Salin Artikel

Pempek, Larangan Ikan Belida, dan Negosiasi Mempertahankan Cita Rasa Khas Palembang

Tempat makan bernama Pempek Dempo 310 itu dikelola oleh keluarga Rianti sejak 50 tahun silam.

Tempat makan ini cukup dikenal di kalangan masyarakat Palembang. Rasa pempek yang disajikan sangat khas dan lezat. Namun, memang harganya agak mahal.

Satu pempek dibanderol dengan harga Rp 7.000, untuk jenis pempek telok (telur), adaan (bulat), kriting, kulit, dan lenjer kecil.

Harga yang mahal ini bukan karena pemiliknya ingin cari untung besar. Namun, karena bahan baku pembuatan pempek tersebut menggunakan ikan putak yang memiliki nama latin Notopterus dan merupakan salah satu spesies ikan belida.

Harga daging ikan putak terbilang juga cukup tinggi, di mana untuk 400 gram daging ikan dijual Rp 35.000.

Jika dikalikan 1.000 gram atau 1 kilogram maka harga jual daging ikan ini mencapai Rp 87.500.

Supri merupakan salah satu pegawai Pempek Dempo 310  Palembang. Sejak berumur 14 tahun dia sudah membantu Rianti untuk berdagang makanan khas kota tertua di Indonesia tersebut. 

Supri sudah khatam membuat pempek yang nikmat. Dari pengolahan daging yang apik, sampai campuran sagu, gandum sudah sangat dia kuasai.

Supri bercerita, dalam sehari, 10 kilogram daging ikan putak habis untuk membuat pempek.

Memang, produksi pempek di toko ini cukup terbatas karena harganya yang mahal serta hanya kalangan tertentu yang menjadi pelanggan mereka.

"Kalau orang lama, pasti tahu karena memang rasa pempek di sini tidak berubah," kata Supri, kepada Kompas.com, Kamis (2/9/2021).


Pertama kali usaha pempek itu mulai berjalan, mereka menggunakan bahan baku ikan belida yang banyak ditemukan di perairan sungai Musi.

Seiiring waktu, ikan jenis ini mulai sulit ditemukan sehingga harus dipesan ke Jambi hingga Kalimantan.

Di Kalimantan, ikan belida begitu berlimpah. Namun, harganya jualnya mencapai Rp 200.000 per kilogram.  

Kesulitan mendapat bahan baku

Sejak awal tahun 2020, Pempek Dempo 310 mulai kesulitan mendapatkan pasokan daging ikan belida karena ikan jenis ini telah dilarang untuk dikonsumi maupun ditangkap.

Aturan ini tercantum dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2021 tentang jenis ikan yang dilindungi.

Dalam Kepmen itu, ikan belida masuk dalam jenis satwa yang dilindungi karena keberadaannya yang sudah hampir punah.

"Sudah hampir dua tahun kami tak gunakan lagi ikan belida. Tapi kami pakai ikan putak," ujar Supri menjelaskan.

Dalam hal rasa, sebetulnya tak ada perbedaan yang mencolok antara ikan belida dan putak.

Pempek berbahan baku ikan belida tak memiliki bau, sementara ikan putak cukup wangi ketika dijadikan pempek.

"Baik ikan belida atau ikan putak kita tetap jual dengan harga yang sama. Tapi memang lebih gurih daging ikan belida," ujar dia.

Masih tahap sosialisasi

Aturan soal larangan menangkap ikan belida sampai saat ini masih dalam tahap sosialisasi.

Kepala Satuan Kerja (Kasatker) Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (SDKP) Palembang Maputra Prasetyo mengungkapkan, Kepmen nomor 1 tahun 2021 menyebutkan ada 19 jenis ikan jenis air tawar masuk dalam status perlindungan penuh karena populasinya yang kian menipis.

Ikan air tawar itu di antaranya pari air tawar, arwana, ikan batak, wader doa, selusur meninjau, ikan raja laut, dan belida.

Antara belida dan putak, menurut Maputra adalah satu spesies. Di mana ikan putak sering disebut adalah belida Jawa karena ukurannya yang sedikit kecil dibandingkan belida.

Sehingga, penggunaan ikan putak juga ikut dilarang. 

"Di Jawa dan Kalimantan aturan ini sudah diterapkan. Untuk di Sumsel kami masih menunggu surat edaran dari pimpinan, setelah itu akan melakukan penindakan di lapangan," kata Maputra.


Sembari menunggu surat edaran dikeluarkan, Maputra bersama timnya terus melakukan sosialisasi soal larangan menangkap dan mengonsumsi ikan belida.

Pelanggar dalam aturan ini akan dikenakan denda Rp 250 juta sampai Rp 1,5 miliar.

Sementara, sanksi pidana pun menunggu ketika kedapatan menyelundupkan ikan belida. 

Kepmen itu dikeluarkan bukan tanpa alasan. Sampai saat ini, belum ada budidaya untuk keberlangsungan populasi ikan belida.

"Sampai sekarang tidak ada budidya murni ikan belida. Yang ada hanya anakan ikan diambil dari sungai lalu dibesarkan, bukan dibudidayakan seperti lele, mujair, atau nila," ungkapnya.

Ditemukan di Sungai Musi

Di Sumatera Selatan, ikan belida sering ditemukan di hampir seluruh aliran anak Sungai Musi, seperti di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) dan Muara Enim.

"Di Palembang sudah sangat jarang ditemui," ungkapnya.

Humas Asosiasi Pengusaha Pempek (ASPPEK) Palembang Jimmy Devaten mengatakan, pada tahun 1970 sampai 1990, ikan belida masih digunakan sebagai bahan baku pembuatan pempek.

Namun, sejak tahun 2000-an, banyak pedagang pempek yang beralih menggunakan ikan jenis gabus, tenggiri, dan kakap.

"Karena memang untuk mendapatkan ikan belida sulit. Pempek menggunakan ikan belida itu rasanya sedikit gurih sementara kalau gabus hambar," ujarnya.

Karena sulitya mendapatkan daging ikan ini, maka harga jualnya mencapai Rp 200.000 untuk satu kilogram.

Jimly mengatakan, soal aturan pelarangan penangkapan ikan belida, asosiasi akan melakukan sosialisasi menggunakan bahan baku lain dalam pembuatan pempek jika nantinya aturan itu mulai berlaku.

"Kalau yang menggunakan ikan belida itu jarang, kalaupun ada harganya pasti mahal," ujar dia.

Sementara Wali Kota Palembang Harnojoyo mengaku belum mengetahui soal Kepmen larangan penggunaan ikan belida tersebut.

Namun, Harno tak menyangkal bahwa populasi ikan belida di Palembang sudah nyaris hilang.

Ikan belida, diakui Harno memiliki cita rasa daging yang nikmat dan memiliki kontribusi cukup besar bagi pengusaha pempek dan kemplang (kerupuk). 

" Sehingga, mengabadikannya dalam bentuk tugu belida," ujar Harno.

Negosiasi dengan Kementerian KKP

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Selatan Widada Sutrisna berupaya melakukan negoisasi soal Kepmen larangan penggunaan ikan belida.

Dia mengaku kecewa atas larangan tersebut. 

Sebab, bahan baku ikan belida di Palembang sejauh ini berasal dari Kalimantan dan Riau. Sementara, di dua provinsi itu ikan belida tak dikonsumsi oleh masyarakat.

"Kebanyakan belida hanya dibuang-buang di sana. Sebab itulah kita ambil," kata Widada.

Jika kebijakan itu jadi diterapkan di Palembang, variasi pempek asli berbahan baku belida dan pindang akan sangat sulit ditemui. Ciri khas kuliner Palembang pun terancam hilang.

Padahal, pempek dan pindang merupakan kuliner favorit bagi seluruh kalangan wisatawan.

"Kita upayakan negosiasi dengan kementerian agar aturan ini dikecualikan di Palembang. Tetapi jika pun tak bisa, kami akan sosialisasikan ke masyarakat agar mengganti bahan baku dengan menggunakan ikan jenis lain," ujarnya.

https://regional.kompas.com/read/2021/09/08/103116578/pempek-larangan-ikan-belida-dan-negosiasi-mempertahankan-cita-rasa-khas

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke