Salin Artikel

Cerita di Balik Peladang yang Ditangkap karena Tradisi Bakar Kebun

Ketua Lembaga Adat Paser di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur (Kaltim) ini, menyaksikan ratusan masyarakat adat Paser tumpah ruah ke jalan.

Mereka mendatangi kantor Bupati Kabupaten Paser, meminta tiga peladang yang ditangkap polisi karena membakar ladang, dibebaskan dari tudingan kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

“Membakar ladang itu tradisi, sudah turun temurun yang jadi kearifan lokal bagi kami masyarakat adat Paser,” ungkap Musa mengenang peristiwa yang terjadi pada pertengahan September 2019 lalu itu saat dihubungi Kompas.com, pekan terakhir Agustus 2021.

Musa bilang tradisi membakar lahan dalam masyarakat adat Paser dikenal dengan istilah Neket Jowa.

Istilah ini merujuk pada lahan yang sudah dirintis kering dan siap dibakar ketika tiba musim tanam.

Istilah lain, Ngoak merujuk pada pinggiran kebun yang dibersihkan sebelum dibakar agar tidak menjalar hingga memicu karhutla.

“Kami juga meyakini dengan membakar, padi tumbuh subur tanpa memberi pupuk,” tutur dia.

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim, Margaretha Seting Beraan bilang, saat itu para peladang di Kabupaten Paser ditangkap saat membakar ladang sendiri.

"Mereka bikin kumpulan (rumput) sedikit-sedikit bakar, sedikit-sedikit bakar, lalu datang polisi ambil yang punya ladang,” kisah Margaretha saat dihubungi Kompas.com pekan pertama Agustus 2021.

Meski pun, kata Margaretha, para peladang yang ditangkap ini sudah lapor ke RT dan lurah sebelum bakar.

Peladang saat membakar, juga mengajak anggota keluarga dan tetangga-tetangganya menjaga ladang berluas rata-rata di bawah satu sampai dua hektar itu agar api tak menjalar.

Beralih ke Kutai Timur, dua petani singkong dan cabai di Sangatta Utara juga ditangkap karena kasus karhutla pada kurun waktu sama, September 2019.

Ketika hari tiba senja, petani singkong Ashar tengah sibuk mengumpulkan rerumputan kering di atas lahan seluas 15×20 meter.

Lahan itu ia bersihkan untuk tanam singkong saat musim hujan tiba.

Ketika tumpukan rerumput terbentuk, ia memantik korek api gas yang ada ditangannya.

Lalu menyulutkan ke tisu bekas dan meletakan ke tumpukan rerumputan kering di depannya. Seketika kobaran api menyapu bersih rerumputan itu.

Masih dalam satu wilayah kecamatan, Zulrait petani cabai juga dibekuk polisi. 

Pria 48 tahun itu ditangkap saat membakar lahan seluas 2×18 meter persegi, untuk kebun cabai.

Dari tangannya, polisi mengamankan barang bukti satu buah korek api gas warna ungu merk hunter dan sebilah parang.

Keduanya, digiring menuju Polres Kutai Timur dan ditetapkan tersangka.

Selain dua daerah di atas, penangkapan orang yang dituding karhutla juga terjadi di Berau, Penajam Paser Utara, Bontang, Kutai Barat dan beberapa daerah lainnya.

Sepanjang September 2019, sebanyak 30 orang ditangkap dan ditetapkan tersangka, beberapa di antaranya peladang dan petani.

Tangkapan ini terbanyak dalam sejarah penegakan hukum kasus karhutla di Kaltim enam tahun terakhir.

Kapolda Kaltim, Irjen Pol Herry Rudolf Nahak mengatakan tanpa henti pihaknya beri edukasi bahaya karhutla bagi masyarakat.

"Tapi tentu kami juga menindak tegas pelaku yang sengaja membakar lahan dan hutan," ucap dia.

Hasil identifikasi Ditreskrimsus Polda Kaltim edukasi bahaya karhutla sulit disosialisasikan kepada masyarakat di pedalaman Kaltim, yang disebut bercocok tanam dengan cara nomaden dan cenderung memisahkan diri.

Selain itu, faktor geografis dan kondisi alam di Kaltim yang berbukit dan hutan cukup menyulitkan mendeteksi dan mencegah karhutla.

Penggiat Literasi Sejarah Lokal Kaltim, Muhammad Sarip bilang penduduk pedalaman Kalimantan sering kali diberi stereotip sebagai kelompok manusia yang gemar membuka ladang dengan membakar hutan, dan berakibat polusi udara dan sebagainya.

“Stigma ini mesti diluruskan,” kata Sarip.

Pada masa kini, kata dia, sudah tidak ada lagi aktivitas nomaden. Lahan dan pengelolaan kawasan hutan sudah diatur negara. Banyak juga areal yang diserahkan kuasanya kepada pihak swasta.

“Adapun petani, sebagai warga negara, lahan mana lagi yang bisa mereka bakar? Ladang dan sawah mereka ya itu-itu saja dari tahun ke tahun,” tutur dia.

“Kegiatan perladangan dan persawahan sudah rutinitas saban tahun. Kalaupun ada api di lahan mereka, itu guna keperluan urgent, misalnya menghilangkan sampah sisa pasca-panen,” sambungnya.

Seorang Peladang di Kampung Ongko Asa, Kabupaten Kutai Barat, Fransiskus Suseno (32) tidak sepakat, petani ataupun peladang yang bakar ladang dituding pemicu utama karhutla.

Menurut dia, masyarakat adat punya cara sendiri membakar dan melindungi hutan.

"Kalau ditanya kenapa kami pakai bakar, selain karena tradisi, juga biar ladang bersih,” kata dia.

Ladang bersih, tentu memudahkan peladang saat Nugal (tanam padi). Laki-laki bertugas membuat lubang dari kayu runcing ditancapkan ke lahan, sementara perempuan menyusul dengan menanam atau mengisi benih padi ke dalam lubang itu dan menutup.

“Kalau rumput habis tebas tidak dibersihkan, tertumpuk di ladang bagaimana caranya kami Nugal. Sulit. Kalau pemerintah enggak mau kami bakar, silahkan beri kami cari lain yang modern,” ungkap pria dengan sapaan Acam ini saat dihubungi Kompas.com, Minggu (30/8/2021).

Sejak disahkannya Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), masyarakat lokal sebetulnya diperbolehkan membakar kebun atau ladang asal dibawah dua hektar, dengan memperhatikan kearifan lokal dari daerah tersebut.

Akademisi Hukum dari Universitas Mulawarman Samarinda, Herdiansyah Hamzah bilang ketentuan hukum dalam UU PPLH yang disebutkan itu, sudah diubah melalui UU 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Dalam ketentuan Pasal 22 angka 24 UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 69 ayat (1) UU PPLH itu, secara eksplisit melarang pembukaan lahan dengan cara membakar.

Namun larangan dalam norma tersebut dikecualikan bagi masyarakat yang melakukan kegiatan dimaksud, dengan memperhatikan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing seperti dijelaskan dalam Pasal 69 ayat (2).

“Kalau kita baca penjelasan Pasal 69 ayat (2) ini, kearifan lokal yang dimaksud adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegahan penjalaran api ke wilayah sekelilingnya,” kata pria yang biasa disapa Castro saat dihubungi Kompas.com.

Lalu mengapa peladang atau petani yang membakar kebun dibawah dua hektar ditangkap?

Castro menduga, penyidik kepolisian tidak memahami dengan baik regulasinya, terutama tentang perspektif  kearifan lokal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) itu.

“Kalau perspektif soal itu tidak memadai, maka tidak mengherankan soal penangkapan para petani itu,” kata dia.

Hal lain, tampak dari tudingan pembukaan lahan oleh masyarakat lokal sebagai aktor utama pemicu karhutla di Kaltim.

Dijelaskan Castro, ada banyak kritik soal penanganan karhutla di Kaltim dari hulu sampai hilir.

Pertama, soal penegakan hukum, kata dia, tidak hanya penangkapan, tapi proses penegakan hukum ini dipotret dari hulu ke hilir, dari penangkapan sampai vonis.

“Percuma banyak yang diproses hukum, tanpa dijatuhkan vonis berat. Tidak akan ada efek jera," ujar Castro.

Kedua, soal perspektif penyidik kepolisian, yang cenderung menuding masyarakat yang membakar lahan sebagai aktor pemicu karhutla.

“Ini jelas upaya untuk berlindung dibalik kegagalan mengungkap aktor besar dari perusahaan pemegang konsesi, terutama sawit dan tambang,” terang dia.

Sebab, ada kesan kepolisian tidak memiliki keberanian untuk menyasar korporasi tersebut. Sementara pada sisi lain, justru masyarakat yang selalu dikambinghitamkan.


Terakhir, menurutnya ada kelemahan juga soal data yang cenderung tertutup dan tidak transparan.

Misalnya, data penanganan perkara, tidak diuraikan posisi kasus, kendala penangangannya, dan sejauh mana perkembangannya.

Hal itu membuat kesan, perkara karhutla di Kaltim ditangani secara tertutup.

“Padahal ketertutupan itu berpotensi memicu politik transaksional,” pungkas dia.

Sebelumnya, Kepala Dinas Kehutanan Kaltim, Amrullah menyebutkan faktor utama pemicu karhutla di Kaltim yakni pembukaan ladang oleh masyarakat dengan membakar.

"Buka ladang itu loh. Masyarakat membakar, kemudian berpindah-pindah. Ini faktor utama (pemicu)," ungkap Amrullah saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (28/8/2021).

Kepala Seksi Pengendali Kerusakan dan Pengamanan Hutan Dinas Kehutanan Kaltim, Shahar Al Haqq menambahkan, faktor pembukaan ladang dengan membakar oleh masyarakat menyumbang sekitar 90-an persen.

"Pelaku ya masyarakat, petani yang buka kebun, tapi tidak semua," kata dia.

Selain petani, kata Shahar, faktor lain akibat kelalaian membuang puntung rokok sembarang ataupun sisa api unggun serta faktor alam.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat pada 2019, total luasan karhutla di Kaltim mencapai 68,524 hektar.

Jumlah ini terbesar selama selama enam tahun terakhir.

Sebelumnya pada 2016 total luas lahan dan hutan terbakar di Kaltim sebanyak 43.136,78 hektar.

Pada 2017 sempat menurun menjadi 676,38 hektar. Namun, 2018 naik lagi jadi 27.893,20 hektar hingga tertinggi pada 2019.

Meski begitu, dua tahun terakhir cenderung turun. Data KLHK, selama 2020 luas karhutla Kaltim hanya 5.221,00 hektar. Sampai Agustus tahun ini hanya 414,00 hektar.

https://regional.kompas.com/read/2021/08/31/180324478/cerita-di-balik-peladang-yang-ditangkap-karena-tradisi-bakar-kebun

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke