Salin Artikel

Bawean, Suku yang Gemar Merantau dan Legenda Pelaut yang Terjebak Badai di Laut Jawa

Sayangnya dua guci tersebut dibawa S, warga Pulau Bawean dan hingga saat ini belum dikembalikan ke pihak kepolisian.  Polisi telah membuat panggilan resmi kepada S untuk segera mengembalikan guci tersebut.

Pada guci tersebut terdapat gambar naga di bagian samping.

Disinyalir, guci tersebut ditemukan di perairan Pulau Bawean yang menjadi perlintasan jaluar kapal asal China dan Eropa pada abad ke-17 hingga ke-19.

Ada dua kecamatan di Pulau Bawean yaitu Sangkapura dan Tambak.

Kata bawean sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti ada sinar matahari.

Menurut legenda, sekitar tahun 1350 ada sekelompok pelaut dari kerajaan Majapahit terjebak badai di laut Jawa.

Hempasan ombak serta badai yang begitu kuat, membuat mereka terdampar di suatu pulau, tepat pada saat matahari terbit.

Pulau itu pun diberi nama Pulau Bawean. Dalam kitab Negarakertagama, Pulau Bawean disebut juga sebagai Pulau Buwun.

Sebelumnya banyak yang menganggap suku Bawean menggunakan bahasa Madura. Padahal suku tersebut berkomunikasi dengan bahasa Bawean asli.

Masyarakat Bawean dikenal sebagai bangsa perantau. Mereka bahkan merantau hingga ke Bandar Malaka untuk memperbaiki ekonomi mereka.

Pada abad ke-15 dan abad ke-16, Bandar Malaka menjadi pusat perdagangan.

Hingga kini, masyarakat Bawean tersebar di berbagai negara, seperti Malaysia, Singapura, Vietnam, Australia, dan beberapa negara lainnya.

Ada yang merantau ada juga yang bekerja untuk pemerintah kolonial Perancis yang berkuasa di Vietnam.

Sebagian besar tak dapat pulang ke kampung halaman karena tidak memiliki dokumen kewarganegaraan dan tak lagi memiliki hubungan dengan kerabat di Pulau Bawean, Jawa Timur.

Dikutip dari nationalgeographic.grid.id, warga Vietnam keturunan Indonesia dikenal sebagai orang Bawean atau Boyan. Sebagian besar tinggal di sekitar Masjid Al Rahim di Distrik 1 Ho Chi Minh.

Salah satunya keturunan Bawean adalah pemimpin Masjid Al Rahim, Imam Haji Ally (86 tahun).

Ia mengikuti kedua orang tuanya ke Ho Chi Minh pada penjajahan Belanda, ketika baru menginjak usia 11 tahun.

Haji Ally mengatakan ayahnya bekerja untuk pemerintah kolonial sebagai teknisi mesin.

"Ayah saya dulu kerja di bagian teknik pada masa penjajahan. Saya tak ingat betul berapa orang yang ikut dari Indonesia," jelas Ally dalam bahasa Melayu.

Pakar studi Vietnam, Malte Stockhof menjelaskan orang Bawean meninggalkan kampung halamannya dengan berbagai alasan.

"Menurut cerita mereka, keberadaan mereka di Vietnam itu karena beberapa alasan. Yang utama ialah untuk menghindari pemerintah kolonial Belanda yang represif, menjalankan tradisi merantau dan dalam perjalanan pergi haji, mereka kemudian singgah di Singapura bekerja untuk menambah ongkos ke tanah suci Mekkah, " jelas Stockhof.

Para perantau dari Bawean kemudian ada yang memilih tinggal di Singapura dan ada juga yang melanjutkan perjalanan ke Mekkah.

Stockhof mengatakan orang-orang Bawean yang menempuh perjalanan melalui Sungai Mekong bekerja dengan para pedagang dari Tiongkok dan kemudian mencari pekerjaan ketika tiba di Saigon (Ho Chi Minh).

Masalah kewarganegaraan ini muncul setelah Vietnam Selatan yang didukung Amerika Serikat dikalahkan oleh Vietnam Utara pada 1975.

Perubahan situasi politik dan keamanan di Vietnam membuat keturunan Bawean di Ho Chi Minh merasa khawatir. Apalagi banyak juga dari mereka yang bekerja dengan AS.

Malte Stockhof mengatakan sejumlah keturunan Bawean di Vietnam berupaya untuk pulang, tetapi terkendala dokumen dan terputusnya kontak dengan keluarga di kampung halaman.

"Sebagian besar dari mereka tidak memiliki dokumen dan tidak bisa pulang ke Indonesia. Yang berhasil mengontak kerabatnya dapat pulang ke Bawean, tetapi jumlahnya sangat sedikit karena alat komunikasi yang sangat terbatas pada masa itu," jelas Stockhof.

Stockhof mengatakan bagi orang-orang Bawean yang memiliki dokumen yang dikeluarkan pemerintah kolonial Perancis pun mengalami kesulitan.

"Dalam dokumen itu mereka disebut sebagai etnis Melayu. Lalu kantor Kementerian Luar Negeri Vietnam mengatakan mereka itu Ma\'alay yang artinya warga Malaysia. Selanjutnya mereka pun mendatangi perwakilan pemerintah Malaysia, tetapi ditolak karena mereka juga bukan warga negara di sana," jelas Stockhof.

Akhirnya mereka pun kembali ke kantor Kementerian Luar Negeri Vietnam dan akhirnya ditawarkan untuk menjadi warga negara Vietnam.

Akan tetapi masalah kembali muncul ketika akan mencantumkan etnisitas.

"Ketika mereka sebut berasal dari suku Bawean, tidak dikenal di Vietnam lalu ditawarkan dicantumkan sebagai etnis Cham karena sama-sama Muslim. Tetapi karena bukan orang Cham maka mereka pun menolak, akhirnya setelah pembahasan yang panjang dalam kolom suku di kartu identitas orang Bawean disebut Indonesia, padahal kan itu bukan suku tapi nama negara asal," kata Stockhof.

https://regional.kompas.com/read/2021/08/14/063000678/bawean-suku-yang-gemar-merantau-dan-legenda-pelaut-yang-terjebak-badai-di

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke