa. Yakni di Dusun Sumberpinang, Desa Tegalwaru, Kecamatan Mayang.

Lokasinya berada di kawasan yang cukup terpencil.

Sebab, untuk sampai ke sana, harus melewati jalan setapak dan berada di tengah hamparan sawah.

Kendaraan roda empat sulit menjangkau tempat ini.

Bahkan, pengendara roda dua harus berhati-hati agar tidak terjatuh.

Namun, lokasi yang jauh dari perkotaan tak menjadi penghalang bagi Vivin untuk memulai usaha.

Di rumahnya, beberapa batik dipajang di ruang tamu

Seperti batik dengan motif tembakau berwarna hitam, merah, oranye dan lainnya.

Di halaman rumah yang cukup sempit, ada beberapa helai kain yang sudah dibatik dan sedang dikeringkan.

Kisah awal merintis batik

Vivin mulai merintis batik pada tahun 2016.

Saat itu, dirinya mengikuti pelatihan membatik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Desa Tegalwaru. Ada sekitar 50 warga yang ikut kegiatan tersebut.

Namun, tak semua menekuni batik, hanya beberapa orang yang mempraktikkan ilmu membatik dari pelatihan itu, salah satunya Vivin.

“Sejak dapat ilmu dari pelatihan itu, saya coba mulai membatik,” kata dia pada Kompas.com Senin (25/10/2021).

Dia mulai melakukan dengan cara yang sederhana. Yakni mengajak saudaranya untuk belajar membuat batik sebisanya.

Bahkan, batik pertama yang dibuatnya tidak dijual. Namun untuk dipakai sendiri.

“Modal awal hanya Rp 100.000 saat itu,” jelas dia.

Diremehkan tetangga

Pertama mencoba, Vivin sempat diremehkan oleh tetangga sekitar.

Mereka tidak yakin usaha batik yang dirintis Vivin akan laku di pasaran. Apalagi lokasinya berada pelosok dan sulit mencari pasar.

Cibiran dari tetangga semakin membuat Vivin tergerak untuk maju.

Dia semakin termotivasi untuk mengembangkan batiknya.

Hasil batik tersebut diunggah media sosial Facebook. Dari sanalah, usahanya mulai dikenali oleh masyarakat luas.

Usaha Vivin juga mengandalkan internet dan media sosial. Sebab dia bergantung pada sarana tersebut untuk memasarkan produknya. Selain itu, bahan batik juga dibeli secara online.

“Bahan untuk membuat batik beli secara online dari Solo. Mulai dari kain, canting, pewarna, kompor dan lainnya,” terang dia.

Vivin mengaku mendapatkan informasi dan jejaring dengan pengusaha batik dari media sosial grup Facebook.

Komunikasi dibangun melalui messenger hingga dilanjut melalui WhatsApp. Dari sanalah, dia bisa mencari barang untuk membuat batik.

“Dari kenalan itu tawar-menawar, mulai dari harga dan spesifikasi barang. Ada lima toko yang menawari,” terang dia.

Vivin mencoba menjajal semua barang itu untuk mencari barang yang paling berkualitas.

Ketika sudah sepakat dan cocok, barang dibeli secara daring lalu dikirim melalui jasa pengiriman.

Proses itu terus dilakukan hingga rintisan batiknya semakin besar.

Batik karyanya dijual dengan harga Rp 150.000 hingga Rp 300.000. Pembelinya tak hanya dari Jember, namun berbagai warga dari luar kota. Sebab dipasarkan secara online.

Selain itu, produknya juga dipamerkan dalam berbagai kegiatan pameran di dalam maupun luar kota.

Sampai sekarang, Vivin sudah mampu memiliki 10 karyawan. Omzet setiap bulan sudah bisa mencapai Rp 10.000.000.

“Kalau ada pesanan seragam, bisa belasan juta,” ucap dia.

Sebab zaman sudah berubah ke digital. Untuk itu, dirinya terus berupaya agar penjualan secara online berkembang.

Selain offline, penjualan batik Sekarwaru dilakukan melalui media sosial, seperti Facebook, Instagram dan Tokopedia, Shopee, hingga Bukalapak.

Pembelinya berasal berbagai aerah, seperti dari Kalimantan, Sulawesi, Bali hingga Sumatra. Mulai dari pejabat, guru hingga pengusaha.

“Tanpa sosial media, usaha saya bisa mati,” tegas dia.

Bahkan, dia mulai meningkatkan kualitas produk dan pemasarannya. Salah satunya dengan membuat konten video dan foto yang menarik untuk dipajang di media sosial.

Dia mengaku, penjualan secara online tidak terlalu terdampak pandemi Covid-19. Sebab proses penjualan bisa terus dilakukan. Tanpa harus takut terpapar virus corona.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember Ciplis Gema Qoriah menambahkan berbisnis di era disrupsi sudah sangat mudah. Sebab akses informasi begitu cepat dan luas.

“Barang dagangan dijual di akun Instagram atau Whatsap sudah bisa laku tanpa harus bertemu,” terang dia.

Dia menilai perkembangan teknologi digital memudahkan para pelaku usaha untuk mengembangkan bisnisnya. Untuk itu, para pelaku UMKM seharusnya memanfaatkan potensi ini karena memiliki dampak ekonomi yang besar.

“Ekonomi digital di negara maju dan berkembang ditekankan karena benefit ekonominya luar biasa,” papar dia.

Dia menilai kecanggihan teknologi itu memberikan efisiensi waktu, biaya dan kecepatan akses informasi.

Pasar tak lagi konvensional dengan cara harus bertatap muka dan tawar menawar. Namun market sudah bergeser ke dunia maya.

“Aktivitas di darat lebih membutuhkan biaya,” ujarnya. Sepeti harus menyewa ruko atau tempat. Selain itu, pembeli juga harus datang ke lokasi toko.

Bahkan, kata dia, produk UMKM yang dipasarkan secara konvensional, tapi tidak update dengan kemajuan, akan terancam gulung tikar dengan teknologi digital ini.

Dia menilai pemasaran produk UMKM juga harus lebih baik dengan kualitas yang bagus agar dilirik oleh pasar. Tak kalah penting, kualitas barang yang dijual juga perlu diperhatikan. Sebab, ada yang hanya bagus gambarnya, namun setelah barang diterima, tidak sesuai harapan.

“Perlu sertifikasi barang dan informasi pembuatan dari hulu hilir,” ucap dia.

https://regional.kompas.com/read/2021/10/25/112455578/kisah-vivin-rintis-batik-dari-pelosok-desa-modal-rp-100000-kini-omzet

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke