Ratusan siswa SD ini harus rela berjalan kaki sejak pagi buta dari desanya untuk bisa mengikuti upacara peringatan HUT kemerdekaaan RI.
Adapun jarak dari Desa Urung ke lokasi upacara yang dipusatkan di Desa Loko, Kecamatan Seram Timur, mencapai tiga kilometer.
Para siswa ini harus berangkat sebelum matahari menyingsing agar tidak terlambat mengikuti upacara pengibaran Sang Merah Putih, Selasa (17/8/2021).
Susuri pantai
Perjalanan para siswa SD ini mencapai lokasi bukanlah perkara yang mudah.
Sebab saat berjalan kaki menuju lokasi upacara, para siswa yang masih anak-anak ini harus menyusuri pesisir pantai yang sedang diterpa gelombang.
Mereka juga harus bertaruh nyawa, berenang menyeberangi empat sungai yang ada di wilayah itu agar bisa sampai ke lokasi upacara.
Tiga dari empat sungai yang harus dilalui merupakan sungai besar yang arusnya sangat deras.
Astati Rumfot, salah seorang warga mengatakan, para siswa di desa tersebut harus rela berjalan kaki menyusuri pantai menuju ke Desa Loko demi bisa mengikuti upacara pengibaran bendera karena tidak ada akses jalan darat,
Satu-satunya jalan yang harus dilalui para siswa dari desa Urung yakni menempuh jalur pantai dengan menyeberangi empat muara sungai di wilayah itu.
“Ada empat sungai yang harus dilewati, tidak ada jembatan jadi harus berenang,” kata Astati kepada Kompas.com saat dihubungi dari Ambon, Selasa.
Semua siswa dari Desa Urung yang mengikuti upacara pengibaran bendera di desa Loko tiba di lokasi dengan kondisi basah kuyup karena mereka harus melewati sungai besar.
Belum lagi arus sungai yang dilewati sangatlah deras, jika tidak berhati-hati petaka bisa saja terjadi dan para siswa yang menyeberangi sungai akan terseret ke laut.
“Tadi mereka basah semua, jadi saat upacara dalam kondisi basah,” katanya.
Kondisi pendidikan memprihatinkan
Kodisi pendidikan di wilayah tersebut memang sangat memprihatinkan.
Untuk sekadar mengenyam pendidikan di sekolah, para siswa baik SD, SMP maupun SMA yang ada di desa tersebut setiap harinya harus rela berjalan kaki dengan jarak tempuh yang jauh dan harus menyeberangi sungai besar.
Menurut Astati, kondisi di desa itu sudah berlangsung lama.
Tak heran, siswa dari Desa Urung kerap belajar di sekolah dengan kondisi basah.
“Memang ada SD, SMP dan SMA di sini tapi jaraknya sangat jauh dari kampung, jadi siswa harus berjalan kaki dan harus menyeberangi sungai itu,” katanya.
Meski perjuangan menuju sekolah sangat berisiko, namun para siswa di desa itu sangat bersemangat untuk tetap bersekolah, termasuk jika harus berjalan kaki ke lokasi upacara yang jaraknya sangat jauh.
“Mereka sangat semangat, biar harus menyeberangi sungai mereka tetap semangat ke sekolah, seperti tadi biar basah mereka tetap ikut upacara,” katanya.
Menurut Astati saat musim penghujan tiba, sungai-sungai di wilayah itu sangat sulit dilewati sehingga banyak siswa tidak bisa pergi ke sekolah.
Ia berharap pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten dapat segera membangun akses jalan darat atau membangun jembatan di sungai-sungai tersebut agar siswa di desa itu dapat pergi bersekolah dengan nyaman.
“Karena kalau kondisi hujan itu sangat sulit sekali,” katanya.
Bertaruh nyawa bagi para siswa di Desa Urung untuk bisa pergi ke sekolah menimba ilmu sudah menjadi hal biasa.
Kepala SD Negeri 11 Seram Timur, Ahmad Naim Wokas mengakui para siswa dan guru dari Desa Urung setiap harinya harus berjalan kaki menyusuri pantai dan menyeberangi sungai yang deras demi bisa ke sekolah.
Saat peringatan HUT RI di Desa Loko yang berlangsung pagi tadi, para siswanya juga bertaruh nyawa sambil berenang menyeberangi sungai menuju lokasi upacara.
Ia mengatakan, para siswa dari desa tersebut terpaksa berenang karena tidak ada akses jalan darat yang menghubungkan Desa Urung dengan Desa Loko.
“Tadi mereka bernenang saat lewati sungai menuju lokasi upacara itu, jadi memang saat upacara tadi basah semua,” katanya kepada Kompas.com via telepon seluler.
Ahmad mengaku, ia sempat membawa bantuan speedboat untuk mengangkut para siswa dari desa tersebut, namun sebagian siswa telah lebih dulu memilih berenang menyeberangi sungai.
“Tadi saya arahkan speedboat ke sana untuk angkut mereka tapi ada sebagian yang sudah berenang,” katanya.
Menurut Ahmad kendala yang selama ini dihadapi para siswa dan guru di desa itu saat ke sekolah karena tidak ada jembatan penghubung di sungai-sungai tersebut. Kondisi semakin memprihatinkan saat musim penghujan dan pagi hari saat air pasang.
Saat kondisi tersebut, kata Ahmad mau dan tidak mau para siswa dan guru harus berenang menyeberangi sungai-sungai.
Menurut Ahmad saat baru satu jembatan yang dibangun di salah satu sungai di wilayah itu oleh warga secara swadaya.
“Dari empat kali itu baru di kali Madar yang dibangun jembatan darurat oleh masyarakat, itu dibangun secara swadaya untuk anak-anak sekolah menyeberang ke sekolah,” katanya.
Ia pun berharap agar pemerintah dapat melihat kondisi di wilayah tersebut demi membantu masyarakat khususnya para siswa dan guru yang setiap hari harus bertaruh nyawa demi bisa pergi ke sekolah.
“Semoga saja masalah ini bisa dilihat oleh pemrintah agar anak-anak kami di sini bisa pergi ke sekolah dengan baik,” katanya.
https://regional.kompas.com/read/2021/08/17/165623978/perjuangan-siswa-sd-di-pedalaman-pulau-seram-ikuti-upacara-hut-ri-bertaruh