Salin Artikel

Ragam Respons Tokoh Adat Dayak soal Tradisi Bakar Ladang Disebut Picu Karhutla

Daud Lewing, Kepala Adat Dayak Modang Kampung Long Bentuq, Kabupaten Kutai Timur misalnya, mengatakan selama menjalankan tradisi membakar tidak pernah terjadi karhutla.

“Itu dari nenek moyang kami. Sejak kita belum merdeka begitu (bakar) sudah jadi cara kami buka ladang,” ungkap Daud saat dihubungi Kompas.com, Rabu (8/9/2021).

Daud bilang masyarakat Dayak punya cara sendiri membakar ladang.

Dari membersihkan sekat ladang, menyiapkan alat pemadam tradisional dari bambu hingga gotong royong menjaga api saat pembakaran.

“Jadi kalau ada titik api muncul saat musim kemarau jangan masyarakat yang dituduh. Karena itu bukan musim tanam atau berladang,” kata dia. 

Musim berladang, sebut Daud, biasa dimulai Mei-Juni. Ketika masuk Juli – Agustus, biasa musim bakar.

Menurut Daud, kasus karhutla justru muncul ketika banyak perusahaan masuk ke Kaltim.

Namun, dia bertanya, mengapa pemerintah daerah ataupun penegak hukum menuding masyarakat?

“Kalau ada karhutla masyarakat yang dituduh. Dulu-dulu sebelum ada perusahaan, hutan kami enggak pernah terbakar,” keluh dia.

Hal sama juga disampaikan Sekretaris Adat Dayak Bahau, Avun, di Kampung Tukul, Kabupaten Kutai Barat.

Avun menjelaskan masyarakat Dayak punya cara sendiri membakar ladang dan melindungi hutan.

“Cara itu secara turun temurun. Saat kami bakar, kami lihat arah angin, menjaga dan bikin sekat biar tidak merembet ke hutan,”ungkap dia saat dihubungi Kompas.com, akhir Agustus 2021.

Sebuah ritual yang dipercaya mendatangkan roh baik untuk kesuburan tanah dan padi yang diadakan setiap kali musim tanam. 

Hanya saja, sejak larangan membakar ladang, Avun sudah meninggalkan tradisi berladang karena takut dipenjara.

Bukan hanya dirinya, Avun menyebutkan, beberapa warga lain di Kampung Tukul juga melepas tradisi berladang. Mereka pindah ke usaha lain, karena ancaman pidana.

Avun meminta pemerintah daerah dan penegak hukum stop menuding masyarakat bakar ladang sebagai faktor utama pemicu karhutla.

Ketua Lembaga Adat Paser di Kabupaten Penajam Paser Utara, Musa menambahkan tradisi membakar ladang dalam masyarakat adat Paser juga turun temurun.

Biasa dikenal dengan istilah Neket Jowa. Istilah ini merujuk pada lahan yang sudah dirintis kering dan siap dibakar ketika tiba musim tanam.

Istilah lain, Ngoak merujuk pada pinggiran kebun yang dibersihkan sebelum dibakar agar tidak menjalar hingga memicu karhutla.

“Jadi kami meyakini tradisi membakar kami tidak picu karhutla. Justru dengan bakar kami percaya padi tumbuh subur tanpa memberi pupuk,” ungkap dia.

Musa meminta pemerintah dan penegak hukum melalui aparatur tingkat desa bisa koordinasi dengan masyarakat kala bakar ladang, sehingga selain bisa melihat langsung, juga turut menjaga agar tidak terjadi karhutla.

“Bukan melarang tradisi yang sudah berlangsung turun temurun, jadi kerja sama saja biar tradisi yang jadi kearifan lokal masyarakat itu bisa dijaga,” ungkap Musa.

Sekretaris Dayak Modang Kampung Long Bentuq, Kutai Timur, Beng Lui juga mengungkapkan ada warganya berhenti berladang karena takut dipenjara.

“Anggota kami tidak urus ladangnya karena takut. Semacam diancam kalau sampai terbakar diancam pidana,” ungkap Beng Lui kepada Kompas.com akhir Agustus 2021.

Beng Lui menuturkan, jika cara itu dianggap jadi faktor picu kebakaran hutan dan lahan (karhutla), maka ia meminta solusi. 

“Kalau diubah polanya, beri kami cara baru bikin pertanian model baru yang modern,” tegasnya.

“Tapi ujung-ujungnya tetap masyarakat yang kena. Masyarakat selalu jadi kambing hitam,” terang dia.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kaltim, Yohana Tiko bilang kasus karhutla muncul justru setelah kehadiran perkebunan kelapa sawit di Kaltim.

Sejak dahulu, kata dia, meski ada tradisi membakar ladang tapi tidak terjadi karhutla semasif sekarang.

“Bahkan sebelum ada negara, masyarakat adat yang hidup turun temurun melakukan hal sama. Ketika membuka ladang, membakar, bukan mereka enggak paham caranya sehingga jarang ada karhutla,” terang dia.  

Hanya saja, kata Tiko, penegak hukum hanya menjadikan para petani atau peladang sebagai kambing hitam saja. Ditangkap dan diproses hukum.

“Polisi atau pihak berwenang tidak melakukan investigasi secara mendalam. Titik api muncul darimana (dari mana) , dalam konsesi (perusahaan) enggak, dan mengapa bisa terjadi. Tapi begitu masyarakat lakukan pembakaran, padahal dia tahu metodenya, itu langsung ditangkap,” tegas dia.

Hal ini, kata Tiko membuat hukum seolah tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.

Dikutip dari laman resmi Dinas Perkebunan Kaltim, era pengembangan kelapa sawit di Kaltim dimulai 1982 ditandai dengan masuknya Proyek Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang digawangi PT Perkebunan Nusantara VI.

Bulan bersalin tahun, hingga 2020 terdapat 342 Izin Usaha Perkebunan (IUP) kelapa sawit dengan luasan mencapai 2,53 juta hektar di Kaltim.

Sementara, pemegang izin Hak Guna Usaha (HGU) sebanyak 218 perusahaan dengan luas lahan 1,25 juta hektar.

Adapun, perkebunan rakyat atau plasma yang sudah terbangun mencapai 343.856 hektar yang dikelola secara mandiri di lahan milik warga.

Dinas Perkebunan Kaltim juga mencatat sepanjang masa itu, sebanyak 94 unit pabrik pengelolaan minyak sawit berdiri di Kaltim.

Tersebar di 7 kabupaten yakni Kabupaten Paser ada 17 pabrik, Penajam Paser Utara 7 pabrik, Mahakam Ulu 1 pabrik, Kutai Barat 6 pabrik, Kutai Timur 34 pabrik, Kutai Kartanegara 18 pabrik dan Kabupaten Berau 11 pabrik. 

Tiko meminta pemerintah daerah memeriksa kesiapan perusahaan taat pengendalian karhutla sesuai amanat Perda Kaltim Nomor 5/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.

Perda itu mewajibkan perusahaan membuat menara api, pembuatan sekat bakar, pembuatan embung air, deteksi hotspot, penghitungan tingkat bahaya, serta peta rawan kebakaran.

“Perlu dicek itu perusahanaan-perusahaan sudah penuhi standar Perda enggak?” pintah dia.


Catatan Walhi Kaltim pada September 2019, sebanyak 1.106 titik api yang terpantau citra satelit, berdampingan dengan HGU perusahaan. Bahkan, beberapa titik api di antara berada dalam HGU.

"Tapi lagi-lagi penegakan hukumnya lemah," ucap Tiko.

Selain perusahaan sawit, tumpukan batu bara juga bisa memicu kebakaran. Jumlah izin pertambangan batu bara di Kaltim cukup luas mencapai 5,1 juta hektar status IUP dan 1,0 juta hektar Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B).

Peneliti Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Teresia Jari, mengatakan penumpukan batu bara itu bisa memicu api bisa terjadi ketika panas kalori batu bara yang berkontak dengan oksigen, akan menimbulkan percikan api.

"Percikan api ini bisa terbawa angin kemudian menyambar rumput kering hingga picu karhutla. Ini jarang orang sadari, apalagi perusahaan. Penegak hukum pun enggak mungkin telusuri sampai ke situ," ucap Tere.

Sementara, tumpukan batu bara yang berpotensi memicu percikan api ini paling sering ditemukan wilayah-wilayah yang potensi titik panasnya tinggi seperti Kutai Kartanegara, Berau, Kutai Timur dan daerah lainnya, baik ilegal maupun legal.

Diberitakan sebelumnya, Kepala Dinas Kehutanan Kaltim, Amrullah menyebutkan faktor utama pemicu karhutla di Kaltim yakni pembukaan ladang oleh masyarakat dengan membakar.

"Buka ladang itu loh. Masyarakat membakar, kemudian berpindah-pindah. Ini faktor utama (pemicu)," ungkap Amrullah saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (28/8/2021).

Kepala Seksi Pengendali Kerusakan dan Pengamanan Hutan Dinas Kehutanan Kaltim, Shahar Al Haqq menambahkan, faktor pembukaan ladang dengan membakar oleh masyarakat menyumbang sekitar 90-an persen.

"Pelaku ya masyarakat, petani yang buka kebun, tapi tidak semua," kata dia.

Selain petani, kata Shahar faktor lain akibat kelalaian membuang puntung rokok sembarang ataupun sisa api unggun serta faktor alam.

Ditreskrimsus Polda Kaltim melaporkan sebanyak 12 pelaku diproses hukum karena kasus karhutla sejak 2019 sampai Agustus 2021. Dari jumlah pelaku tersebut, semuanya perorangan, tidak ada koorporasi.

https://regional.kompas.com/read/2021/09/08/161257478/ragam-respons-tokoh-adat-dayak-soal-tradisi-bakar-ladang-disebut-picu

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke