BANYUMAS, KOMPAS.com - Sapto Yogo Purnomo baru saja meraih medali perunggu di cabang para-atletik 100 meter T37 putra Paralimpiade Tokyo 2020.
Euforia dirasakan masyarakat Indonesia. Dia menjadi atlet pertama Indonesia yang berhasil meraih medali dari cabang para-atletik sepanjang sejarah keikutsertaan di Paralimpiade.
Namun, suasana kontras terlihat di rumahnya Desa Ciberung, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Di desa yang berjarak 20 kilometer dari ibu kota kabupaten di Purwokerto tak ada perayaan apapun.
Orangtua Yogo, Tulus (58), ketika didatangi wartawan tengah memberi pakan di kandang ayam yang berada di belakang rumah Yogo.
Rumah tersebut dibangun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebagai apresiasi dari pemerintah untuk Yogo yang meraih medali emas pada Paragames Asia 2018.
Rumah sederhana ini berada persis di samping kiri rumah orangtuanya.
Tulus mengaku sangat bangga sekaligus haru dengan prestasi anak kedua dari tiga bersaudara ini.
Bangga, karena tak pernah terbersit sedikitpun di benak Tulus, Yogo akan menjadi atlet yang mengharumkan nama bangsa.
Sekaligus haru, karena momentum itu diraih Yogo pada saat ibunya terbaring akibat terkena stroke.
"Saya enggak nyangka bahwa Yogo akan jadi atlet berpestasi, sampai ke luar negeri segala. Ada rasa bangga, enggak menyangka, terharu juga," kata Tulus di rumahnya, Selasa (31/8/2021).
Seusai meraih medali perunggu, ia mengaku belum sempet berkomunikasi dengan anaknya. Ia hanya mengirim ucapan selamat melalui pesan singkat.
Tulus mengatakan, sejak kecil Yogo tinggal bersama ibunya. Pasalnya ia harus merantau ke Jakarta, hanya pulang sesekali.
Menurut dia Yogo lahir seperti bayi pada umumnya. Namun seiring perkembangannya, Yogo mengalami cerebral palsy, yaitu gangguan pada gerakan, otot, atau poster tubuh.
"Tangan kirinya agak sulit digerakkan. Penyebabnya waktu kecil, baru usia beberapa bulan kejang. Dari dulu saya obatin ke mana-mana, tapi kata dokter enggak bisa sembuhin," pasrah Tulus.
Meski ada keterbatasan fisik, Yogo kecil dikenal sangat aktif.
"Masa kecilnya bandel banget, beda sama anak-anak lain. Kalau minta apa-apa harus dituruti. Anaknya enggak mau diam, aktif banget," kenang Tulus.
Namun ketika beranjak remaja, kekurangan tersebut sempat membuat Yogo minder. Apalagi ketika mulai memasuki bangku SMP.
"Tapi lama-lama dia biasa saja," ujar Tulus.
Saat itu, Tulus belum mengetahui bakat Yoga yang saat itu hobi sepak bola.
Bakat pemuda kelahiran 17 september 1998 di bidang atletik ini mulai dilirik gurunya saat di bangku kelas 1 SMK.
"Mungkin karena melihat kecepatannya saat berlari, (sehingga) gurunya melatih. Terus latihan sampai sekarang jadi atlet (profesional)", kata Tulus.
Berawal dari kejuaraan antar-pelajar, Yogo akhirnya meriah medali pada ajang Asean Paragames Kuala Lumpur 2017 dan Asian Paragames Jakarta 2018.
Tulus kini hanya bisa melangitkan doa agar Yogo dapat kembali meraih medali pada cabang para-atletik 400 meter putra yang akan dilakoni dalam waktu dekat ini.
"Habis dari Tokyo katanya mau langsung ke Papua ikut PON. Dia pulang terakhir sebelum Idul Adha, minta restu mau ke Tokyo. Sejak jadi atlet dia tinggal di Solo," ujar Tulus.
https://regional.kompas.com/read/2021/08/31/175345678/kisah-sapto-yogo-raih-perunggu-paralimpiade-saat-sang-ibu-stroke-anak