Salin Artikel

Ganteng-ganteng Koruptor: Kisah "Serigala" dari Kuansing

SINETRON “Ganteng-Ganteng Serigala” memang hanya sekedar tontonan fiksi remaja. Alur ceritanya berkisar soal kaum vampir yang berinteraksi dengan manusia di dunia nyata.

Sinteron yang dibintangi Kevin Julio, Ricky Harun, Prilly Latuconsina, dan Jessica Mila itu sukses membius penonton layar kaca sehingga sanggup tayang selama 471 episode tanpa jeda.

Tak pelak, Ganteng-Ganteng Serigala menjadi salah satu sinetron ala Indonesia yang sempat menjadi trendsetter sepanjang 2014-2015.

Di dunia politik, cerita “Ganteng-Ganteng Koruptor” terjadi di provinsi yang berjuluk Bhumi Lancang Kuning atau Riau. Tepatnya di Kabupaten Kuala Singingi atau Kuansing.

Tokohnya bukan dari golongan vampir. Ia manusia biasa tapi punya keahlian membegal perizinan dengan memanfaatkan statusnya sebagai kepala daerah.

Andi Putra masih berusia 37 tahun tetapi sudah menjabat bupati. Mengawali karir sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di 2009, dia langsung memimpin komisi.

Ia memimpin DPRD hingga dua periode sebelum akhirnya maju dan menang di pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kuansing 2020.

Pengalaman berorganisasinya sudah lebih dari cukup. Demikian juga dari aspek pendidikan, Andi sudah menggengam gelar S-2.

Andi adalah sosok yang sempurna. Berusia muda, berkarir cemerlang, dan punya kedudukan politik yang kuat.  Ayahnya adalah mantan Bupati Kuansing yang kini menjabat Wakil Ketua DPRD Riau. Masa depannya terbentang luas. Andi, “serigala Kuansing” ini terjerat di perkebunan.

Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dihelat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali bertaji selama dua pekan terakhir ini.

Setelah sebelumnya melakukan OTT terhadap Bupati Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Dodi Reza Alex Noerdin (15/10/2021), kali ini KPK mencokok Bupati Kuansing Andi Putra (19/10/2021)

Andi Putra yang juga Ketua DPD Partai Golkar Kuansing ditangkap di Riau bersama tujuh orang termasuk pihak swasta terkait kasus dugaan suap perpanjangan izin Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit.

KPK menengarai, Andi meminta “tarif” minimal Rp 2 miliar untuk memperlancar urusan perizinan. Dana yang sudah disepakati pihak swasta itu, baru diterima Andi sekitar Rp 700 juta (Kompas.com, 19/10/2021).

Kasus yang menjerat Andi ini sebetulnya tidak mengagetkan warga Kuansing karena sebelumnya ia selalu “lolos” dari berbagai kasus dugaan korupsi.

Walau sempat hanya dijadikan saksi untuk kasus pembangunan ruang pertemuan Hotel Kuansing di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Juli 2021 lalu, terlihat bahwa kelindan politik dinasti memang sangat rawan penyalahgunaan kekuasaan.

Saat kasus ini terjadi, posisi Andi adalah Ketua DPRD Kuansing sedangkan si ayah, Sukarmis, adalah Bupati Kuansing.

Selain kasus pembangunan hotel, ayah dan anak ini juga menjadi saksi dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Pasar Modern di Teluk Kuantan, ibukota Kabupaten Kuansing (20/05/2021).

Mereka juga didengar kesaksiannya dalam kasus pembangunan Gedung Uniks. Total anggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Kuansing yang digunakan untuk membiayai tiga proyek bermasalah itu mencapai Rp 142 miliar (Tribunnews.com, 19 Oktober 2021).

KPK temukan pola baru

Dari beberapa OTT yang gencar dilakukan belakangan ini, terlihat bahwa KPK sepertinya menyasar kasus-kasus rasuah bernuansa "perda" alias pertalian darah. 

Ada kasus Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari yang bersama suaminya, Hasan Aminudin yang pernah menjabat bupati sebelumnya, menduitkan jabatan kepala desa.

Walikota Cimahi Atty Suharti yang tertangkap OTT KPK pada 2016 silam memalak izin pembangunan Pasar Atas Baru Cimahi.

Atty seperti meneruskan modus permainan suaminya, Walikota Cimahi periode 2001-2012 Itoch Tochija, yang rajin "main" di pasar. Selain izin pembangunan Pasar Atas Baru, Itoch juga diduga kuat memainkan izin pembangunan Pasar Raya Cibereum, Cimahi.

Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rita Widyasari juga meniru pola penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan ayahnya yang menjabat bupati sebelumnya Syaukani Hasan Rais. Perizinan proyek selalu ada tarifnya.

Walikota Kendari, Sulawesi Tenggara Adriatma Dwi Putra juga berkhidmat dengan Walikota Kendari sebelumnya Asrun yang juga ayah kandungnya dalam hal suap perizinan proyek.

Sedangkan Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin dan ayahnya yang mantan Gubernur Sumatera Selatan dan juga pernah menjabat Bupati Musi Banyuasin, “piawai” dalam hal catut-mencatut proyek infrastruktur.

Bupati Klaten, Jawa Tengah Sri Hardini yang melanjutkan dua periode kepemimpinan suaminya Haryanto Wibowo juga menggenapi “keambyaran” suami istri yang menjadi kepala daerah dalam memanfaatkan segala penjuru mata angin korupsi. Mulai dari promosi jabatan, pengadaan buku paket, hingga perjalanan dinas mereka “embat”.

Kasus terbaru Kuansing ini semakin menunjukkan betapa rawannya penyalahgunaan kekuasaan ketika jabatan kepala daerah secara berturut-turut dikuasai oleh satu dinasti yang sama.

Adagium abadi politik dinasti: kepala daerah yang baru tidak akan mengotak-atik kesalahan periode kepemimpinan kepala daerah sebelumnya yang masih terikat keluarga.

Selain riskan secara politik, mengotak-atik kesalah pemimpin sebelumnya juga akan membuka aib suami atau kerabat sebelumnya.

Kepala daerah yang baru justru meneruskan modus penyalahgunaan kekuasaan yang mendatangkan fulus ke kantong pribadi.

Jangan harap ada terobosan pembangunan di daerah jika mindset kepala daerah adalah "proyek" di setiap mata anggaran pembangunan.

Saya memprediksi, Provinsi Lampung akan menjadi sasaran empuk OTT KPK selanjutnya mengingat politik “perda” alias pertalian darah sangat kental terjadi di daerah tersebut.

Terungkapnya permainan Dana Alokasi Khusus Kabupaten Lampung Tengah yang melibatkan Mantan Wakil Ketua DPR yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar Azis Syamsudin semoga menjadi pintu pembuka bagi KPK untuk menyigi lebih dalam.

Noktah hitam untuk Beringin

Kasus OTT KPK terhadap Bupati Kuansing Andi Putra menambah panjang daftar kepala daerah dan tokoh politik senior dari Partai Golkar yang terjerat kasus korupsi.

Belum hilang rasa kaget publik ketika tokoh-tokoh Beringin dicokok beruntun: Azis Syamsudin, Alex Noerdin, serta Dodi Reza Alex Noerdin. "Ganteng-ganteng Koruptor".

Kejadian memalukan tersebut tentu berimbas pada jadwal deklarasi Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto sebagai calon presiden 2024 mendatang.

Jadwal deklarasi harus mundur. Tidak elok deklarasi dilakukan di tengah kasus korupsi beruntun yang melibatkan kader-kader Partai Golkar. 

Publik tentu akan bertanya-tanya, di saat persoalan penanganan pandemi masih terus dilakukan apakah pantas seorang ketua umum partai yang juga mengemban amanah sebagai Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional sekaligus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian mendeklarasikan diri sebagai Capres? 

Dengan kejadian-kejadian ini, seharusnya Golkar segera melakukan konsinyering partai dengan mengumpulkan semua kepala daerah yang berasal dari partai berlambang pohon beringin itu.

Peneguhan sebagai alat perjuangan partai dengan menerapkan azas good governance harus ditaati sampai mati oleh kader Golkar.

Jika tidak, Golkar harus siap ditinggal oleh pemilihnya di pemilu serentak 2024. Hidup dikenang sebagai pahlawan daerah atau pecundang daerah atau mati dengan terhina adalah sebuah pilihan.

Menurut survei Litbang Kompas, elektabilitas Partai Golkar berada di peringkat 3 dengan raihan suara 7,3 persen. Menyusul di bawahnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 6,3 persen dan Demokrat dengan 5,4 persen. Sementara PDIP masih di puncak dengan raihan 19,1 persen serta Gerindra 8,8 persen (Kompas.com, 18/10/2021).

Mengingat hasil survei bersifat sangat dinamis, tentu Golkar harus merefleksikan raihan elektabilitas itu dengan sinyal “SOS” mengingat jarak dengan PKS dan Demokrat sangat tipis.

Golkar tidak memiliki tokoh pemersatu yang sentralistik, tidak seperti PDIP dengan Megawati Soekarnoputeri-nya, Gerindra dengan Prabowo Subianto-nya, atau Demokrat dengan SBY-nya.

Modal Golkar adalah selalu berada di rezim pemerintahan yang menang pilpres, terlepas dari apapun pilihan dukungan Golkar di pilpres.

Pekerjaan rumah terbesar Golkar adalah membersihkan interior dalam rumah dulu sebelum membersihkan halaman depan Beringin.

Sekali lagi, penyiraman dan pemupukan tidak saja perlu untuk tumbuhnya sebuah pohon beringin. Pohon beringin perlu memperkuat akar. Dahan dan rantingnya kini semakin lapuk dimakan rayap-rayap korupsi.

Kasus Andi Putra juga menjadi noktah hitam bagi kepemimpinan milenial yang digadang-gadang banyak kalangan sebagai aset bangsa di masa depan.

Bersama Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin, Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari, dan Bupati Kolaka Timur Andi Merya Nur, Andi Putra adalah tipikal kepala daerah yang masih berusia di rentang 40 tahunan.

Sayangnya, kini mereka hanya bisa menyesal di balik jeruji penjara. Sepertinya mereka lupa, capaian perjuangan politik mereka hingga sukses menjadi kepala daerah dan garis keturunan anak pejabat adalah sesuatu yang patut disyukuri.

Di usia seperti mereka, masih banyak kawan-kawan saya berjibaku menjadi pengemudi online untuk menghidupi keluarganya karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) di tempat kerjanya.

Walau sahabat saya ini tidak pernah bermimpi menjadi bupati, setidaknya hidupnya nyaman karena tidak dikejar tagihan pinjaman online (pinjol).

https://regional.kompas.com/read/2021/10/21/060000978/ganteng-ganteng-koruptor--kisah-serigala-dari-kuansing

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke