Salin Artikel

Kisah Perjuangan Santri Penyandang Disabilitas Belajar Al Quran, Berbulan-bulan hingga Bahasa Isyarat

KOMPAS.com - Meskipun kondisi fisik tak sempurna, para santri penyandang tuna netra di Pontianak, Kalimantan Barat, setiap pagi tekun belajar membaca Al Quran braile di Iqra Braille Center, Jalan Sepakat II.

Dilansir dari KompasTV, pengajar sekaligus pemilik Iqra Braile Center Hendri, setiap anak memiliki kemampuan berbeda-beda untuk menguasai teknik membaca huruf braile, khususnya Kitab Suci Al Quran.

"Itu tergantung pada kelebihan masing-masing. Ada yang memang cepat 3 hari sudah membaca, tetapi ada juga yang makan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan," katanya, Minggu (2/5/2021).

Salah satu anak didik Hendri bernama Yatim mengaku sudah belajar selama 4 bulan.

Melihat kondisi itu, menurut Hendri yang juga penyandang tuna netra, tidak memaksa anak asuhnya segera bisa untuk membaca Al Quran braile.

Hendri mengatakan, selain mengajar membaca Al Quran braile, dirinya juga membimbing anak didiknya untuk percaya diri dan mandiri.

Sementara itu, selain mengajar 10 anak didik di rumahnya, dirinya juga mengajar 30-an anak didik secara daring.

Sementara itu, seumlah santri penyandang tuna rungu di Pondok Pesantren Rumah Tahfidz Tunarungu Darul A’Shom, Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), giat belajar  membaca Al Quran dengan menggunakan bahasa isyarat.

Menurut pengasuh pondok, Ustaz Abu Kahfi (47), awal mula dirinya mengajar Al Quran dengan bahasa isyarat adalah saat bertemu dengan dua penyandang tuna rungu di Jakarta 12 tahun lalu.

Saat itu, dirinya mengajak dua anak tersebut ke pondok pesantren di Bandung. Abu Khafi pun mencoba belajar bahasa isyarat agar komunikasi dengan keduanya berjalan lancar.

"Awalnya belum belajar agama dulu, saya korek dulu bagaimana belajar isyarat dulu. Saya ajak mereka olah raga bareng anak-anak santri, sebulan Alhamdulillah saya sudah nyambung bahasa mereka," tegasnya.

Seiring berjalannya waktu, saat ini pondok yang diasuhnya telah memiliki 59 orang santri. Usia termuda 6,5 tahun dan yang tertua 28 tahun.

Pria asal Bandung, Jawa Barat itu pun menjelaskan, setiap santri yang masuk ke pondoknya berasal dari berbagai daerah, antara lain DIY, Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali, Lampung, hingga Kalimantan.

Dirinya berprinsip, mengajarkan membaca Al Quran bagi penyandang disabilitas, khususnya tuna rungu, harus merangkulnya layaknya sahabat. 

"Saya tidak hanya mengajar, mereka setelah masuk pondok saya anggap sebagai anak-anak saya. Kalau mereka kita posisikan sebagai murid, akan ada sekat, kami tidak ada sekat dengan mereka," katanya. 

Namun dirinya mengakui,  mengajar anak-anak yang istimewa memang tidak mudah dan itu adalah tantangan tersendiri, Kamis (09/04/2021).

Seperti diketahui, Rumah Tahfidz Tunarungu Darul A’Shom ini awalnya berada di Kabupaten Bantul. Setelah itu 2,5 bulan yang lalu pindah ke Dusun Kayen, Desa Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman. 

(Penulis: Kontributor Yogyakarta, Wijaya Kusuma | Editor: Teuku Muhammad Valdy Arief)

https://regional.kompas.com/read/2021/05/02/140000078/kisah-perjuangan-santri-penyandang-disabilitas-belajar-al-quran-berbulan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke