Salin Artikel

Ketika Banyak Penyimpangan Terjadi dari Tradisi Merariq yang Sesungguhnya

MATARAM, KOMPAS.com - Merariq, merupakan tradisi masyarakat suku Sasak di Pulau Lombok, NTB, yang sudah dilakukan sejak zaman dahulu.

Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi yang mirip kawin lari sebagaimana dipahami masyarakat urban ini banyak yang menyimpang dari adat merariq sesungguhnya.

Hal tersebut disampaikan Sekretaris Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A), Kabupaten Lombok Barat, Erni Suryana.

Erni mengatakan, pihaknya pernah duduk bersama dengan tokoh adat Sasak, untuk membedah seperti apa adat merariq di Lombok, apakah sesuai dengan pelaksanaan saat ini.

"Ternyata setelah kami bedah bersama tokoh adat, banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi terhadap budaya merariq yang sesungguhnya. Yang saat ini dilakoni oleh masyarakat kita, justru itu sudah melanggar adat merariq yang sesungguhnya," kata Erni melalui sambungan telepon, pada pertengahan Agustus 2021 silam.

Erni menyebutkan, beberapa contoh kasus yang ditemukan di Kabupaten Lombok Barat.

Salah satunya, ketika ada anak-anak yang terlambat pulang rumah seringkali dinikahkan.

Padahal, anak ini sebenarnya niatnya tidak untuk menikah, tapi karena dianggap telah berbuat yang tidak-tidak akhirnya dinikahkan.

"Justru itu yang melanggar adat, ketika anak-anak itu dipaksa untuk menikah," kata Erni.

Dalam aturan adat Sasak, ada syarat-syarat tertentu yang harus dilakukan oleh seorang laki-laki atau perempuan, sebelum melangkah ke jenjang pernikahan.

"Setelah dikompilasi ke usia, itu di atas 20 tahun. Sebenarnya enggak bener adat merariq ini yang menjadi penyebab pernikahan anak itu enggak juga. Tetapi, ada yang salah di dalam pelaksanaan adat itu," kata Erni.

Selain batasan usia yang sudah diatur, melarikan si gadis sebelum melakukan ritual pernikahan dalam tradisi merariq juga ada aturannya.


"Sebenarnya adat Sasak itu ada aturannya, siapa yang harus membawa lari, jam berapa harus dibawa lari, kemudian sudah ada kesepakatan. Yang sebenarnya itu sudah ada kesepakatan antara orangtua, dengan orang yang akan membawa lari sebenarnya," kata Erni.

Namun, yang terjadi saat ini, justru banyak yang tidak sesuai dengan aturan adat yang sesungguhnya.

"Tetapi yang terjadi saat inikan justru lari dari pulang sekolah, lari dari mal, kadang dilarikannya siang hari, enggak jelas lah," kata Erni.

Erni menilai, salah satu penyebabnya adalah banyaknya tokoh masyarakat seperti kepala dusun, belum memahami adat merariq yang sesungguhnya.

"Nah, ini yang perlu diluruskan," Kata Erni.

Terkait hal ini, DP2KBP3A sudah melakukan sosialisasi ke beberapa kepala dusun yang merupakan pelaku adat di masyarakat.

Kabupaten Lombok Barat terdiri dari 119 desa, 3 kelurahan dan 870 dusun.

Dari jumlah tersebut, sekitar 100 dusun sudah mendapat sosialisasi untuk mencegah terjadinya perkawinan anak.

Selama ini, kepala dusun memegang peranan penting dalam terlaksananya tradisi merariq.
Kepala dusun biasanya bertugas sebagai penghubung.

Orang yang pertama dihubungi ketika ada anak yang dilarikan, serta melakukan komunikasi pertama adalah kepala dusun dari pihak laki-laki dengan kepala dusun dari pihak perempuan.

"Jadi kalau kepala dusun pertama kali diinformasikan kalau di sini ada kasus perkawinan (anak), kalau dia cepat menginformasikan ke kami, maka kami bisa melakukan belas atau pemisahan (anak tidak jadi dinikahkan)," Kata Erni.

Data DP2KBP3A sepanjang tahun 2021, sudah ada 15 kasus perkawinan anak di Lombok Barat yang berhasil dipisahkan.

"15 kasus yang berhasil kita belas dan anak itu kembali ke keluarga dan bersekolah juga," Kata Erni.

Proses pemisahan untuk mencegah perkawinan anak ini tentu tidak mudah, pasti ada konflik antara dua keluarga dan masyarakat yang akan menggelar begawe (pesta).

Erni mengatakan, selama ini masih ada anggapan masyarakat yang menganggap jika anak tidak jadi menikah itu menjadi sebuah aib.

"Tapi itulah yang menjadi PR kami untuk merubah mindset di masyarakat," Kata Erni.

Lombok Barat merupakan satu-satunya kabupaten di NTB yang sudah memiliki peraturan daerah terkait pendewasaan perkawinan.

Hal tersebut diatur dalam Perda Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pendewasaan Usia Perkawinan dan Perbup Nomor 30 tahun 2018 tentang pencegahan perkawinan usia anak.

Dalam Perda tersebut telah diatur peranan masing-masing mulai dari pemerintah kabupaten hingga pemerintah Desa.

Salah satu peranan pemerintah desa yaitu untuk membuat Perdes dan lembaga perlindungan anak di tingkat desa.


"Sehingga nanti ketika ada kasus perkawinan anak, lembaga inilah yang mengawal di tingkat desa," Kata Erni.

Hingga saat ini, sudah ada 15 desa di Kabupaten Lombok Barat yang memiliki perdes dan lembaga perlindungan anak di tingkat desa.

Serta ada 10 desa yang sedang dalam proses pendampingan.

"Karena kami enggak mau hanya sekadar perdes dibuat tanpa melalui proses. Bisa saja kami kasih semua desa buat perdes, tapi kemudian implementasinya enggak jelas, kan enggak baik juga," kata Erni.

Ikuti cerita selengkapnya tentang tradisi merariq berikut ini: Mengembalikan Merariq...

Erni menuturkan, sejak adanya perdes ini, jumlah kasus perkawinan anak menurun cukup signifikan.

Pemkab Lombok Barat juga kerap bertemu dengan kepala dusun, kepala desa maupun camat untuk melakukan koordinasi dan evaluasi.

"Sekarang semua camat ikut terjun kalau ada kasus perkawinan anak. Dan kepala dusun juga kalau ada kasus-kasus langsung menghubungi kami di kabupaten," kata Erni.

Perda juga mengatur soal sanksi, baik itu sanksi administratif maupun sanksi hukum jika terbukti melanggar UU Perlindungan Anak.

"Termasuk Perdes di masing-masing desa itu berbeda-beda sanksinya. Ada sanksi sosial juga sanksi administrasi. Kalau desa, kami menyerahkan kepada kearifan lokal masing-masing desa sanksinya seperti apa," kata Erni.

Di beberapa desa yang sudah memiliki perdes, jika ada anak di bawah umur yang menikah maka pernikahannya itu tidak akan dihadiri oleh tokoh agama maupun tokoh adat.

Mereka juga tidak akan diberikan bantuan dari pemerintah.

"Kalau masalah administrasi kependudukan sebenarnya dengan sendirinya mereka tidak akan mendapat administrasi kependudukan karena memang belum usianya," kata Erni.

Dalam undang-undang perkawinan, batasan usia seseorang untuk bisa menikah adalah usia 19 tahun.


Jika anak menikah pada usia muda, akan ada dampak-dampak negatif dari perkawinan anak itu baik dari sisi kesehatan, sosial, ekonomi termasuk dari administrasi kependudukan.

"Tidak akan mendapatkan kartu KK, perlu BPJS saat melahirkan, inikan akan menjadi masalahnya ketika anak ini tidak punya KK dan KTP. Ini yang kami sampaikan ke masyarakat," kata Erni.

Erni mengatakan, kebijakan-kebijakan pemerintah Lombok Barat sudah cukup lengkap dari sisi regulasi dan program.

Saat ini, Lombok Barat menyandang predikat sebagai kabupaten layak anak.

"Kami Lombok Barat dari penilaian kemarin hasil verifikasi, kami Lombok Barat meningkat dari kabupaten layak anak tingkat pratama sekarang kami sudah madya," tutup Erni.

https://regional.kompas.com/read/2021/09/06/051100778/ketika-banyak-penyimpangan-terjadi-dari-tradisi-merariq-yang-sesungguhnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke