Salin Artikel

Kisah Pilu TKW Sulikah di Malaysia, Gaji Tak Dibayar Penuh, Hampir Setiap Hari Dipukul Majikan

Perempuan berusia 22 tahun itu harus menderita selama setahun bekerja sebagai asisten rumah tangga di Malaysia. Kesedihannya makin bertambah karena gaji yang diterima tak utuh dalam setahun.

Ibu satu anak ini hanya menerima dua bulan gaji. Bahkan, gaji yang diterima masih dipotong lebih dari setengahnya.

“Selama saya kerja di Malaysia, baru dua kali saya terima gaji. Itu pun langsung dikirim ke ibu saya. Jadi di sana saya tidak pernah sama sekali menerima gaji,” ujar Sulikah yang ditemui Kompas.com, pekan lalu.

Saat hendak bekerja di negeri Jiran, Sulikah dijanjikan dibayar Rp 3,8 juta per bulan. Namun kenyataannya ia hanya menerima Rp 1,7 juta per bulan.

Penderitaan Sulikah tak sampai di situ. Hampir setiap hari, ia dipukul majikannya dengan beragam alat.

Majikannya pernah memukulnya dengan rotan, besi batangan, gagang sapu, hingga membenturkan kepalanya ke tembok. Akibat pukulan dari sang majikan, badannya lebam hingga kepalanya berdarah.

“Hampir setiap hari saya dipukuli. Setelah itu saya hanya bisa menangis,” kata Sulikah.

Tak hanya kekerasan fisik, jatah makan yang diberikan kepada Sulikah sangat minim.

Ia hanya dijatah segelas beras dan sebutir telur untuk makan dari pagi hingga malam. Jika ingin memakan makanan lain, majikannya mengancam akan memotong gaji.

Bak terpenjara, Sulikah juga tidak diizinkan keluar rumah. Untuk buang sampah saja, majikan melarangnya. Bahkan saat majikannya pergi, pintu pagar dikunci rapat-rapat.

Sebenarnya Sulikan ingin menceritakan penderitaan yang dialaminya kepada keluarga di kampung halaman. Namun, satu-satunya ponsel yang ia punya sudah diminta sang agen saat tiba di Malaysia.

Tetangga majikan yang peduli

Penderitaan Sulikah berakhir saat diminta sang majikan mencuci mobil di halaman depan rumah. Saat itu, seorang tetangga yang lewat menanyakan kondisi Sulikah.

Tetangga itu sering mendengar sang majikan memarahi Sulikah.

“Saya tidak kuat lagi. Jadi saya ceritakan semuanya kepada tetangga itu,” ungkap Sulikah.


Doa Sulikah untuk bisa segera keluar dari malapetaka pun terjawab. Tetangga tersebut melapor ke Kepolisian Diraja Malaysia.

Tak lama kemudian, sejumlah petugas polisi Malaysia datang menjemputnya. Di depan polisi, ia menceritakan kekerasan yang menimpa dirinya selama bekerja di rumah itu.

Tak hanya itu, bekas luka akibat kekerasan majikannya juga difoto polisi setempat untuk menjadi barang bukti. Ia juga mendapatkan pengobatan dari dokter setempat yang dibawa polisi.

Usai diperiksa polisi, Sulikah dititipkan di rumah perlindungan imigrasi. Setelah tiga minggu berada di rumah imigrasi, ia dibuatkan surat untuk kembali pulang ke Tanah Air.

Sulikah kembali ke tanah air bersama sejumlah pekerja migran Indonesia lainnya, Rabu (26/5/2021).

Lantaran pandemi Covid-19, setiba di Surabaya, Jawa Timur, Sulikah harus menjalani karantina di Asrama Haji Sukolilo selama tiga hari.

Selanjutnya ia dijemput petugas Pemkab Madiun dan kembali menjalani karantina di Kabupaten Madiun selama tiga hari. Setelah karantina selesai, Sulikah baru diperbolehkan pulang ke rumahnya.

Tak tahu ibunya meninggal

Perihnya hidup yang dialami Sulikah selama bekerja sebagai buruh migran di Malaysia belum selesai. Begitu tiba di kampung halaman, Sulikah baru mengetahui ibunya meninggal pada April 2021.

Ia pun teringat dengan mimpi yang dialami saat masih dititipkan di Kantor Imigrasi Malaysia.

“Saat itu saya mimpi ibu saya datang ke Malaysia dan mengajak pulang saya,” ujar Sulikah.

Setiba di kampung halamannya, Sulikah hanya bisa menyesali keberangkatannya menjadi tenaga kerja wanita ke Malaysia pada 2019.

Sulikah terpaksa bekerja sebagai buruh migran karena kondisi ekonomi keluarganya yang kurang mampu.


Saat itu seorang agen PMI datang ke rumah dan menawarkan pekerjaan di Malaysia sebagai asisten rumah tangga.

Agen itu menjanjikan satu bulan ia mendapatkan gaji sekitar 1.110 ringgit atau sekitar Rp 3,8 juta.

Mendapatkan tawaran itu, Sulikah menyetujuinya. Seluruh dokumen diurus agen.

Bahkan ia mengakali tahun kelahirannya. Sesuai kartu tanda penduduk (KTP), Sulikah lahir pada 1999, tetapi di paspor tertulis 1997.

Setelah dokumen lengkap, Sulikah diberangkatkan dari Bandara Yogyakarta. Setibanya di Malaysia, Sulikah dijemput agen yang berada di negara tersebut.

Semalam menginap di penampungan, pagi harinya Sulikah diantar ke rumah majikan. Sulikah tidak mengetahui pasti alamat tinggal majikannya tersebut. Ia hanya mengingat rumah majikannya berada di Jalan Ipoh.

Sulikah pun juga tidak mengetahui nama majikannya. Perempuan itu hanya mengingat wajah keras majikan perempuannya yang sering marah dan memukulnya.

”Saya tidak tahu namanya. Kalau majikan perempuan saya panggil madam dan laki-laki panggil bos. Kalau tiga anaknya itu saya panggil koko, cece, dan baby,’’ ungkap Sulikah.

Sulikah tak membawa sepeser uang saat tiba di tanah air. Beruntung, setiba di Surabaya, dua PMI memberinya uang masing-masing Rp 50.000.

Ia berharap kekurangan gaji segera dibayar majikannya. Pasalnya saat di Malaysia, polisi yang menangani kasusnya berjanji mengurus gajinya yang belum dibayar majikannya.

Sulikah kini tinggal bersama ayah, kakek, dan nenek serta anaknya yang berusia tiga tiga tahun. Ia tidak bisa berbuat banyak dan kesulitan mencari pekerjaan karena hanya lulusan SD.

Padahal Sulikah memiiliki tanggung jawab membesarkan anaknya yang baru berusia tiga tahun. Pasalnya, Sulikah harus menghidupi anaknya sendiri setelah suaminya pergi meninggalkan diri dirinya usai melahirkan.


Sulikah sudah berusaha melamar menjadi penjaga toko namun sampai saat ini belum ada yang menerimanya. Bermodal ponsel yang dipinjamkan saudaranya, Sulikah tak pantang menyerah mencari pekerjaan demi menghidupi anaknya semata wayang.

Telah lakukan pendampingan

Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Madiun Heru Kuncoro mengaku telah melakukan pendampingan terhadap Siti Sulikah.

Pendampingan itu untuk membantu korban dari trauma dan mengetahui perusahaan pelaksana penempatan TKI swasta (PPTKIS) yang memberangkatkan Sulikah.

“Dua hari setelah pulang ada pendampingan dari kami kepada korban. Setidaknya kami mencari informasi PJTKI yang membawa TKI tersebut. Hanya saja korban belum bisa bercerita banyak tentang kejadian yang dialaminya selama bekerja di Malaysia setelah tiba kampung halamannya,” ujar Heru.

Beberapa hari kemudian, petugasnya kembali menemui korban. Dari penelisikan tim, kata Heru, kemungkinan korban berangkat tidak menggunakan jasa PJTKI yang resmi karena data-data keberangkatan diminta tidak ada.

“Dalam waktu dekat kami akan ke sana untuk mencari data-data detail setelah korban pulih kondisi traumanya. Biar jelas siapa yang membawa dan mengurus keberangkatannya,” jelas Heru.

Tak hanya itu, kata Heru, pihaknya sudah berkoordinasi dengan BP2MI di Madiun. Pasalnya, sesuai aturan BP2MI yang akan menindaklanjuti ada tidaknya unsur pelanggaran hukum yang terjadi dalam kasus tersebut.

Dengan demikian kasus itu dapat ditindaklanjuti untuk dibawa ke aparat penegak hukum atau penyelesaian internal perusahaan.

Bagi Heru, saat ini yang terpenting hak-hak korban segera terselesaikan. Sehingga gaji yang belum dibayar segera diterima penuh oleh korban.

https://regional.kompas.com/read/2021/06/28/083717378/kisah-pilu-tkw-sulikah-di-malaysia-gaji-tak-dibayar-penuh-hampir-setiap

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke