Salin Artikel

Kisah Ajeng Bertemu Ibu Kandung Setelah 15 Tahun Berpisah

Kisah itu berawal pada 2006 di Jakarta, saat itu D harus rela berpisah dengan sang suami.

Karena dalam keadaan bingung dan mengalami kesulitan ekonomi, D memutuskan menyerahkan Ajeng ke temannya.

D merasa saat itu tindakan tersebut adalah jalan yang terbaik.

Saat melepaskan Ajeng, D tetap dijanjikan bisa tetap berkomunikasi tetapi lama-kelamaan D tidak diperbolehkan untuk berkomunikasi lagi.

Selama berpisah belasan tahun, D sebagai ibu tetap memikirkan nasib anak perempuannya.

Setiap hari ia hanya bisa mendoakannya, bahkan saat D makan dalam hati selalu menawari Ajeng.

“Saya pikir ke orangtua asuh lebih baik karena saya tidak punya tempat tinggal. Tahun 2006 saat Ajeng berusia 4 tahun. Selama ini saya hanya bisa mendoakannya, saat makan saya dalam hati berbicara menawari nak makan,” kata dia saat ditemui di kediamannya, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (7/9/2021).

“Saat itu masih boleh telepon menanyakan kabar Ajeng, dia lagi apa? Kemudian (orangtua asuh Ajeng) ganti nomor mungkin karena takut diambil lagi,” kata dia.

Ajeng mulai bercerita setelah tinggal dengan orangtua angkatnya, dia sempat beberapa kali pindah.

Dari Jakarta pindah ke Blitar, dan sempat berpindah ke Kalimantan.

Saat berada di Blitar ini Ajeng mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan bahkan sampai ke kekerasan fisik.

Bahkan saat masih duduk di bangku kelas 4 atau 5 SD ia sempat berpikiran akan kabur dari rumah.

“Saat itu hanya bisa mencatat di buku diary, mau kabur masih takut. Sempat dengar kalau aku bukan anak kandung,” kata dia.


Pada saat duduk di bangku SMP, Ajeng disuruh untuk membersihkan kamar orangtuanya.

Saat itu, Ajeng menemukan dokumen hak asuhnya yang menunjukkan bahwa dirinya bukan anak kandung.

Tak hanya dokumen yang ia temukan, tetapi dia juga menemukan fotokopi KTP ibu kandungnya yakni D.

“Dapat dokumen itu dan mau menangis, ada fotokopi KTP mama juga mirip saya,” katanya.

Ajeng lalu menceritakan temuannya kepada guru Bimbingan Konseling (BK).

Ia berharap ada jalan keluar yang diberikan oleh sang guru. Pada saat itu, Ajeng juga berharap guru BK tidak menceritakannya kepada orangtuanya.

Namun, selang beberapa hari orangtua Ajeng diundang ke sekolah.

“Kalau cerita ke BK kan seharusnya kan rahasia. Tapi habis cerita papa datang ke sekolah dan menanyakan dapat dokumen ini dari mana, lalu dokumen diambil papa,” kata dia.

Saat Ajeng duduk di kelas 1 SMA ia tidak diperbolehkan ikut untuk mengambil rapor oleh orangtuanya.

Setelah pengambilan rapor Ajeng diberi kabar tidak naik kelas dan di-drop out (DO) dari sekolahnya.

Ajeng heran mengapa dia bisa tinggal kelas dan di-DO oleh pihak sekolah, padahal selama bersekolah SMA termasuk orang yang rajin dan berprestasi. Ajeng juga menerima beberapa piagam.

“Setelah dikabari tidak naik kelas saya minta rapor saya di bagian mana saya yang membuat tidak naik kelas tetapi nggak dikasih. Dari kejadian ini semua mulai disita seperti laptop, gawai jadi nggak bisa komunikasi,” ungkapnya.

Ajeng cukup cerdik sebelum gawai diserahkan kepada orangtua angkatnya, sempat mencopot kartu SIM miliknya.

Dia juga teringat bahwa masih memiliki ponsel yang tidak terpakai.

Dengan menggunakan gawai itu, ia mencoba menghubungi kawannya dan menyampaikan niatnya untuk kabur dari rumah.

Sebelum kabur dari rumah ia siapkan dokumen-dokumen seperti ijazah dan pakaian.

“Saat itu hanya membawa beberapa potong baju saja, sama uang Rp 200.000. Setelah itu saya berniat mencari kerja di Malang karena kotanya lebih besar pasti ada pekerjaan di sana, kat dia.

Sesampainya di Malang, ia berpikir harus segera mendapatkan kamar kos dan segera mendapatkan pekerjaan.

Tak lama, Ajeng mendapatkan informasi ada sebuah warung makan yang membutuhkan pramusaji.

“Saya tanyakan lowongan jadi waitress, ternyata masih ada dan saat itu saya ceritakan masalah saya. Awalnya tidak diterima karena saya masih di bawah umur yaitu 16 tahun. Melihat kondisi saya akhirnya diperbolehkan dengan syarat saya harus merahasiakan asal dan umur saya,” jelas dia.

Tak hanya sebagai pramusaji, Ajeng juga berkesempatan menjadi pengasuh bayi dan bekerja di sebuah binatu.


Dari pekerjaan itu ia akhirnya bisa membeli sebuah smartphone dan mulai membuat akun media sosial mulai dari Facebook, Instagram, dan lainnya.

Setelah membuat akun media sosial, Ajeng mendapatkan pesan di akun instagramnya.

Pesan itu berisi bahwa Ajeng mirip sekali dengan keponakannya yang hilang. Setelah berbincang ternyata pengirim pesan adalah bibinya dari ayah kandung Ajeng.

Ajeng juga tidak mudah percaya pada saat itu, lalu dari pesan Instagram beralih ke video call.

"Video call ada bibi, ada nenek, pasti nangis pertama kali dikenalin saudara dari istri papa yang pertama," ujarnya.

Saat video call dengan sang bibi Ajeng selalu bertanya bagaimana keadaan ayahnya.

Tetapi selalu dijawab ayah sedang bekerja. Karena merasa terdesak, akhirnya bibinya jujur bahwa ayah Ajeng telah meninggal 4 tahun lalu.

“Sudah bertemu dengan nenek jadi sebelum pandemi nenek meninggal dunia. Nenek enggak ada, Ayah juga enggak ada,” kata dia.

Setelah bertemu dengan keluarga dari sang ayah, Ajeng mulai berniat mencari ibunya.

Dengan media sosial Twitter ia mencoba membuat utas pada akhir 2019 hingga awal 2020.

Ia memilih akun media sosial Twitter karena dianggap dapat menjangkau lebih luas jika dibanding media sosial lain.

“Saya browsing bagaimana cara membuat utas di Twitter karena kan twitter itu cepat sekali trending. Setelah membuat thread atau utas saya mendapatkan banyak sekali bantuan dari KPU Sleman dan juga Disdukcapil,” kata dia.

Ibu Ajeng ikut mencari

Seperti sudah ditakdirkan bertemu, pada pertengahan 2021, D juga coba mencari nama Ajeng di Twitter.

D kemudian menemukan berita soal anaknya.

“Saya mulai baca-baca beritanya mungkin ada 20 kali lebih saya baca,” kata dia.

Saat mencari nama Ajeng ini D sedang dalam kondisi sakit. Dia saat itu hanya bisa berdoa ingin bertemu dengan sang anak secepat mungkin.

“Saya saat itu sakit, pikiran saya sudah jelek. Saya ingin sebelum meninggal bertemu dengan anak saya,” katanya.

D mencoba berkontak dengan keluarga yang ada di Bogor dan bisa terhubung dengan Ajeng pada 13 Agustus 2021.

Akhirnya pada 29 Agustus Ajeng terbang ke Yogyakarta untuk bertemu dengan ibunya.

Saat bertemu D menceritakan apa yang terjadi pada 2006. Ajeng juga tidak memendam amarah kepada sang ibu.

“Alhamdulillah enggak marah mungkin kecewa. Saya juga berpesan kepada Ajeng agar jangan marah kepada orangtua angkatnya bagaimanapun Ajeng diasuh dan disekolahkan,” kata D.

https://regional.kompas.com/read/2021/09/08/060000378/kisah-ajeng-bertemu-ibu-kandung-setelah-15-tahun-berpisah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke