Salin Artikel

Sebelum Tinggal di Kandang Sapi dan Kambing, 3 Tahun Ngadiono Sekeluarga Tinggal di Gubuk Tengah Hutan

KOMPAS.com-Keluarga Ngadiono (52) dan Sumini (44) serta 3 anaknya tinggal di kandang sapi dan kambing di pinggir Sungai Oya, di Padukuhan Kedungranti, Kalurahan Nglipar, Kapanewon Nglipar, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Bagian dalam kandang disekat dengan terpal warna biru dan di dalamnya dibuat kamar tidur.

Keluarga ini harus berbagi dengan 3 ekor sapi dan 2 ekor kambing.

"Jadi awalnya itu kami tinggal di gubuk tengah hutan dari 2018 sampai 2021 dan baru pindah ke sini sejak 4 bulan terakhir," kata Ngadiono ditemui di rumahnya Selasa (31/8/2021).

Di belakang kamar, terdapat dapur sederhana yang tungkunya masih menyala karena baru dipakai menanak nasi untuk makan keluarga dan merebus ketela untuk pakan ternak.

Ngadiono mengaku, ia menyisihkan uang hasil panen jagung yang ditanam di lahan Perhutani untuk membuat kandang yang digunakan untuk berteduh dia dan hewan peliharannya.

Hewan itu sebagian miliknya dan milik saudaranya. Kegiatan sehari-hari Ngadiono mengolah lahan milik Perhutani yang ditanam palawija dan padi saat musim penghujan.

Saat ini, ia hanya mencari pakan ternak untuk hewan peliharannya.

Kamar ukuran 3 x 2 meter di dalam rumah digunakan untuk tidur, bagian dalam kamar sengaja ditinggikan agar kasur tidak menyentuh tanah.

Kasur tipis dan sudah agak kusam menemani hari-hari keluarga kecil ini. Untuk penerangan, Ngadiono memperolehnya dari saudaranya.

Kegiatan mandi mencuci dan kakus dilakukan di sungai yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah sederhana itu.

"Di sini untuk tinggal 5 orang, saya dan istri, beserta tiga anak saya," ucap Ngadiono.

Tiga anaknya itu anak nomor 1, 3 dan 4. Untuk anak nomor 2 tinggal bersama keluarga Sumini di Padukuhan Piyuyon, Kalurahan Pacarejo, Kapanewon Semanu.

Anak nomor 1 pun sering tinggal bersama neneknya yang tak jauh dari rumah yang ditempatinya saat ini.

Anak nomor 3 sebenarnya juga sering tinggal di Padukuhan Piyuyon. Namun, saat ini karena tengah sekolah daring siswa SMP kelas VII ini tinggal bersamanya.

Setiap hari, Ngadiono harus meminjam gawai saudaranya untuk mengirimkan tugas anaknya.

"HP ini dulu beli Rp 250.000, ya karena HP lama kadang sulit mengirim tugas anak, kadang harus pinjam ke saudara untuk mengirim tugas," kata Ngadiono.

Terlilit utang rentenir

Sejatinya tanah yang ditempati merupakan milik ibu kandung Ngadiono, namun sudah diwariskan ke anak yang lain.

Ngadiono sendiri sebetulnya sudah memiliki rumah, dan pada tahun 2006 lalu, akibat gempa bumi dibangunkan oleh CSR.

Namun karena dililit utang, dirinya menjual rumah dan tanah kepada adik kandungnya.

Lokasi kandang yang mereka tempati saat ini rawan bencana karena berada di tepi sungai Oya. Mereka menyadari bahaya jikaair sungai meluap, namun tak ada pilihan lainnya.

"2012 itu saya merantau ke Bangka bekerja di perkebunan sawit. Tahun 2013 istri saya dan dua anak menyusul," kata Ngadiono.

"Kerja di sana untuk membayar utang, karena utang saya banyak," kata dia.

Sebalum merantau, pekerjaan Ngadiono sebagai tukang sablon. Sementara istrinya sebagai penjual sayur. Karena manajemen tidak bagus, keluarga ini terjerat utang rentenir atau bank harian hingga puluhan juta. Belum lagi utang dari bank kovensional, sehingga Ngadiono harus rela menjual rumah dan tanah warisan untuk membayar.

"Akhirnya pulang ke sini tahun 2018 saya tinggal di gubuk tengah hutan itu," kata dia.

Sumini menambahkan, selama ikut suami kerja di Bangka Belitung dirinya dan suami kerja sebagai buruh harian di perusahaan sawit. Setiap hari Ngadiono dibayar Rp 50.000 sementara dirinya Rp 40.000. Hasil yang dirasakan cukup kecil hidup di perantauan dirinya pun memilih untuk pulang kampung.

Segera dipindah

Dukuh Kedungranti Tukiyarno mengatakan, keluarga ini meski sudah merantau beberapa tahun namun masih terdaftar sebagai warga Kedungranti.

Saat pulang 2018 lalu, keluarga ini tinggal di Piyuyon, Semanu selama 3 bulan. Setelah bapak dari Ngadiono meninggal.

Ngadiono diberikan garapan tanah milik perhutani untuk bercocok tanam, dan mendirikan rumah kecil. Sumini saat itu masih di Piyuyon, berjualan sayuran.

"Untuk mendirikan kandang ternak di sekitar perhutani memang dilarang, dan mungkin capek bolak balik maka didirikan rumah di sini," kata Tukiyarno.

Pihaknya dan RT setempat juga mengupayakan untuk bantuan pendirian rumah, namun karena tidak memiliki tanah, ia tidak bisa membantu. Namun demikian, dalam waktu dekat pihaknya akan membuatkan rumah semi permanen di tanah kas kalurahan untuk berteduh keluarga ini. Sebab, di aliran Sungai Oya sangat berbahaya untuk ditinggali.

Hal ini berkaca dari tahun 2017 luapan sungai cukup tinggi.

"Tetap saya pindahkan ke tanah O (tanah kas) karena di sini banjir dulu. Sudah dalam rumusan kami, dampak bencana di Kedungranti harus kita hindari," kata Tukiyarno.

(Kontributor Yogyakarta, Markus Yuwono)

https://regional.kompas.com/read/2021/09/02/062532078/sebelum-tinggal-di-kandang-sapi-dan-kambing-3-tahun-ngadiono-sekeluarga

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke