Salin Artikel

Soekarno, Raden Wijaya dan Blitar: Menengok Reruntuhan Monumen Pendiri Majapahit

Soekarno tidak dimakamkan di Kebun Raya Bogor seperti wasiatnya tapi di pemakaman umum di Kelurahan Bendogerit, pada 22 Juni 1970.

Menurut sejarawan LIPI Asvi Warman Adam, keputusan itu lebih didorong oleh naluri politik Soeharto untuk menjauhkan sosok karismatik itu dari Ibu Kota.

Muncul juga kesan bahwa ini merupakan kelanjutan dari skenario untuk membangun citra kedekatan antara Sang Proklamator Kemerdekaan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pernah menang pada Pemilu Daerah tahun 1957 di Blitar.

Di daerah terpencil ini, perlawanan PKI setelah Gerakan 30 September (G30S) 1965 juga pernah terjadi dengan basis di wilayah Blitar bagian selatan.

Sekitar 15 kilometer dari makam Sukarno ke arah selatan, abu pendiri Kerajaan Majapahit, Dyah Wijaya atau Raden Wijaya, disemayamkan di sebuah candi yang terletak di Desa Sumberjati, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar.

Meski masa hidup keduanya terpaut ratusan tahun, Soekarno dan Dyah Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana sama-sama pendiri negara di Nusantara.

Meski batas-batas wilayah Indonesia modern lebih didasarkan pada wilayah Hindia Belanda, namun sedikit banyak wilayah nusantara sebagai sebuah bangsa sudah terajut di masa Kerajaan Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya.

Kebesaran nama kedua tokoh ini dipertemukan di Blitar, daerah paling selatan Jawa Timur, sejumlah raja penguasa Jawa di masa lampau yang lain juga dicandikan.

Apa yang bisa disaksikan dari Candi Simping sebenarnya hanya tinggal batur kaki candi yang terletak di tengah area seluas sekitar 900 meter persegi.

Selebihnya, didominasi pemandangan ribuan batu-batu andesit bekas penyusunan bangunan candi yang diletakkan berjajar dalam beberapa baris di sekitar kaki candi.

"Pernah saya hitung dengan hati-hati, jumlah batu-batu ini 2.415 buah, baik yang dalam keadaan utuh maupun pecahan," ujar Susilo, penjaga Candi Simping, kepada Kompas.com pekan lalu.

Pintu masuk ke area Candi Simping adalah dari arah samping atau selatan, melalui jalan sepanjang sekitar 50 meter dengan lebar sekitar 1,5 meter.

Pintu masuk yang sebenarnya, ada di sisi barat, tidak dapat difungsikan dan ditutup dinding pagar pembatas kawasan candi.

Di bagian tengah candi, di atas batur kaki candi yang tersisa itu, terdapat batu peripih seukuran meja kecil hampir sama sisi dengan bagian atasnya terpahat bentuk naga dan kura-kura menyangga gunung.

"Di dalam pripih itulah konon abu kremasi Raden Wijaya diletakkan," ujar Susilo.

Candi Simping yang tersisa sebenarnya lebih tepat disebut sebagai reruntuhan candi.

Hampir semua yang ada area itu tidak berada pada posisi asalnya, kecuali batur kaki candi dengan tinggi kurang dari 50 sentimeter, panjang 11,75 meter dan lebar 8,85 meter itu.

Ketika ditemukan kembali pada 1854 oleh Teijsmann, Direktur Kebun Raya Bogor yang aktif berkeliling daerah mencari koleksi baru spesies tumbuhan, kondisi Candi Simping sudah runtuh.


Batu-batu penyusun bangunan candi dan sejumlah arca dalam keadaan berserakan.

Candi Simping kala itu disebut sebagai Candi Sumberdjati sesuai nama desa tempat berdirinya.

Baru setelah ditemukannya naskah kakawin Negarakertagama oleh ilmuan Belanda J.L.A. Brandes pada 1894 di perpustakaan Raja Lombok yang hendak dihancurkan tentara KNIL.

Candi Simping menemukan konteks historisnya, termasuk nama Simping yang disebutkan dalam naskah Negara Kertagama.

Kata Simping disebutkan di beberapa bagian dari kakawin berusia 650 tahun itu.

Namun, Candi Simping sebagai makam Sang Pendiri Majapahit disebutkan pada Pupuh XLVII.

Arkeolog dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur, Nugroho Harjo Lukito, mengatakan keistimewaan arsitektural Candi Simping tidak mungkin lagi dinikmati.

Yang tertinggal, menurutnya, adalah keberadaannya sebagai perabuan atau pendarmaan pendiri Majapahit.

"Kalau saja Candi Simping itu masih berdiri mungkin lengkap istimewanya, karena ia merupakan pedharmaan Kertarajasa Jayawardhana alias Raden Wijaya," tutur Nugroho kepada Kompas.com baru-baru ini.

Arca Harihara, penggabungan  Dewa Siwa dan Wisnu dalam satu figur, setinggi hampir dua meter yang kini disimpan di Museum Nasional berasal dari Candi Simping.

Arca yang telah dipindahkan sejak zaman Hindia Belanda itu merupakan perwujudan Sang Pendiri Majapahit.

Menurut Nugroho, setelah kegagalan upaya menyusun ulang bangunan utama Candi Simping pada masa Hindia Belanda, upaya serupa belum pernah dilakukan lagi termasuk setelah masa kemerdekaan Indonesia.

Runtuhnya bangunan Candi Simping, sebagaimana diyakini oleh sejarawan dan arkeolog, terjadi akibat kombinasi dua sebab, yaitu bencana alam dan kesengajaan tangan manusia.


Perusakan oleh tangan manusia kemungkinan terjadi pada masa Islam mulai menyebar di Pulau Jawa menyusul kejatuhan Majapahit.

Meski tinggal reruntuhan, kebesaran Candi Simping masih terlihat, antara lain, dari peninggalan empat arca kepala kala berukuran besar dengan tinggi sekitar satu meter yang diletakan berjajar di salah satu sisi di area candi. 

Keempat arca itu, yang dalam jagat nilai Hindu Jawa menjadi simbol pembatas antara area sakral dan profan, kondisinya masih relatif utuh kecuali kerusakan pada bagian hidung.

Seperti halnya Makam Bung Karno, Candi Simping mulai mendapatkan kunjungan dari masyarakat setelah Reformasi 1998 meskipun jumlahnya jauh dibawa angka peziarah Makam Bung Karno.

"Sebelum tahun 2000, pengunjung datang ke sini hanya di hari-hari tertentu untuk keperluan ritual. Tapi setelah tahun 2000, paling tidak ada kunjungan rutin anak-anak sekolah untuk keperluan tugas dari gurunya," ujar Susilo.

https://regional.kompas.com/read/2021/03/21/171815978/soekarno-raden-wijaya-dan-blitar-menengok-reruntuhan-monumen-pendiri

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke