Salin Artikel

Danau Asin Satonda, Legenda Air Mata Penyesalan Sang Raja Tambora

Namanya adalah Danau Satonda.

Danau tersebut memiliki kadar asin yang melebihi air laut di sekitarnya. Akibatnya, hampir semua jenis moluska di danau tersebut musnah.

Danau Satonda berjarak sekitar 3 kilometer dari dari Selat Sanggar di Laut Flores. Secara administratif, danau tersebut masuk wilayah Desa Nangamiro, Kecamatan Pekat.

Air mata penyesalan sang raja Tambora

Dalam sebuah legenda diceritakan, danau di tengah Pulau Satonda adalah air mata penyesalan dari sang Raja Tambora.

Dikisahkan sang raja murka saat pinangannya ditolak mentah-mentah oleh seorang perempuan.

Sang raja tak pernah tahu jika perempuan yang menolak pinangannya itu adalah ibu kandungnya sendiri.

Ternyata saat masih kecil, sang raja pernah hilang dan tak bertemu dengan ibu kandungnya sendiri

Murkanya sang raja kepada perempuan yang tak lain ibu kandungnya sendiri, membuat Sang Kuasa berang.

Ia pun membuat Gunung Tambora meletus dan menimbulkan tsunami raksasa yang memisahkan daratan menjadi pulau-pulau kecil salah satunya adalah Satonda.

Pulau Satonda memiliki danau yang berada di tengah-tengah pulau dengan luas 335 hektar dan kedalaman mencapai 86 meter.

Pulau Santonda sendiri memiliki luas daratan 453,7 hektar.

Pulau Satonda terbentuk dari letusan Gunung Satonda belasan ribu tahun silam. Gunung Satonda disebutkan sebagai gunung api purba.

Konon, usia Gunung Satonda lebih tua dibandingkan Gunung Tambora yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Pulau Satonda.

Saat itu sedang digelar Indonesian Snellius II Expedition. Penelitian keduanya berlanjut pada 1989 dan 1996.

Mereka melihat Danau Satonda adalah sebuah fenomena langka karena airnya yang asin dengan tingkat kebasaan (alkalinitas) sangat tinggi dibandingkan dengan air laut umumnya.

Lalu mereka mencoba merekonstruksi sejarah pembentukan danau dan ekosistemnya.

Kempe dan Kazmierczak berpendapat, asin Satonda muncul bersamaan dengan terbentuknya kawah akibat letusan gunung purba Satonda lebih dari 10.000 tahun lalu.

Dari deposit gambut di bawah endapan menyerupai mineral laut di pinggir danau, diketahui jika awalnya danau tersebut adalah air tawar.

Danau itu lalu dibanjiri dengan air laut yang merembes melalui celah dinding kawah yang runtuh. Pada waktu itu, permukaan air laut 1 meter-1,5 meter lebih tinggi dibandingkan saat ini.

Namun, ketinggian laut secara perlahan menyusut. Penapisan air laut melalui dinding kawah pun melambat.

Sekarang, ketinggian air danau relatif stabil, yang menandai tidak ada lagi hubungan dengan air laut.

Perubahan lingkungan air Danau Satonda memengaruhi juga spesies yang hidup di dalamnya.

Kejenuhan dan alkalinitas air naik ke tingkat yang menyebabkan pemusnahan hampir semua jenis moluska, kecuali spesies gastropoda (keong/siput) tertentu, seperti Cerithium corallium.

Jenis ini diduga menjadi subspesies endemik Satonda. Selain itu juga ditemui beberapa jenis ganggang.

Kazmierczak juga mengambil sampel mirip karang yang disebut stromatolit atau sembulan mikrobial, yaitu struktur terumbu yang tersusun oleh mikroba bakteri dan ganggang.

Material stromalit berlimpah pada kurun prekambrium, atau sekitar 3,4 miliar tahun lalu. Struktur stromatolit dalam perkembangannya tidak pernah ditemukan lagi.

Kehadiran stromatolit di Satonda menjadi sangat menarik karena menunjukkan danau ini memiliki lingkungan yang menyerupai lautan purba, prakambrium.

Stromatolit di dunia modern hanya ditemukan di air dengan kadar salinitas sangat tinggi.

Satonda bagi para ilmuwan menjadi model lingkungan kontemporer yang mencerminkan kondisi lautan pada zaman purba.

Itu menyebabkan lapisan air bagian atas menjadi lebih tawar.

Pada saat yang sama, sebagian air yang lebih tua dan lebih asin tertekan ke bawah atau keluar danau melalui pori-pori bebatuan vulkanik yang terbuka.

Pulau ini menarik perhatian para ilmuwan dan peneliti baik dari dalam maupun luar negeri, karena terkait dengan letusan fenomenal Gunung Tambora pada 15 April 1815 atau sebelum meletusnya Gunung Krakatau pada 1883.

Letusan Gunung Tambora mengguncang beberapa bagian dunia, memuntahkan debu, dan mencemari atmosfer bumi selama bertahun-tahun. Bahkan merobek lapisan ozon yang tipis.

Dengan tingkat keasinan yang tinggi ini menyebabkan hanya sedikit keragaman vegetasi yang tumbuh di sekitarnya.

Salah satunya adalah Kalibuda, pohon endemik Satonda.

Masyarakat di sekitar Satonda menyebut Kalibuda sebagai Pohon Harapan karena dipercaya mampu mengabulkan semua permintaan yang diajukan mereka yang memohon di sekitar pohon.

Caranya dengan menggantungkan batu karang atau benda-benda lain seperti kain, sepatu, kaleng, dan bungkus rokok dengan cara diikatkan di batang Pohon Kalibuda.

Ada banyak titik penyelaman untuk menyaksikan terumbu karang cantik dan alami serta koleksi ribuan ikan hias aneka jenis.

Pemerintah pun telah menetapkan pulau ini sebagai Taman Wisata Alam Laut (TWAL) pada 1999.

Di antara padatnnya terumbu karang ditemukan banyak kima dengan jenis Acroporidae, Xenia sp, Favidae, Sarcophyton sp, Labophyton sp, Hetractris crispa, Nephtea sp, Capnella sp, Lemnalia sp, dan Astrospicularis sp.

Selain itu terdapat bintang laut berwarna biru hingga yang berduri.

Kima termasuk dalam kelas Bivalvia, kelompok hewan bertubuh lunak yang dilindungi sepasang cangkang bertangkup.

Bahkan hanya kurang dua meter dari bibir pantai berpasir putih kita bisa menemukan spot karang yang padat dan rumah bagi ikan-ikan cantik seperti kerapu, moorish idol, dan lionfish tak jarang ditemukan, bahkan nemo si ikan badut (clown fish) dapat dilihat bersembunyi di antara anemon.

Adapun jenis flora yang menjadi kekayaan laut sekitar pulau vulkanis ini adalah ketapang (Terminalia catappa), pandan laut (Pandanus tectorius), beringin (Ficus sp), waru laut (Hibiscus tiliaceus), nyamplung (Calophyllum inophyllum), Mentigi (Pempis sp) dan asam (Tamarindus indica).

https://regional.kompas.com/read/2021/03/14/060600378/danau-asin-satonda-legenda-air-mata-penyesalan-sang-raja-tambora

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke