Salin Artikel

Kisah Ida Ayu Nyoman Rai, Nenek Sukmawati Asal Bali, Gadis Pura Hindu yang Jatuh Cinta Pada Sang Guru

Ritual tersebut akan dilakukan bertepatan dengan ulang tahun ke-70 perempuan yang akrab dipanggil Sukmawati Soekarnoputri.

Kepindahan Sukawati dari Islam ke Hindu dilakukan dalam rangka mengikuti agama yang dianut neneknya sekaligus Ibu Sukarno, Ida Ayu Nyoman Rai Srimben yang merupakan warga asli Buleleng, Bali.

Keturunan bangsawan Singaraja

Sukmawati adalah anak keempat dari Sukarno, Presiden Indonesia pertama.

Sukarno lahir dari pasangan suami istri Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai, perempuan asal Buleleng, Bali yang berkasta Brahmana.

Dalam autobiografinya yang disusun Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (2011), Sukarno menceritakan kisah cinta orangtuanya.

Soekemi, sang ayah berasal dari Jawa dan berasal dari keturunan Sultan Kediri.

Sementara ibunya, yang ia sebut Idayu adalah keturunan bangsawan dan Raja Singaraja terakhir adalah paman dari Idayu.

Menurut Sukarno, kakek dan moyangnya dari pihak ibu adalah pejuang kemerdekaan yang gugur dalam Perang Puputan di daerah Pantai Utara Bali yakni Kerajasaan Singaraja.

Paman sang ibu yakni Raja Singaraja yang terakhir ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke tempat pembuangan.

Belanda kemudian menduduki istana dan merampas milik kerajaan hinggga keluarga ibu Sukarno melarat.

Tempat Ida Ayu Nyoman Rai tinggal dan tumbuh dewasa dikenal sebagai Banjar Bale Agung. Lokasinya dekat dengan Pura Bale Agung yang disebut juga Pura Desa.

Ida Ayu Nyoman Rai lahir tahun 1881 dengan nama asli Nyoman Rai. Sang ayah bernama Nyoman Pasek dan sang ibu bernama Ni Made Liran.

Ia dibesarkan dalam budaya Hindu Bali yang sangat kuat karena sang kakek adalah pemuka agama Hindu.

Saat itu, Soekemi bekerja sebagai guru sekolah rendah di Singajara. Sebagai guru, Soekami kerap datang ke muka pura untuk menikmati ketenangan.

Suatu hari Soekemi muda bertemu dengan seorang gadis muda yang bertugas membersihkan pura Hindu setiap pagi dan petang. Ia adalah Idayu.

Hari demi hari pun berlalu. Soekemi mulai memberanikan diri untuk menegur dan bebicara dengan Idayu.

"Ibu menjawab. Segera dia merasa tertarik kepada ibu, dan begitu sebaliknya," jelas Sukarno.

Sesuai adat, Soekemi mendatangi orangtua Idayu dan meminta dengan sopan gadis Bali itu menjadi istrinya.

"Mereka menjawab, "oh tidak bisa. Engkau berasal dari Jawa dan engkau beragama Islam. Tidak, sekali-kali tidak! Kami akan kehilangan anak kami," kata Sukarno menirukan cerita ibunya.

Kala itu, sampai jelang Perang Dunia II, tak ada satu pun perempuan Bali yang menikah dengan orang luar. Karena perbedaan, mereka pun memilih kawin lari.

Sepasang kekasih itu menginap di rumah salah satu sahabatnya. Lalu datang utusan ke rumah Idayu untuk menyampaikan jika anak gadisnya akan menikah.

Saat mendapatkan kabar tersebut, keluarga Idayu menemui Kepala Polisi yang juga sahabat ayah Idayu.

"Keluarga Ibu datang menjemputnya, tetapi Kepala Polisi itu berkata, "Tidak, dia berada dalam lindungan saya," ulang Sukarno.

Pasangan muda tersebut kemudian menjalani persidangan.

Idayu Rai ditanya, ”Apakah laki-laki ini (Soekemi) memaksamu? “Tidak, tidak. Saya mencintainya dan melarikan diri atas kemauan saya sendiri,” kata Ida Ayu Nyoman Rai seperti diceritakan Sukarno kemudian.

Pasangan ini lalu tak bisa dilarang lagi. Mereka tetap melanjutkan pernikahannya.

Pengadilan menjatuhkan denda kepada Idayu sebesar 25 ringgit senilai dengan 25 dolar. Untuk membayar denda, Idayu muda menjual perhiasannya.

Pernikahan mereka berlangsung sekitar tahun 1887 dan anak pertama mereka, Sukarmini lahir Singaraja, 13 Maret 1898.

Mereka kemudian tinggal di Pandean, Surabaya, Jawa Timur. Pandean saat ini menjadi bagian dari Kampung Peneleh.

Di kampung itulah Sukarno lahir pada 6 Juni 1901 bersamaan dengan meletusnya Gunung Kelud. Saat itu, Idayu berusia 20 tahun.

Saat Sukarno berusia 6 tahum Soekemi mengajak keluarganya pindah ke Mojokerto. Soekemi kemudian pindah di Blitar dan menjadi guru sejak 2 Februari 1915.

Mendidik Sukarno

Idayu mendidik dua anaknya dengan bekal spiritual Hindu yang ia pelajari saat masih muda. Ia juga sering membacakan kisah Mahabarata untuk anaknya menjelang tidur.

Saat usia 15 tahun, Sukarno muda harus pindah ke Surabaya untuk meneruskan sekolah dan tinggal di rumah HOS Tjokroaminoto.

Sebelum anak bungsunya pergi, Idayu meminta Sukarno berbaring di depan rumah dan perempuan asal Bali itu melangkahi badan Sukarno bolak bali-balik sebanyak tiga kali.

"Kemudian dia menyuruhku bangkit. Sekali lagi ia memutar badanku arah ke Timur dan berkata dengan sungguh‐sungguh, 'jangan sekali‐kali kau lupakan, anakku, bahwa engkau adalah putera sang fajar," ingat Sukarno.

Idayu juga memiliki peran pada pendidikan Sukarno. Saat itu, Sukarno bersikukuh akan melanjutkan pendidikan sekolah keluar negeri.

Namun sang ibu mencegahnya karena keluarga memiliki keterbatasan biaya. Saat itu Idayu mengatakan jika anaknya tinggal di Tanah Air, maka rasa cintanya kepada bangsa ini akan semakin besar.

Sukarno pun memutuskan untuk bersekolah ke Institut Tekhnologi Bandung yang saat itu bernama Technische Hoogeschool te Bandoeng.

“Aku ingin supaya engkau tinggal di sini, di antara bangsa kita sendiri. Jangan lupa sekali‐kali, nak! Bahwa tempatmu, nasibmu, pusakamu adalah di kepulanan ini,” kata Idayu.

Ida Ayu Nyoman Rai meninggal pada 12 September 1958 di usia ke-77 dan suaminya, Seokemi meninggal pada 18 Mei 1945.

Mereka berdua dimakamkan di Blitar, Jawa Timur berdampinggan dengan makam putranya, Sukarno.

https://regional.kompas.com/read/2021/10/24/165000778/kisah-ida-ayu-nyoman-rai-nenek-sukmawati-asal-bali-gadis-pura-hindu-yang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke