Salin Artikel

Kampung Mati di Ponorogo, Berawal dari Pembangunan Pesantren Tahun 1850 hingga Warga Pindah karena Sepi

Kampung mati tersebut ada di Dusun Krajan I, Dukuh Sumbulan, Desa Plalang, Kecamatan Jenangan, Ponorogo.

Awalnya kampung yang dikenal dengan nama Sembulan tersebut dihuni oleh 30 kepala keluarga.

Namun, sejak lima tahun terakhir, kampung tersebut sama sekali tidak berpenghuni. Semua warganya pindah hingga disebut kampung mati.

Sumarno mengatakan, mayoritas penyebab warga Kampung Sumbulan pindah karena akses jalan yang sulit.

Pondok tersebut didirikan oleh Nyai Murtadho, seorang anak ulama dari Demak.

Sejak saat itu, banyak warga yang datang dan belajar agama di pondok pesantren tersebut. Bahkan, warga yang datang banyak yang berasal dari luar daerah Ponorogo.

Namun, setelah Nyai Murtadho dan keluarganya meninggal, pondok pesantren semakin sepi.

Sejak saat itu, satu per satu warga di Kampung Sumbulan pindah dari wilayah yang memiliki luas sekitar tiga hektar tersebut.

Padahal, di kampung tersebut ada empat bangunan rumah permanen yang masih layak huni.

Ia bercerita, sebelum kampung itu kosong, ada dua kepala rumah tangga yang tinggal. Seperti warga lainnya, mereka memilih pindah.

“Dahulu masih ada dua kepala keluarga. Tetapi, empat atau lima tahun lalu sudah tidak lagi yang tinggal di lingkungan tersebut,” kata Ipin, yang dihubungi Kompas.com, Kamis (4/3/2021).

Ia menjelaskan, kampung tersebut sempat ramai dikunjungi oleh orang untuk menimba ilmu di Desa Plalang.

Namun, lambat laun, warga memilih pindah mengikuti keluarga ke kampung lain. Ipin membantah bahwa warga meninggalkan kampung itu karena persoalan mistis.

Ia meyakini, semua tempat pasti memiliki cerita mistis masing-masing. Warga banyak meninggalkan kampung tersebut karena kondisinya sepi.

"Dulunya banyak penghuninya. Karena tempatnya tidak ramai ada yang sudah nikah ikut pasangannya. Kemudian, yang punya anak ikut anaknya," kata Ipin.

Walaupun kampung itu kosong, masih ada mushala yang masih dimanfaatkan warga utuk menjalankan ibadah shalat dzuhur dan ashar.

Mereka yang datang adalah petani yang memiliki sawah di dekat lingkungan tersebut.

“Mushala masih sering dipakai untuk beribadah, dan selalu dibersihkan setiap hari,” kata Iping.

Namun, sesekali mereka datang ke kampung mati karena masih memiliki aset. Kepemilikan tanah di kampung tersebut sebagian besar dikuasai beberapa ahli waris.

Selain itu, mereka datang untuk menggelar acara peringatan hari wafatnya pendahulu yang meninggal di kampung tersebut.

Kampung mati tersebut sempat ditawar oleh pengembang untuk dijadikan kompleks perumahan.

Namun, pemilik tanah menolak tawaran tersebut. Mereka hanya akan menjual tanah mereka jika untuk membangun pesantren.

"Namun, bila dibeli untuk pembangunan pesantren ahli waris menerimanya," ujar Ipin.

Setelah kampung mati itu viral di media sosial, banyak orang yang datang ke kampung tersebut karena penasaran.

SUMBER: KOMPAS.com (Peulis: Muhlis Al Alawi | Editor : Robertus Belarminus)

https://regional.kompas.com/read/2021/03/05/05100081/kampung-mati-di-ponorogo-berawal-dari-pembangunan-pesantren-tahun-1850

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke