Salin Artikel

Duduk Perkara Ibu Rumah Tangga Harus Bayar Utang Alamrhum Suaminya Rp 224 Juta, Bank Sebut Istri Sebagai Ahli Waris

Utang tersebut berasal dari suaminya, Wellem Dethan yang meninggal pada 2018. Sebagai ahli waris, Mariantji wajib mengembalikan utang tersebut ke Bank Christa Jaya Kupang.

Utang tersebut dipertanyakan oleh Mariantji karena sebagai istri sah, ia tak pernah dilibatkan dalam akad kredit baru.

Ia pun mempertanyakan utang tersebut ke pihak bank.

"Namun, jawaban yang saya peroleh adalah itu adalah sistem kredit 'Longgar Tarik' yang mengacu pada perjanjian atau akad kredit sebelumnya yang telah lunas," ungkap dia.

Merasa kecewa dengan jawaban pihak bank, ia pun melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri Klas 1A Kupang pada 21 September 2019.

"Saya selaku pribadi menggugat salah satu Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Christa Jaya Perdana Kupang. Tindakan yang saya ambil tersebut diakibatkan pemberlakuan produk dari Bank tersebut yang bernama 'Kredit Longgar Tarik', yang mencairkan kredit tanpa adanya sebuah akad kredit," kata dia.

Mereka kemudian melakukan penambahan atau suplesi kredit pada 2015 hingg 2016 dengan total pinjaman Rp 450 juta.

Pasangan suami istri tersebut menjadikan satu truk dan 2 sertifikat tanah serta bangunan di Kupang sebagai jaminan.

Menurutnya pada 3 Januari 2017 semua pinjaman sudah lunas. Hal tersebut berdasarkan bukti surat berupa RC Mutasi rekening pinjaman per 16 Januari 2019, dengan nomor rekening : 0030000610 atas nama Wellem Dethan, dan rekening koran tabungan, nomor rekening : 0010006751 Wellem Dethan, tanggal cetak per 16 Januari 2019.

"Namun, setelah suami saya meninggal dunia pada tanggal 10 Desember 2018, ternyata diketahui masih ada lagi pinjaman kami lewat droping baru ke rekening suami saya senilai 110 juta dan 200 juta," ujar dia.

Ia baru mengetahui hal tersebut setelah BPR Chrisya Jaya melayangkan surat pemeberitahuan sekaligus SP1 kepadanya.

Selaku ahli waris ia diminta untuk melunasi utang pokok Rp 224 juta, bunga pinjaman Rp 76 juta dan denda Rp 30 juta. Total yang harus segera ia bayar Rp 330 juta.

Namun Mariantji mengaku tak menanggapi surat tersebut karena merasa semua utangnya sudah ia lunasi.

"Saya tidak bayar, karena saya tidak pernah ada utang dengan mereka (Bank Christa Jaya). Setelah tanggal 3 Januari 2017 semua utang sudah lunas. Saya tidak ada lagi hubungan kontrak dengan bank," kata dia.

Hakim juga mengadili Direktur BPR Christa Jaya Kupang Lany M Tadu, karena telah melakukan tindakan perbuatan melawan hukum.

Selain itu pengadilan meminta pihak bank mengembalikan dua sertifikat tanah atas nama almarhum Ellem Dethan kepada Mariantji sebagai istri sah.

Pengadilan pun menghukum tergugat (Direktur BPR Christa Jaya Kupang, Lany M. Tadu,SE) untuk membayar uang paksa (Dwangsom) sebesar Rp 500.000.

Tak puas dengan hasilnya, pihak bank melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Kupang. Hassil putusannya adalah menguatkan putusan pengadilan Negeri Klas 1 A kupang.

BPR Christa Jaya kemudian mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Aging.

Pada 13 Juli 2020, permohanan kasasi dicabut dengan alasan tak ingin melanjutkan perkara tersebut.

Namun BPR Christa Jaya Kupang berbalik melakukan gugatan sederhana di Pengadilan Negeri Klas 1A Kupang, dengan nomor perkara, 19/Pdt.G.S/2020 PN Kpg kepada Marianji dengan alasan Wanprestasi.

Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan mengabulkan gugatan penggugat BPR Christa Jaya untuk sebagian.

"Saya pun keberatan atas putusan tersebut dan lewat rapat musyawarah, majelis hakim yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 25 Agustus 2020, majelis hakim membatalkan putusan perkara nomor 19/Pdt.G.S/2020 PN Kpg," ungkap Mariantji.

Gugatan wanprestasi tersebut ditolak dan pihak kembali melakukan gugatan baru ke PN Klas 1A Kupang dengan alasan Mariantji melakukan perbuatan melawan hukum

Namun gugatan tersebut dicoret dari register perkara karena bukan gugatan sederhana. Pihak bank pun kembali melakukan upaya keberatan.

Pada 4 November 2020, Bank Christa Jaya Perdana kembali melayangkan gugatan sederhana dengan alasan yang sama yakni Mariantji melakukan perbuatan melawan hukum.

Setelah melewati proses yang panjang, sidang putusan pada 2 Setember 2021 dengan amar putusan menyatakan Mariantji Manafe telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Padahal pada keputusan sebelumnya telah inkrah dan menytakan jika Direktur Bank Christa Jaya Kupang telah melakukan perbuatan melawan hukum.

"Pada dasarnya saya hanya ingin adanya keadilan pada diri saya. Kasihan saya ini seorang janda yang harus memikul beban utang suami saya," ujar Mariantji.

Ia mengenal Wellem lebih dari 10 tahun dan pernah meminjamkan uang pribadinya sebelum Christofel memiliki bank.

Menurut Christofel, almarhum Wellem Dethan dan istrinya Marianji Manafe, dengan penuh kesadaran menandatangani akad kredit di hadapan notaris, hingga akumulasi mencapai Rp 450 juta.

Penandatanganan administrasi keuangan juga disepakati oleh bank dan suami istri itu.

Bahkan, Mariantji mempercayakan suaminya saja yang menandatangani akad kredit.

"Boleh tanya ke istrinya dan dia mengakui itu kalau menerima total kredit Rp 450 juta dan tidak ada masalah," kata Christofel di Kupang, Jumat (17/9/2021).

Masalahnya timbul saat almarhum Wellem Dethan meninggal dan Mariantji lalu memilah-milah.

"Yang almarhum tanda tangan terima duit dan almarhum bayar lunas, dia akui itu. Yang almarhum tanda tangan lalu terima duit dan masih sisa utangnya dia tidak mau," ungkap Christofel.

Christofel mengatakan awalnya Mariantji menuduh pihak bank telah memalsukan kredit itu.

Pihak bank, kemudian membuktikan keaslian kredit itu dan menjelaskan secara utuh sehingga akhirnya diterima Mariantji.

Di depan kita, beliau (Marianjti) akhirnya mengakui bahwa benar suaminya yang menerima uang itu dan uang itu benar diterima oleh pihak keluarga. Tetapi dia menyatakan, kan orangnya sudah meninggal masa dia harus bayar," kata Christofel.

"Saya hanya bilang, ibu cukup hanya mengembalikan uang itu saja. Jadi berita yang beredar seolah-olah kita ini menyiksa seorang janda untuk mewajibkan membayar utang suaminya, saya perlu sampaikan bahwa dari awal kita tidak pernah membebaninya kok," sambung dia.

Terkait dokumen yang hanya ditandatangani oleh Wellem, ia mejelaskan jika tidak semua administrasi harus ditandatangani suami istri.

Karena, kata dia, kalau semua, maka akan mempersulit birokrasi perbankan.

"Justru, bank menyederhanakan birokrasi administrasi agar kita melepas kredit secepat dan sebanyak mungkin ke nasabah dan itu nasabah yang diuntungkan," kata Christofel.

"Kita melihat masalah ini sebetulnya sangat sederhana, tapi tidak mau diselesaikan secara baik-baik," ujar Christofel.

"Kita yang menjadi korban dan mengalami kerugian dan ingin diselesaikan baik-baik, tapi ibu Mariantji tidak mau, malah dia yang gugat kita," sambungnya.

Sementara itu Direktur Utama Bank Christa Jaya Kupang Wilson Liyanto menambahkan, dalam kasus pinjaman itu, pihaknya tidak pernah mengeluarkan surat keterangan lunas, ataupun surat pencabutan jaminan kredit.

Bahkan, kata dia, sebelumnya awal perjanjian kredit ini almarhum dan istrinya menolak untuk tandatangani asuransi jiwa.

"Padahal dalam perjanjian kredit itu dijelaskan bahwa apabila debitur itu meninggal maka istri akan menjadi ahli waris," kata dia.

SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Sigiranus Marutho Bere | Editor : Pythag Kurniati, Dheri Agriesta)

https://regional.kompas.com/read/2021/09/18/070800878/duduk-perkara-ibu-rumah-tangga-harus-bayar-utang-alamrhum-suaminya-rp-224

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke