Salin Artikel

Kisah Mbah Suro dan Orang Rantai di Lubang Tambang Sawahlunto

Di Sawahlunto tedapat sebuah lubang bekas tambang batu bara. Lubang tersebut menyimpan sejarah kelam tentang orang rantai. Salah satunya adalah Mbah Suro yang menjadi mandor para orang rantai di Sawahlunto.

Nama Mbah Suro dijadikan nama salah satu lubang utama bekas tambang yang adi di Tangsi Baru, Kelurahan Tanah Lapang, Kecamatan Lembah Segar.

Orang rantai adalah sebutan bagi para pekerja tambang di Sawahlunto. Mereka dikirim dari berbagai daerah di Hindia Belanda termasuk Batavia.

Mereka adalah pesakitan yakni tahanan kriminal atau politik dari wilayah Jawa dan Sumatra. Mereka dibawa ke Sawahlunto dengan kaki, tangan, dan leher diikat rantai.

Mereka dipaksa bekerja sebagai kuli tambang batu bara dengan kondisi kaki, tangan, dan leher yang masih dirantai.

Dalam bahasa Belanda, para kuli disebut ketingganger atau orang rantai. Mereka dipekerjakan hingga tahun 1898.

Mbah Suro memiliki lima anak dengan 13 cucu. Istrinya adalah seorang dukun beranak. Mbah Suro meninggal sebelum tahun 1930 dan ia dimakamkan di pemakaman orang rantai yakni di Tanjung Sari, Kota Sawahlunto.

Diceritakan jumlah orang rantai yang bekerja di lubang tersebut berjumlah ratusan orang. Mereka diberlakukan dengan tidak manusiawi dan bekerja siang hingga malam serta tidak mendapatkan makanan yang layak.

Lubang tempat para orang rantai bekerja diberi nama Lubang Mbah Suro. Namun ada yang menyebut juga dengan Lubang Soegar karena lubang pertama di Sawahlunto tersebut berada di Lembah Soegar.

Lubang tersebut memiliki lebar dua meter dengan ketinggian dua meter. Sementara kedalaman Lubang Mbah Suro mencapai 15 meter dari permukaan tanah.

Serta memiliki panjang 1,5 kilometer di bawah Kota Sawah Lunto.

Diceritakan saat pemugarana ditemukan banyak kerangka manusia di lubang tersebut. Selain itu ditemukan juga beberapa botol minuman beralkohol yang diduga dari peninggal Belanda.

Penelitian dilanjutkan oleh De Greve pada tahun 1867 dan ditemukan ada kandungan 200 juta ton batu bara di sekitar aliran Batang Ombilin dan salah satunya ada di Sawahlunto.

Pada tahun 1879, Pemerintah Hindi Belanda pun mulai merencanakan pembangunan saran dan prasarana untuk mempermudah eksploitasi batu bara di Sawahlunto.

Lalu pada 1 Desember 1888, Sawahlunto dijadikan sebuah kota dan ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Sawahlunto.

Sejak tahun 1982, Kota Sawahlunto mulai memproduksi batu bara.

Seiring dengan waktu, kota ini pun menjadi kawasan pemukiman pekerja tambang dan terus berkembang menjadi sebuah kota kecil.

Pada 6 Juli 1889, pemerintah mulai membangun jalur kereta api menuju Padang untuk mempermudah pengangkutan batu bara keluar dari Sawahlunto.

Jalur kereta api tersebut sampai di Sawahlunto dan selesai pada 1 Februari 1894.

Setelah jalur kereta api dibuka, produksi batu bara di Sawahlunto terus meningkat hingga mencapai ratusan ribu ton per tahun.

Hindia Belanda juga membangun Pelabuhan Emmahaven (dikenal sebagai Teluk Bayur) dan menjadi pelabuhan pengiriman untuk ekspor batu bara, menggunakan kapal uap SS Sawahlunto dan SS Ombilin-Nederland.

Saat ini PT Bukit Asam Tbk menjadikan Unit Penambangan Ombilin di Sawahlunto, Sumatera Barat sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO.

Lubang tambang batubara bawah tanah diubah menjadi lokasi pendidikan serta wisata.

https://regional.kompas.com/read/2021/03/21/070700678/kisah-mbah-suro-dan-orang-rantai-di-lubang-tambang-sawahlunto

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke