Salin Artikel

Sejarah Jembatan Ampera yang Jadi Ikon Kota Palembang

KOMPAS.com - Datang ke Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel), kurang pas jika belum berfoto dengan latar belakang Jembatan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera).

Jembatan yang terbentang di atas Sungai Musi Kota Palembang ini memiliki panjang 1.177 meter, lebar 22 meter dan tinggi 63 meter dan jarak antara menara 75 meter.

Awalnya, semua bagian tengah jembatan ini bisa diangkat agar kapal-kapal besar bisa lewat.

Namun sejak tahun 1970 aktivitas turun naik bagian tengah jembatan ini sudah tidak dilakukan lagi. Sebab, waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini dianggap mengganggu arus lalu lintas di atasnya.

Dan pada tahun 1990, bandul pemberatnya dibongkar karena dikhawatirkan dapat membahayakan.

Jembatan yang berada di tengah-tengah Kota Palembang ini menghubungkan dua kawasan, yakni seberang ilir, dan seberang ulu. Kawasan ini dipisahkan oleh Sungai Musi.

Pada saat itu, jembatan ini merupakan jembatan terpanjang di Asia Tenggara.

Dikutip dari situs id.wikipedia.org, ide membangun jembatan untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang ini sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906.


Saat jabatan Wali Kota Palembang diduduki oleh Le Cocq de Ville, tahun 1924 muncul kembali gagasan untuk membangun jembatan tersebut.

Namun, sampai jabatan Le Cocq de Ville berakhir bahkan saat Belanda pergi dari Indonesia, proyek pembangunan itu tetap tidak pernah terealisasi.

Kemudian, pada masa kemerdekaan, gagasan itu kembali muncul, DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan lagi pembangunan jembatan saat sidang pleno yang berlangsung pada 29 Oktober 1956.

Pembangunan jembatan ini terbilang cukup nekat. Sebab, pada saat itu anggaran yang dimiliki Kota Palembang yang akan digunakan sebagai modal awal membangun jembatan sekitar Rp 30.000.

Kemudian tahun 1957, dibentuk panitia pembangunan, yang terdiri dari Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumsel, H.A. Bastari dan pendampingnya Wali Kota Palembang, M. Ali Amin, beserta Wakil Wali Kota, Indra Caya.


Tim ini kemudian melakukan pendekatan kepada Presiden Soekarno untuk mendukung pembangunan jembatan tersebut.

Setelah bertemu, gagasan tersebut disetujui oleh Bung Karno, dengan syarat dibuat juga taman terbuka di kedua ujung jembatan itu.

Kemudian pada April 1962, pembangunan pembuatan jembatan pun dimulai. Biaya pembangunannya diambil dari dana pampasan perang Jepang.

Tak hanya itu, jembatan ini pun menggunakan tenaga ahli dari negara Jepang. Proses pembangunan jembatan ini memakan waktu tiga tahun. 

Dikutip dari Kompasiana.com, jembatan tersebut diresmikan pada 10 November 1965 oleh Gubernur Sumsel Brigjen Abujazid Bustomi.

Sebagai pernyataan terima kasih kepada presiden, jembatan tersebut diberi nama Jembatan Bung Karno karena dengan sunguh-sungguh memperjuangkan warga Palembang untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi.

Dikutip dari garuda.ristekdikti.go.id, pada tanggal tersebut seluruh bangsa Indonesia sedang memperingati hari pahlawan yang ke-20.

Dan pada tanggal itu, rakyat Sumsel telah menerima hadiah hari Pahlawan dari Bung Karno, hadiah itu berupa sebuah jembatan yang megah di jantung Kota Palembang dan menjadi kebanggaan rakyat Sumsel yang diberi nama Jembatan Bung Karno .

Namun pada tahun 1966 terjadi pergolakan gerakan anti-Soekarno, nama jembatan yang mengambil dari Nama Presiden RI pun diubah menjadi Jembatan Ampera yang artinya Amanat Penderitaan Rakyat hingga sekarang.

Sejak saat itu, Jembatan Ampera menjadi salah satu icon yang membentuk kekhasan identitas Kota Palembang.

Beberapa tahun setelah diresmikannya Jembatan Ampera di Palembang. Pola-pola perdagangan sungai mulai berubah.

Bersatunya wilayah hulu dan hilir serta lancarnya transportasi lewat jalan darat membuat para pedagang berperahu mulai beralih menggunakan kendaraan darat.

Terbentuknya Pasar Benteng juga merupakan salah satu bentuk dari perubahan orientasi dari air ke darat.

Komunitas pedagang buah dan sayur di Pasar Benteng merupakan komunitas yang dulunya berjualan di pasar apung Sungai Musi

 

Catatan Redaksi: Berita ini telah mengalami penyuntingan dengan memutakhirkan dari beberapa referensi.

https://regional.kompas.com/read/2021/03/21/151952378/sejarah-jembatan-ampera-yang-jadi-ikon-kota-palembang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke