Salin Artikel

Cerita Mbah Peno dan Desa Penangkaran Penyu yang Bakal Jadi Lokasi Wisata

BLITAR, KOMPAS.com - Mbah Peno begitu bersemangat menyambut Kompas.com yang berkunjung ke lokasi penangkaran penyu di kawasan wisata Pantai Serang, Kabupaten Blitar, Minggu (23/5/2021).

Meski tak diminta, penjaga penangkaran penyu itu masuk ke salah satu dari tiga kolam dan menangkap seekor penyu hijau di antara puluhan penyu berukuran lebar sekitar 15 sentimeter.

"Ini biar lebih jelas lihatnya," ujar pria berusia 65 tahun itu dalam Bahasa Jawa sembari mendekatkan penyu itu kepada Kompas.com.

Tentu saja kesempatan itu tak disia-siakan untuk untuk mengabadikan secara dekat penyu itu.

Tidak cukup, Mbah Peno pindah ke kolam di salah satu ujung dan kembali menyodorkan seekor penyu sisik, kali ini dengan ukuran lebih kecil, sekitar 10 sentimeter lebar punggungnya.

"Ini penyunya sudah besar-besar usia sekitar 7 bulan, enggak tahu kenapa belum dilepas ke laut. Katanya mau dipelihara," ujar Mbah Peno.

Di ujung yang lain, satu kolam berisi seekor penyu dengan lebar punggung lebih dari 20 sentimeter.

Menurut Mbah Peno, penyu itu bukan hasil tangkaran, tapi penyu yang beberapa waktu lalu tersangkut di jaring nelayan.

Bekas nelayan itu mengaku mendengar rencana pengelola penangkaran dan konservasi penyu, BUMDes Desa Serang di Kecamatan Panggungrejo itu, untuk membesarkan penyu-penyu yang kini ada di tiga kolam penangkaran itu.

Yang dia dengar, nantinya pengunjung dipungut biaya untuk masuk ke area.

Antusiasme yang sama dia tunjukkan kepada serombongan keluarga yang masuk ke area penangkaran penyu berpagar bambu seluas sekitar 7 meter kali 10 meter itu.

Mbah Peno seperti mulai mempraktekkan apa yang seharusnya dia lakukan jika kelak wisata edukasi konservasi penyu menjadi kenyataan.

Setidaknya sekali dalam setahun, kelompok nelayan dan masyarakat pesisir Pantai Serang yang terletak sekitar 40 kilometer selatan Kota Blitar itu menggelar kegiatan pelepasan tukik atau anak penyu ke laut.

Selain sebagai kegiatan kampanye konservasi penyu, kegiatan tersebut juga diniatkan sebagai sarana penggalangan dana untuk membiayai kegiatan konservasi melalui penangkaran penyu.

Sebuah inisiatif yang datang terutama dari Dwi Handoko Pawiro, pegiat masyarakat desa yang kemudian terpilih sebagai Kepala Desa Serang tahun 2014.

Kegiatan konservasi penyu itu murni berbasis swadaya masyarakat setempat.

Proposal-proposal permintaan bantuan pembiayaan ke instansi pemerintah yang terkait tidak membuahkan hasil.

Maka, penggalangan dana melalui acara pelepasan tukik menjadi satu-satunya sumber dana.

"Tapi, ya dana yang dapat dikumpulkan dari partisipasi masyarakat tidak seberapa yang didapat. Tetap BUMDes harus nombok," ujar Handoko, kepada Kompas.com, Selasa (25/5/2021) petang.

Di setiap kegiatan, terdapat antara 300 hingga 800 ekor tukik penyu di lepas.

Masyarakat yang berpartisipasi pada kegiatan itu, diminta donasi sebesar Rp 15.000 untuk setiap ekor tukik yang dia lepaskan.

Biasanya, mereka menjadikan kegiatan itu sebagai sarana memberikan pendidikan dan pengalaman kepada anak-anak mereka terkait konservasi penyu.

Kadang, pihak BUMDes beruntung ketika ada instansi swasta atau komunitas tertentu yang berpartisipasi dan memborong pelepasan tukik dalam jumlah tertentu sekaligus.

"Tetap saja, paling partisipasi masyarakat paling banyak mengambil 40 persen dari seluruh tukik yang kami lepas. Sisanya, kami lepas tanpa donasi," ujar Handoko.

Rekor partisipasi dari instansi swasta dan komunitas pada kegiatan pelepasan tukik yaitu memborong 200 ekor tukik sekaligus. Dana yang terkumpul sebesar Rp 3 juta.

Menurut Handoko, dana yang terkumpul dari pelepasan tukik tidak pernah dapat menutup biaya penangkaran.

Kegiatan penangkaran untuk konservasi penyu dimulai dari mengumpulkan telur penyu dari pantai.

Nelayan dan warga yang menemukan telor penyu akan diberi imbalan sekitar Rp 1.500 per butir.

Dalam satu musim, telur penyu yang ditetaskan bisa lebih dari 1.000 butir meskipun tidak semuanya berhasil menetas.

Artinya, paling sedikitnya diperlukan dana lebih dari Rp 1,5 juta untuk pengumpulan telur penyu.

Setelah telur-telur menetas, dibutuhkan biaya untuk pakan. Menurut Handoko, dengan 500 ekor tukik yang ditangkar, setiap harinya minimal butuh dana Rp 100.000 untuk pakan.

Jika tukik penyu dilepas antara usia 2 hingga 3 bulan, kebutuhan pakan total sampai masa pelepasan tukik bisa mencapai Rp 6 hingga Rp 9 juta.

"Ada lagi biaya rutin seperti gaji Mbah Peno, Rp 400.000 per bulan. Mbah Peno yang setiap hari harus kasih makan dan membersihkan kolam, mengganti air, dua atau tiga hari sekali," ujar Handoko.

Defisit pembiayaan kegiatan nirlaba itu kadang memicu konflik antar individu dalam komunitas masyarakat Pantai Serang di mana kegiatan mulia itu bertumpu.

Pada akhirnya, hal ini juga mempercepat habisnya energi beberapa individu tersebut untuk terus menghidupi kegiatan yang telah berlangsung lebih dari 5 tahun itu.

Maka sebuah rencana baru disusun, yaitu membesarkan sebagian dari penyu-penyu tersebut sebagai obyek wisata edukasi konservasi penyu.

Beruntung pada 2019, Desa Serang mendapatkan dana hibah program PIID-PEL (Program Inkubasi Inovasi Desa-Pemberdayaan Ekonomi Lokal) dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi sekitar Rp 1 miliar.

Sebagian dananya, sekitar Rp 90 juta, digunakan untuk membangun tempat penangkaran penyu yang sekaligus akan menjadi obyek wisata edukasi konservasi penyu yang terintegrasi dengan kawasan wisata Pantai Serang.

"Harapannya, kelak kegiatan ini tidak lagi defisit seperti selama ini, sementara kegiatan pelepasan tukik bisa semakin ditingkatkan," ujar Handoko.

Di masa ketika Mbah Peno masih cukup kuat melaut untuk mencari ikan, persisnya sebelum 2014, nelayan dan warga Pantai Serang biasa mengonsumsi dan menjual daging dan telur penyu.

Selama beberapa bulan mulai Maret hingga Juni setiap tahunnya, mereka akan mendapatkan bahan makan tambahan atau sumber pendapatan ekstra dari penyu-penyu yang mendarat untuk bertelur.

"Sering juga dulu ada penyu besar lebarnya bisa segini," ujar Mbah Peno membentangkan kedua lengannya menggambarkan ukuran penyu hijau raksasa, salah satu jenis penyu yang banyak bertelur di Pantai Serang.

"Dulu terlurnya dijual, buat jamu kuat," kenang Mbah Peno.

Kebiasaan mengambil daging dan telur penyu untuk dimakan dan dijual berangsur berkurang sejak pemuda-pemuda yang memiliki visi luas seperti Handoko mengambil inisiatif gerakan konservasi penyu.

Inisiatif itu semakin menemukan kekuatannya setelah Handoko terpilih sebagai Kepala Desa Serang pada 2014.

Gerakan konservasi penyu bahkan berhasil dipadu dengan upaya membangun kawasan wisata Pantai Serang.

Konservasi penyu dan pelepasan tukik penyu kemudian menjadi bagian penting dari citra kawasan wisata Pantai Serang yang berwawasan lingkungan hidup.

Citra itu semakin kuat oleh keberhasilan penghijauan yang disponsori Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur pada 2009 dan 2011.

Kini, Pantai Serang telah menjadi tujuan wisata pantai paling digemari di wilayah Kabupaten Blitar.

Berwisata ke pantai yang selama ini identik dengan udara panas, tidak ditemukan di Pantai Serang karena rindangnya ribuan pohon-pohon cemara buah dari penghijauan sepuluh tahun silam yang didukung oleh warga dan komunitas setempat.

Upaya membangun pamor kawasan Pantai Serang juga dilakukan dengan gelaran festival tahunan, yaitu Serang Culture Festival meskipun tahun lalu absen lantaran pandemi.

Dan pada gelaran festival itu pulalah kegiatan pelepasan tukik penyu ikut mengambil bagian. 

https://regional.kompas.com/read/2021/05/27/050500478/cerita-mbah-peno-dan-desa-penangkaran-penyu-yang-bakal-jadi-lokasi-wisata-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke