Salin Artikel

"Kami Tak Pernah Meminta Apa Pun kepada Pemerintah, tapi Tolong Sekali Ini Saja Perhatikan Abrasi Pantai"

NUNUKAN, KOMPAS.com – Abrasi pantai di Pulau Sebatik yang merupakan perbatasan RI – Malaysia di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, masih terjadi sejak 2014.

Puluhan warga pesisir yang ada di 4 kecamatan di Pulau Sebatik, masing-masing Kecamatan Sebatik Timur, Sebatik Induk, Sebatik Barat, dan Sebatik Utara terus mempertanyakan upaya pemerintah dalam menanggulangi ancaman bencana tersebut.

Terlebih kondisi ombak lautan di wilayah ini biasanya mengalami pasang dalam skala tertingginya menjelang akhir tahun.

"Kami setiap hari mencoba memancangkan kayu untuk menahan laju ombak yang terus menggerus tanah kami. Kami mencari karung karung plastik untuk diisi pasir supaya hantaman ombak tak terlalu kencang," ujar salah satu korban abrasi Pantai Sebatik, Lisda, Sabtu (23/10/2021).

Lisda (22) merupakan warga Desa Tanjung Aru, Kecamatan Sebatik Timur, yang rumahnya terdampak langsung abrasi.

Meski sadar pagar kayu yang mereka tancapkan di depan tumpukan karung-karung pasir selalu saja hilang terbawa ombak, Lisda mengatakan, hanya itu usaha yang mereka bisa lakukan.

"Kami saat ini sampai kesulitan mencari karung plastik di pasar untuk diisi pasir sebagai penahan ombak. Mau bagaimana lagi? Meski selalu hilang itu pagar kayu dan karung pasir karena tertarik ombak besar, seenggaknya kami masih ada sedikit usaha. Setidaknya sedikit meredam hantaman ombak di rumah kami,’’ katanya lagi.

Lisda menyesalkan belum adanya perhatian pemerintah atas musibah yang sudah berlangsung cukup lama ini.

Rumah Lisda merupakan bangunan permanen, sehingga tak bisa dibongkar atau dipindahkan begitu saja layaknya kebanyakan rumah lain di sekitar, yang merupakan rumah panggung kayu.

Keadaan rumahnya dan beberapa tetangganya ini pun selalu ia unggah di media sosial dengan harapan ada perhatian dari pemerintah melihat kondisi masyarakat pesisir.

Mayoritas warga di lokasi ini bekerja sebagai nelayan dan hanya bisa menggantungkan mata pencaharian dengan melaut.

Mereka tak mempunyai lahan untuk pindah tempat tinggal, sehingga meski beberapa bangunan sekitar ada yang roboh diterjang ombak, mereka tetap berusaha membangun kembali di lokasi yang sama.

Lisda dan warga pesisir memiliki harapan untuk Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nunukan supaya meminjamkan alat berat untuk membuat pagar penghalang ombak sebagai solusi jangka pendek.

"Kami selama ini tidak pernah meminta apa pun kepada pemerintah, tapi tolong sekali ini saja perhatikan abrasi pantai kami," harap Lisda.

Kepala Desa Tanjung Aru, Budiman menegaskan, kondisi berlarut ini memang selalu dipertanyakan warga Sebatik.

Pihak desa dituntut memberikan solusi atas segala kerusakan yang telah terjadi. Namun, meski berkali-kali menyampaikan keluhan ke pemerintah, sampai hari ini tidak ada jawaban yang memuaskan masyarakat.

"Kami selalu bingung menjawab itu karena pemkab maupun provinsi juga tidak tahu harus berbuat apa," kata Budiman.

Budiman menuturkan, sudah banyak fasilitas yang rusak akibat abrasi.

Salah satunya jalanan beton yang merupakan penghubung antara Desa Tanjung Aru dan Bukit Aru Indah, hancur total akibat ombak.

Sekitar enam rumah warga Tanjung Aru roboh. Bahkan, kini wilayah Pantai Tanjung Aru seakan menjadi yang terparah akibat proyek pemecah ombak (break water) yang tidak tuntas dikerjakan.

Ia menjelaskan, pemerintah pusat menganggarkan sekitar Rp 26 miliar untuk pembangunan pemecah ombak sepanjang 750 meter di Sebatik.

Proyek tersebut sayangnya tidak sesuai keinginan masyarakat dan akhirnya tidak selesai pengerjaannya.

"Karena tidak tuntas, daerah yang belum ada break waternya menjadi sasaran amukan ombak. Terjangannya lebih besar dan kuat, ini yang semakin membuat kita pusing," jelasnya.

Budiman menambahkan, Pemkab Nunukan melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) memang memberikan bantuan Sembako dan kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat yang rumahnya ambruk akibat abrasi.

Namun, tentu saja itu tidak cukup, sehingga masyarakat harus menguatkan hati dan kembali membangun perlahan rumahnya yang hancur di lokasi yang sama, meski mereka sadar konsekuensi dari tindakan mereka.

"Mau bagaimana lagi? Mereka tidak punya tanah untuk membangun rumah kecuali di bekas bangunannya yang hancur. Kalau ditanya solusi, kami serba salah,’’imbuhnya.

Jawaban Pemkab Nunukan

Untuk permasalahan abrasi di Pantai Sebatik, BPBD Nunukan pernah melakukan pemetaan pada 2020.

Tercatat, setiap tahunnya garis pantai Pulau Sebatik bergeser seluas lima sampai enam meter.

Hasil penelusuran dan penghitungan petugas BPBD Nunukan pada Februari 2020 lalu, tercatat ada sekitar 969 Ha sepanjang pantai pada 4 kecamatan di Pulau Sebatik yang tergerus abrasi.

Masing-masing Kecamatan Sebatik Timur dengan luasan 120 Ha, Sebatik Induk seluas 357 Ha, Sebatik Barat seluas 416 Ha, dan Kecamatan Sebatik Utara seluas 76 Ha.

Kerusakan yang terjadi dari 4 lokasi ini yaitu, sebanyak 14 unit rumah, 1 bangunan posyandu, 1 gedung mushola, beberapa titik jalan desa, dan 1 jembatan pos Marinir rusak parah.

BPBD Nunukan juga menghitung besaran kerugian akibat abrasi pada tahun 2019, mencakup rumah, transportasi, lingkungan dan lintas sektor dengan nilai kerugian mencapai Rp 71 miliar.

Sementara nilai kerugian akibat abrasi diperkirakan Rp.15 miliar, total kerugian sekitar Rp 86.483.800 miliar.

Hasil perhitungan ini, belum termasuk kerusakan dan kerugian yang timbul pada 2020 dan 2021.

Plt Kepala BPBD Nunukan, Muhammad Amin mengatakan, Pemkab Nunukan sudah beberapa kali mengirimkan proposal berisi penanggulangan abrasi ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Terakhir pada Februari 2020 dengan usulan anggaran rekonstruksi dan rehabilitasi sebesar Rp 96,6 miliar.

Item kegiatan yang diusulkan adalah pembangunan penahan gelombang, pembuatan siring pantai, pemecah ombak, penanaman rumput Lamun dan reboisasi hutan mangrove.

"Tapi sampai hari ini Pemkab Nunukan tidak pernah diberitahu progresnya seperti apa dan bagaimana. Pemkab Nunukan kesulitan dalan koordinasi dan komunikasi. Kami tidak faham bagaimana cara kerja pusat, bahkan proyek break water Sebatik juga tidak ada pemberitahuan ke kami," jawab Amin.

Amin menegaskan, usaha pemkab melalui BPBD adalah melaporkan kejadian abrasi dan kalkulasi kerusakan yang timbul ke pemerintah pusat.

Segala hal berkaitan dengan penanganan dan solusi, semua dilakukan oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan Pemkab Nunukan.

"Itu yang kami bingung. Segala penanganan dan proyek dikerjakan Pusat. Kami tidak diberitahukan dan tidak dilibatkan, sehingga tidak tahu menahu perkembangan proyek APBN untuk abrasi Sebatik," tegasnya.

https://regional.kompas.com/read/2021/10/23/162924178/kami-tak-pernah-meminta-apa-pun-kepada-pemerintah-tapi-tolong-sekali-ini

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke