Salin Artikel

Melihat Upacara Kematian Kepercayaan Marapu di Sumba: Jenazah Disemayamkan Sampai Puluhan Tahun (2)

WAINGAPU, Kompas.com - Kuburan asli bagi penganut kepercayaan Marapu di Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT) disebut dengan istilah Na Kahali Manda Mbata, Na Uma Manda Mabu yang berarti balai-balai yang tidak akan patah, rumah yang tidak akan lapuk, merujuk ke alam baka.

Model kuburan tersebut terdiri dari lubang yang cukup dalam dan berbentuk bulat atau persegi yang berfungsi menguburkan jenazah dengan posisi duduk bertinggung atau kedua lutut dilipat serupa jongkok. 

Selain lubang persegi atau bulat, terdapat juga batu lempeng berbentuk persegi yang sesuai dengan ukuran permukaan kuburan.

Batu persegi yang dalam dialek setempat disebut "Ana Daluna" itu digunakan untuk menutup lubang kubur.

Kemudian, Ana Daluna ditutup lagi dengan batu lempeng yang berukuran lebih besar.

Lubang kuburan beserta kedua batu penutup tersebut dilindungi oleh sebuah batu lempeng yang berukuran lebih besar dengan ditopang empat batang tiang batu.

"Kuburan seperti itu namanya Reti Ma Pawiti. Biasanya hanya untuk bangsawan, karena biayanya mahal. Rakyat biasa, kuburannya cukup ditutup dengan batu besar saja," ujar Yudi.

Disemayamkan Puluhan Tahun

Keluarga inti yang sedang berduka biasanya melakukan musyawarah untuk menentukan waktu penguburan jenazah.

Kepala Bidang Destinasi dan Industri Pariwisata pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumba Timur Yudi Umbu T T Rawambaku mengatakan, jenazah bisa disemayamkan berbulan-bulan bahkan hingga puluhan tahun.

"Kalau jenazah tersebut masih lama dikuburkan, maka disimpan di salah satu kamar dalam rumah (Puhi La Kurungu). Atau bisa juga dikuburkan sementara, namun belum dibuatkan upacara (Dengi Tera)," jelas Yudi.

Apabila jenazah belum dibuatkan upacara penguburan secara adat, pihak keluarga harus mengutus Wunang (juru bicara) untuk memberitahukan kepada semua keluarga atau kerabat bahwa orang bersangkutan telah meninggal.

"Supaya keluarga yang jauh jangan menyangka bahwa yang bersangkutan masih sehat atau masih hidup," tutur Yudi.

Pada saat menjelang upacara adat penguburan, keluarga dari orang yang telah meninggal dunia biasanya melakukan pertemuan.

Hal tersebut dilakukan untuk membahas persiapan keluarga duka dan menentukan orang yang akan diundang saat penguburan.

Setelah bersepakat, sejumlah orang ditunjuk menjadi Wunang untuk mengundang seluruh keluarga besar dan kerabat.

Sebelum berangkat, para Wunang diberikan petunjuk terkait tata cara menyampaikan undangan secara adat.

Wunang juga membawakan Kawuku (barang tertentu sesuai dengan kepantasan yang harus diberikan) kepada keluarga atau kerabat yang akan diundang.

Wunang akan membawakan Mamuli untuk keluarga dengan pangkat paman (Yera) dari orang yang meninggal tersebut.

Mamuli merupakan perhiasan penting yang biasanya terbuat dari kuningan, tembaga atau emas, dalam adat Sumba yang menjadi simbol rahim wanita, sebagai tanda kesuburan. Biasanya diberikan oleh pihak laki-laki kepada perempuan saat melamar.

Berbentuk dasar seperti lambang omega, mamuli dapat dikreasikan dengan berbagai motif hias yang biasanya dijual massal di pasar untuk bros, liontin kalung, atau anting.

Sementara untuk keluarga dengan pangkat La Yea (anak mantu) akan dibawakan kain tenun ikat.

Upacara Penguburan

Keluarga atau kerabat dari jauh biasanya sudah datang sehari sebelum upacara penguburan atau Lodu Taningu. Namun, pada umumnya mereka datang pada hari pemakaman.

Prosesi penguburan dimulai dengan upacara Papanapangu (penyambutan).

Dalam upacara tersebut, pihak keluarga yang berduka membunyikan gong dan tambur untuk menyambut para undangan.

Mereka juga memberikan pelayanan pertama dengan menyuguhkan sirih dan pinang kepada para tamu. Saat itu, para penjaga jenazah harus menangis dengan memperkeras suaranya.

Kemudian, masing-masing kelompok diwakili Wunang menyampaikan pernyataan bahwa mereka telah tiba sambil menyerahkan barang bawaan (Pangandi).

Kemudian, semua perempuan yang ikut dalam setiap rombongan undangan melakukan Padudurungu (meratap atau menangis) di dekat peti jenazah.

Ratapan tersebut dimaknai sebagai ekspresi turut berduka dari kelompok undangan yang datang pada saat itu.

"Saat perwakilan rombongan selesai menangis, mereka beranjak ke tempat yang sudah ditentukan untuk mengikuti upacara selanjutnya," jelas Yudi.

Pada saat seluruh rombongan undangan sudah melayat, keluarga melakukan ritual Pawondungu (makan untuk persiapan bagi jenazah agar dapat dikuatkan).

Pada saat itu, satu ternak anak kerbau disembelih dan diambil hatinya untuk disajikan sebagai makan persiapan bagi jenazah sebelum dikuburkan.

Kemudian, peti jenazah dibawa keluar dari rumah menuju ke tempat penguburan (Papapurungu).

Pada saat jenazah dibawa ke pendopo bagian depan rumah, gong dan tambur dibunyikan dengan irama cepat sebagai tanda penguburan segera dilaksanakan.

Selesai pemakaman, seorang juru bicara (jubir) dari keluarga berduka akan naik di tempat yang lebih tinggi dan menyampaikan kata sambutan serta pengumuman.

"Kata-katanya demikian, 'masih banyak yang harus kita bicarakan, masih ada yang perlu dituntaskan. Oleh karena itu, semuanya diminta untuk kembali lagi ke tempat duduk semula'," ungkap Yudi.

Sejumlah keluarga inti yang sedang berduka akan menerima tamu masing-masing satu rombongan atau kelompok.

Keluarga yang menerima kelompok tamu tersebut akan menyembelih satu hingga dua ternak babi atau sapi untuk dimakan bersama. Setelah itu, semua undangan akan bubar dan kembali ke rumah masing-masing.

Keluarga berduka akan memberikan ternak babi kepada kelompok atau rombongan dengan pangkat anak mantu. Sementara untuk rombongan undangan dengan pangkat paman akan diberikan ternak kuda.

Penyelesaian Upacara Kematian

Upacara Palundungu merupakan bagian yang terakhir, yaitu arwah dari orang yang telah dikuburkan tersebut dihantar ke alam baka.

Pada saat itu, keluarga berduka melakukan ritual hamayang atau hamayangu (sembahyang) yang dipimpin oleh wunang hamayang atau ratu (tokoh spiritual) dengan media berupa hati ayam, babi atau kerbau.

Setelah digelar ritual Palundungu, arwah tersebut berangkat bersama dengan arwah leluhur lainnya ke negeri Marapu.

Yudi menceritakan, arwah dari orang yang meninggal itu akan datang kembali apabila diundang melalui sembahyang (hamayangu) dalam pesta negeri Langu Paraingu.

Beberapa hari setelah penguburan, semua keluarga inti yang berduka dan tetangga mereka berkumpul untuk mengikuti penutupan masa berkabung (warungu handuka).

Kemudian, keluarga berduka menyampaikan ucapan terima kasih atas kebersamaan dan gotong royong selama prosesi penguburan anggota keluarga mereka yang telah meninggal.

Pada saat itu biasanya ada penyembelihan babi atau sapi untuk makan bersama.

"Ucapan terima kasih ditandai dengan membagikan sisa-sisa barang bawaan undangan saat mengikuti upacara penguburan. Barang tersebut berupa mamuli emas, lulu amahu, dan kuda. Barang-barang yang dibagikan itu disebut rihi yubuhu dan rihi dangangu," jelas Yudi.

https://regional.kompas.com/read/2021/09/21/091207678/melihat-upacara-kematian-kepercayaan-marapu-di-sumba-jenazah-dikubur-dengan?page=1

https://regional.kompas.com/read/2021/09/21/110443378/melihat-upacara-kematian-kepercayaan-marapu-di-sumba-jenazah-disemayamkan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke