Salin Artikel

Derita Bocah SD Semarang, 3 Tahun Lalu Diperkosa Ayah hingga Melahirkan, Kasusnya Baru Diputus 2021

SEMARANG, KOMPAS.com - Ketimpangan relasi kuasa dinilai sebagai penyebab utama terjadinya kekerasan seksual.

Pelaku merasa memiliki kuasa atas korban untuk semena-mena melakukan tindakan biadab karena latar belakang kedudukan yang lebih tinggi.

Seperti pada kasus yang menimpa seorang bocah sekolah dasar di Kota Semarang, Jawa Tengah. Dia jadi korban pemerkosaan sejak usianya masih 12 tahun.

Ironisnya, ia diperkosa oleh bapak kandungnya sendiri hingga hamil.

Pendamping korban Nia Lishayati bercerita kasus tersebut terjadi pada tahun 2018 silam saat ibu korban sedang dirawat di rumah sakit dan meninggal dunia.

Pelaku mulai menggerayangi tubuh korban saat adik-adiknya di rumah sedang tertidur.

"Saat itu mulut korban dibungkam karena hendak berteriak. Mulutnya digigit dan juga area di bawah perut. Pelaku mengancam korban kalau menceritakan kasus ini tidak akan diberi uang jajan," katanya kepada Kompas.com.

Perbuatan bejat pelaku ini dilakukan tak hanya sekali, tapi berulang kali hingga korban  hamil di tahun 2019.

"Saat hamil korban dibawa ke puskesmas. Korban diminta pelaku mengatakan kalau dihamili oleh teman yang dikenal di Facebook.

Karena pihak puskesmas curiga, korban ditanya terpisah dari ayahnya. Korban akhirnya mengaku kalau dihamili ayahnya," ungkapnya.

Lantas, korban pun dirujuk ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut terkait kondisi kandungannya.

"Beberapa minggu kemudian, korban melahirkan anak prematur di usia kandungan sekitar 5-6 bulan. Namun selang berapa jam bayinya meninggal dunia," ujarnya.

Kemudian, kasus tersebut diusut oleh pihak kepolisian setelah melewati proses tahapan yang berbelit-belit.

"Awalnya polisi menolak pengaduan karena satu alat bukti yakni saksi yang melihat kejadian tidak ada. Kalau kekerasan seksual mana ada pelakunya melakukan di muka umum yang jelas tidak mungkin ada saksi yang melihat," ungkapnya.

Kasus tersebut baru berlanjut ke persidangan di tahun 2021 dan pelaku dihukum 8 tahun penjara.

Hukuman delapan tahun tak cukup bagi pelaku kekerasan seksual dibandingkan dengan korban yang harus menanggung luka seumur hidup.

"Usia korban sekarang menginjak 15 tahun. Korban masih traumatis. Sangat berdampak secara psikologis sehingga masih butuh pendampingan. Mengingat dia anak perempuan sendiri dan dua adik laki-lakinya dititipkan ke panti asuhan," katanya.

Kepala Divisi Informasi dan Dokumentasi Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRCKJHAM), Citra Ayu Kurniawati mengatakan sebagian besar pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak merupakan orang terdekat korban.

"Seperti pacar, ayah kandung, ayah tiri, kakak kandung dan lainnya. Kalau dilihat dari hubungan pelaku dan korban, penyebabnya karena adanya relasi kuasa pelaku atas ketidakberdayaan korban dan hasrat seksual pelaku pada korbannya," katanya.

Menurutnya, kekerasan seksual yang dialami perempuan dan anak tidak hanya meninggalkan luka fisik, tapi juga membawa luka batin yang sulit untuk disembuhkan.

Dampak kekerasan seksual dapat mendatangkan trauma psikologis atau tekanan batin bagi korban.

"Kebanyakan korban merasa trauma, ada juga yang sampai membatasi diri dengan tidak bersosialisasi atau menutup diri, selalu merasa ketakutan dengan lelaki, tidak percaya diri dan stress," ungkapnya.

Sepanjang tahun 2019 hingga 2021, atau selama pandemi, jumlah tersebut mengalami kenaikan sebanyak 10 persen.

"Kasus yang sudah di dampingi jumlahnya total ada 149 anak. Jumlah kasus yang masuk ranah pidana ada 58 korban dan non pidana ada 91 korban," ungkapnya.

Citra menyebut korban kasus kekerasan seksual terjadi pada anak rentan usia 8 hingga 17 tahun.

"Jumlahnya wilayahnya ada di Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kendal, Demak, Kudus, Grobogan. Kasus paling banyak ada di Kota Semarang dan Kabupaten Semarang," jelasnya.

Citra mengakui bahwa penanganan kasus tindak pidana kekerasan seksual kerapkali mengalami berbagai hambatan.

"Kebanyakan terkendala bukti atau saksi yang melihat kekerasan. Padahal untuk kasus kekerasan seksual kebanyakan terjadi di ranah privat dan tidak ada yang melihat. Tapi ada juga yang memang sudah putusan. Namun tidak banyak dari total kasus kira-kira ada 15-20 kasus yang sudah putusan. Yang lain masih dalam proses di kepolisian," tuturnya.

Selain itu, hambatan lainnya yakni adanya keraguan yang dialami korban untuk melaporkan peristiwa yang dialami.

"Di Jawa Tengah sudah ada lembaga layanan seperti LRC-KJHAM, LBH APIK dan lainnya. Ada juga PPT Kabupaten/Kota, PPT Kecamatan, PPT Provinsi yang dapat menerima pengaduan dan mendampingi korban kekerasan," lanjutnya.

Untuk itu, pihaknya berharap korban kekerasan seksual tidak perlu takut untuk melaporkan kasus yang dialami.

Sebab, kasus kekerasan seksual yang korbannya anak sudah ada payung hukum yang menaungi yakni UU 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

"Selama ada payung hukumnya dan masuk ke dalam unsur tindak pidana semua kasus kekerasan terhadap anak bisa di pidana. Baik kekerasan fisik, psikis dan seksual," katanya.

Kendati demikian, pihaknya juga menghargai keputusan korban apabila memang enggan melaporkan kasusnya ke kepolisian.

"Ketika korban tidak ingin kasusnya dilaporkan, kita tidak bisa jalan sendiri karena prinsip pendampingan sesuai dengan apa yang di inginkan korban dan kebutuhan korban. Kita hanya dampingi untuk layanan konseling, medis, pemulihan psikologis hingga reintegrasi sosial. Dan di setiap konseling, korban juga sudah diberitahu bahwa peristiwa yang dialami bisa di laporkan," tambahnya.

Citra mengatakan, pihaknya selama ini gencar memberikan edukasi kepada masyarakat melalui berbagai forum diskusi di media sosial.

Hal ini dilakukan agar masyarakat mendapatkan literasi sehingga dapat menekan terjadinya kasus kekerasan seksual.

"Kami berupaya mengedukasi masyarakat melalui diskusi melalui live Facebook, Instagram, webinar. Kemudian juga membuat konsultasi hukum online berbasis website, hotline untuk memudahkan korban mengadukan kasusnya," tuturnya.

Pihaknya berharap aparat penegak hukum bisa meningkatkan implementasi UU Perlindungan Anak, sehingga anak yang menjadi korban kekerasan seksual bisa mendapatkan hak-haknya.

"Dan untuk pemerintah bisa segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Sehingga korban kekerasan seksual mendapat payung hukum yang jelas dan lebih terlindungi," pungkasnya.

https://regional.kompas.com/read/2021/09/02/175501578/derita-bocah-sd-semarang-3-tahun-lalu-diperkosa-ayah-hingga-melahirkan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke