Salin Artikel

Mbok Sarinah dan Kepedihan Bung Karno Muda di Mojokerto

Ia menyebut gedung yang berada di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat sebagai Gedung Sarinah.

Kala itu, Gedung Sarinah digunakan sebagai etalase barang produksi dalam negeri khususnya yang berasal dari UMKM.

Sebagai pusat perbelanjaan modern pertama, Gedung Sarinah langsung jadi ikon berbelanja di Jakarta.

Namun tak banyak yang tahu jika nama Sarinah dipilih Bung Karno sebagai rasa hormatnya pada Sarinah, pengasuhnya saat ia tinggal di Mojokerto.

Sarinah menjadi inspirasi Soekarno di buku yang berjudul Sarinah, Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia.

Dalam kata pengantar buku itu Soekarno menulis,

"Saya namakan kitab ini Sarinah sebagai tanda terimakasih saya kepada pengasuh saya ketika saya masih kanak-anak. Pengasuh saya itu bernam Sarinah, Ia "Mbok" saya.

Ia membantu ibu saya, dan dari dia saya menerima banyak rasa cinta dan rasa kasih. Dari dia saya banyak mendapatkan pelajaran mencintai "orang kecil".

Dia sendiri pun "orang kecil". Tetapi budinya selalu besar! Moga-moga Tuhan membalas kebaikan Sarinah itu!"

Ia pindah bersama keluarganya dari Surabaya ke Mojokerto saat berusa 6 tahun.

Kala itu sang ayah Raden Sukemi Sosrodiharjo menjadi guru di Mojokerto. Ia pun mengajak sang istri, Idayu dan dua anaknya termasuk Sukarmini yang berusia dua tahun di atas Kusno nama kecil dari Soekarno.

Di Mojokerto, Kusno bertemu Sarinah seorang gadis yang kemudian menjadi pengasuhnya.

Bagi keluarga Sukemi, Sarinah bukan pelayan dalam pengertian barat.

Sarinah dianggap bagian dari keluarga Sukemi. Sarinah tidak menikah. Selama tinggal bersama keluarga Sukemi, Sarinah juga tidak menerima gaji.

"Dia tidur bersama kami, tinggal bersama kami, memakan apa yang kami makan, tetapi dia tidak mendapat gaji sepeser pun."

"Dialah yang mengajarku mengenal kasih sayang. Sarinah mengajariku untuk mencintai rakyat. Rakyat kecil," cerita Soekarno pada Cindy di bukunya.

Tentang Sarinah yang tidak menerima gaji saat mengasuhnya, Soekarno mengatakan, "Membayar upah bagi pekerjaan di rumah tangga pada awalnya tidak dikenal dalam konsep di lingkungan kami. Bila ada pekerjaan berat yang harus diselesaikan, setiap orang turut membantu."

Soekarno bercerita jika Sarinah sedang memasak di dapur, maka dia akan duduk di sebelahnya untuk menemani.

Suatu hari Sarinah pernah berpesan kepada Soekarno, "Karno, di atas segalanya engkau harus mencintai ibumu. Tapi berikutnya engkau harus mencintai rakyat kecil. Engkau haru mencintai umat manusia," kata Sarinah.

Di masa kecil, Soekarno tidur di ranjang Sarinah yang sempit dan selalu mengikuti kemanapun Sarinah pergi.

Namun di otobigrafinya, Soekarno tidak menceritakan detail tentang Sarinah. Hanya saja Bung Karno bercerita saat tak ada lagi Sarinah, ia dan kakaknya, Sukarmini tidur di ranjang milik Sarinah.

Nama Sarinah kembali diceritakan Soekano saat dia pindah ke Surabaya di usia 15 tahun.

Di Surabaya, ia tinggal di Keluarga Cokroaminoto untuk melanjutkan sekolah. Saat awal tinggal di Surabaya, Soekarno mengaku tidak betah dan menangis setiap hari.

Dia kehilangan sosok ibu dan nenek yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan Soekarno. Termasuk juga tidak ada sosok Sarinah.

"Sekarang aku tidak punya ibu, tidak ada nenek yang menyayangiku untuk membujukku, tidak ada Sarinah yang setia menjagaku. Aku merasa sebatang kara," cerita Soekarno di bukunya.

Hampir 2,5 bulan ia sakit tifus dan hanya bisa berbaring di atas tempat tidur.

Bung Karno bercerita rumah yang mereka sewa di Mojokerto berada di tanah yang rendah dekat sebuah sungai kecil.

Saat musim hujan, sungai akan meluap dan airnya akan menggenangi pekerangan rumah mereka.

Sejak Desember hingga April, pekarangan rumah mereka selalu basah. Air tergenang yang bercampur sampah serta lumpur membuat Kusno terkena tifus. Selama Kusno sakit, sang ayah Sukemi selalu menemani.

Sukemi tidur di lantai semen yang lembab hanya beralaskan tikar tipis yang usang tepat di bawah tenpat tidur Kusno yang terbuat dari bambu.

Sukemi terus berdoa anaknya mendapatkan kekuatan dan segera sembuh. Selain tifus, Kusno juga terkena malaria, disentri dan penyakit lainnya. Sukemi pun berpikir untuk mengganti nama Kusno.

Karena Sukemi pengagum cerita klasik Hindu zaman dulu Mahabharata, maka nama Kusno diganti dengan dengan Karna yang disebut Sukemi sebagai pahlawan terbesar dalam Mahabharata.

"Agar anakku menjadi seorang patriot dan pahlawan besar dari rakyatnya. Semoga engkau menjadi Karna yang kedua," kata Sukemi pada anak lelakinya.

Menurut Bung Karno, nama Karno atau Karno sama saja. Dalam bahasa Jawa huruf "A" dibaca "O". Awalan "Su" pada kebanyakan nama kami berarti baik, paling baik.

Jadi Sukarno berarti pahlawan yang terbaik.

Setelah Soekano sembuh, mereka pun pindah ke rumah di Jalan Eesiden Pamuji yang lebih kering.

Mereka sering tidak bisa makan nasi satu kali dalam sehari dan kebanyakan makan ubi kayu, jagung yang ditumbuk dengan bahan makanan yang lain.

Sang ibu, Idayu juga tak mampu untuk beli beras seperti yang suka dibeli oleh penduduk lain.

Uangnya hanya cukup untuk membeli padi dan setiap pagi Idayu menumbuknya degan lesung sehingga butir-butir yang mengandung sekam menjadi beras yang dijual orang di pasar.

Hal tersebut terus dilakukan Idayu di bawah terik matahari hingga tangannya memerah dan melepuh.

"Aku menghemat uang satu sen. Dan uang satu sen dapat membelikan sayuran buatmu, nak," kata Idayu kepada Soekarno.

Sejak hari itu selama beberapa tahun, Soekarno kecil membantu ibunya menumbuk padi sebelum berangkat sekolah.

Saat Soekarno naik kelas lima, sang ayah berencan akan mengirimnya ke sekolah tinggi di Belanda.

Sayangnya kemampuan Bahasa Belanda Soekarno dianggak kurang.

Sang ayah pun meminta pengajar bahasa Belanda di Europeesche Lagare School yang bernama Maria Paulina De La Rieviere untuk memberikan pelajar khusus pada Soekarno selama satu jam setiap hari.

Saat masuk sekolah menengah, Soekarno dikirim sang ayah ke Hogore Burger School di Surabaya dan tinggal bersama HOS Cokroaminoto.

Di Surabaya, Soekarno muda mulai mengenal dunia pergerakan. Bahkan ia menyebut Surabaya sebagai dapur nasionalisme.

https://regional.kompas.com/read/2021/06/06/063600078/mbok-sarinah-dan-kepedihan-bung-karno-muda-di-mojokerto

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke