Salin Artikel

Bheley, Rumah Perpaduan Madura China yang Berkembang di Bangkalan

Masyarakat setempat menyebutnya rumah Bheley.

Salah satu rumah Bheley berukuran mungil yakni 4x7 meter dengan atap pelana dan hiasan ujung bubungan atap yang dipengaruhi arsitektur China.

Varian lain adalah rumah berukur antara 8 meter hingga 15 meter. Semua rumah menghadap ke utara ke arah pantai. Langgamnya terlihat paduan antara China, Madura, Jawa bahkan Majapahitan.

Ukiran gebyok di depan rumah adalah bunga, sulur, dedaunan khas ragam hias Jawa yang terdapat di pinggiran pintu.

Menariknya, terdapat motif swastika alias ‘banji’- (Wan Zi dalam Bahasa Mandarin) yang artinya sepuluh ribu – di setiap rumah-rumah itu.

Seolah menjadi motif pakem, motif ‘banji’ menjadi motif utama yang menghiasi kanan kiri pintu utama rumah Bheley dan berdinding anyaman bambu ‘tabing’ itu.

Motif banji juga ditemukan di barang rumah tangga lainnya seperti ranjang, daun pintu, jendela, kotak penyimpanan keris, dan peti angkut upeti kuno.

Kilin merupakan simbol panjang umur, kebijaksanaan, kebahagiaan, dan harapan memiliki keturunan yang baik. Sedangkan singa merupakan mahluk penjaga dan pelindung.

Burung hong dan naga ada simbol yin-yang bersatunya wanita dan pria dan tepian banji adalah simbol kesejahteraan serta teratai simbol kesucian.

Banji telah digunakan oleh masyarakat Kebudayaan Indus Mohenja Daro (2.500 – 1.500 SM) sebagai lambang keberuntungan.

Sedangkan di China, lambang swastika awalnya menjadi karakter yang berarti 4 wilayah di penjuru dunia. Namun pada tahun 700 M, digunakan menjadi kata ‘wan’ yang artinya sepuluh ribu simbol jumlah yang tak terbatas.

Motif tersebut tak hanya menjadi motif religius di tempat-tempat sakral, namun juga menjadi motif simbolik yang digunakan untuk keberuntungan, kesejahteraan, keabadian.

Penanda lain penggunaan simbol China di rumah Bheley adalah penggunaan motif bunga teratai untuk dua buah pasak menonjol di pintu depan rumah.

Serta motif bunga teratai atau lotus, yang menjadi simbol kemurnian dalam Budhisme dan kebudayaan China.

“Rumah-rumahnya terutama ukiran-ukiran itu jadi buruan kolektor,” ujar Sahril, warga Bangkalan dikutip dari nationalgeographic.grid.id.

Ia bercerita sekitar 30 tahun lalu, rumah Bheley banyak ditemukan di sudut kampungnya. Namun rumah tradisonal tesebut kini dikepung rumah megah berlantai dan berdinding keramik.

“Hasil warga menjadi TKI di Malaysia,” ungkap Sahril sambil menceritakan banyaknya warga desanya yang mengadu nasib ke negeri jiran.

Sahril pun menyayangkan hilangnya rumah-rumah tradisional Labuhan beserta furniturnya.

“Tinggal sisa itu saja, furnitur kuno ya sudah tidak ada, semoga rumah-rumah ini tetap ada,” kata dia.

Madura pernah berada di bawah kerajaan Hindu Kediri (1042-1222), Singhasari (1222-1292), Majapahit (1293-1500).

Nama dan asal usul Madura pun tercatat dalam Negarakertagama (1365) karangan Empu Prapanca yang ditulis pada masa Kerajaan Majapahit pun menunjukkan bahwa daratan Madura menjadi satu dengan Pulau Jawa.

Dengan keberadaan Jalur Sutera Maritim dan Jalur Rempah di kawasan timur Nusantara, Madura juga menjadi tempat singgah kapal-kapal dagang Arab, China dan lainnya sampai kemudian bangsa Eropa datang berburu rempah-rempah.

Tak heran, banyak bentuk akulturasi budaya yang membentuk identitas Madura dan masyarakatnya saat ini.

Madura juga pernah disebut-sebut dalam kronik China yang berjudul Yingya Shenglanyang ditulis oleh Mahuan tahun 1416 dan Shun Feng Xiang Songyang ditulis era Dinasti Ming (1368-1398) tepatnya pada masa Ekspedisi Cheng He.

Dalam kronik Yingya Shenglan, Madura disebut Zhong Jia Luo (Groeneveldt dalam Notes on The Malay Archipelago and Malacca membuat transkripsinya dengan sebutan Tiong Ka La).

"Laki laki dan perempuan memiliki rambut yang digelung, pakaiannya dari katun dan mengenakan sarung bergaris. Mereka merebus air laut dan membuat garam, mereka juga membuat arak dari fermentasi beras ketan. Barang ekspornya berupa kijang, burung beo, katun, biji cokelat, dan kain kasa. Barang impornya berupa perak dan sutera motif bunga.”

Dalam kronik Shun Feng Xiang Song yang ditulis anonim yang diperkirakan disusun mulai tahun 1430 dan selesai tahun 1571, Madura disebut Wuliuna Shan (Gunung Wuliuna).

Madura menjadi tempat pemberhentian ketika kapal ekspedisi Cheng He berlayar menuju Pulau Timor.

Claudine Salmon dalam artikelnya yang berjudul The Han Family of East Java, Enterpreneurship and Politics 18-19 Century yang terbit di jurnal Archipel tahun 1991 menulis Madura terutama Sumenep sudah ramai oleh orang Cina yang menetap di sana sejak Abad 17.

Ia menyebutkan di Madura ada keluarga marga Han yang menyebar di Bangkalan, Sumenep dan Sampang.

Di Sumenep bahkan terdapat klenteng yang dibuat oleh marga Han dengan nama Baoshan Linggong dengan dewa utamanya Dewi Samudera.

Pada tahun 1901, paling tidak terdapat 4.000 orang China di Madura, setara dengan jumlah orang China di Madiun dan Karawang dan lebih besar dari jumlah orang Cina di Yogyakarta dan Probolinggo.

Panjangnya sejarahnya masuknya orang China di Madura memungkinkan adanya pertukaran budaya, saling serap dan saling bertoleransi ada orang Madura dan orang China.

Salah satunya adalah keberadaan rumah Bheley di Bangkalan, Madura.

https://regional.kompas.com/read/2021/06/26/110100178/bheley-rumah-perpaduan-madura-china-yang-berkembang-di-bangkalan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke