Salin Artikel

Setahun Corona di Indonesia, Ini Sederet Tradisi yang Harus “Mengalah” terhadap Pandemi

KOMPAS.com - Setahun sudah pandemi Covid-19 membayangi Indonesia.

Munculnya virus corona mengubah dan berdampak ke banyak hal. Salah satunya tradisi.

Biasanya, pelaksanaan tradisi dilakukan secara beramai-ramai dengan penuh khidmat dan suka cita.

Namun, ketika pandemi Covid-19 menyerang, acara-acara tersebut urung digelar. Ada juga yang masih diselenggarakan, tetapi dengan konsep yang lebih sederhana.

Karena melibatkan banyak orang, kegiatan-kegiatan tersebut banyak yang dibatalkan demi mencegah persebaran virus corona.

Padahal, tradisi-tradisi ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun, bahkan ada yang sampai ratusan tahun.

Berikut Kompas.com merangkum tradisi-tradisi yang harus “mengalah” terhadap pandemi.

Menandai datangnya bulan Ramadan, biasanya bunyi bedug dan meriam akan bersahut-sahutan di Masjid Agung Semarang, Jawa Tengah, atau biasa disebut Masjid Kauman.

Namun, di masa pandemi ini, tradisi Dugderan diadakan secara sederhana.

Bunyi meriam yang selalu membahana dalam prosesi, kini tak terdengar.

Dugderan hanya berlangsung diikuti sejumlah orang. Salah satunya Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi.

“Tahun ini dugderan kita selenggarakan secara sederhana hanya dengan diikuti oleh saya, Ibu Wakil Wali Kota, Pak Sekda, para Kiai, dan takmir Masjid Kauman. Jadi prosesi tetap dilaksanakan namun terbatas, guna menghindari penyebaran Covid-19,” ujarnya, dikutip dari pemberitaan Kompas.com, Kamis (23/4/2020).

Biasanya, suasana menjelang bulan Ramadan di Kampung Walesi dan Kampung Tulima, Distrik Walesi, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, akan meriah.

Umat Muslim di Lembah Baliem bersama warga Katolik dan Kristen bersama-sama mengadakan bakar batu.

Tradisi bakar batu kerap berlangsung di Masjid Al Aqsha di Kampung Walesi.

Prosesi bakar batu yang dilangsungkan oleh umat Muslim di Lembah Baliem ini disesuaikan dengan ajaran Islam. Mereka tidak menggunakan daging babi, melainkan ayam.

"Suku Dani di Kampung Tulima dan Kampung Walesi akan tetap menjaga dan memelihara tradisi bakar batu warisan nenek moyang, walaupun begitu tetap menjaga akidah Islam," kata Abu Hanifah Asso, anak Kepala Suku Tahuluk Asso.

Selain ayam, ada juga sayuran, keladi, ubi jalar, singkong, pisang yang turut disusun di tengah batu-batu yang dibakar.

Setelah tiga jam kemudian, makanan-makanan tadi disantap bersama-sama.

"Tradisi bakar batu ini juga sekaligus sebagai bentuk ucapan syukur bulan Ramadhan telah tiba, sebagai bentuk silaturahim dan saling meminta maaf dengan seluruh kerabat, baik itu kerabat Muslim maupun kerabat Kristen," ungkap pemuka agama Islam di Kampung Walesi, Tahuluk Asso, seperti dilansir dari Antara, Jumat (24/4/2020).

Akan tetapi, pada Ramadan tahun kemarin, tidak ada upacara bakar batu yang digelar.

Ini karena pemerintah melarang kegiatan yang melibatkan banyak orang demi mengendalikan persebaran virus corona.

Alhasil, mereka menyambut Ramadan di honai atau rumah tradisional masing-masing.

Ketika Lebaran tiba, biasanya masyarakat di Desa Gonggang, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, akan berbagi gula ketika bersilaturahmi dengan tetangga.

Di masa pandemi Covid-19, masyarakat setempat bersepakat untuk tidak melangsungkan tradisi itu.

Kesepakatan untuk meniadakan sementara tradisi berbagi gula ini untuk meringankan beban warga yang ekonominya terdampak akibat pandemi Covid-19.

“Di masa pandemi virus corona seperti ini kita tahu perekonomian warga juga terdampak. Atas nama tradisi akhirnya mereka terpaksa membeli gula untuk ate rater (tradisi berbagi gula),” tutur Kepala Desa Gonggang Agus Susanto, dikutip dari pemberitaan Kompas.com, Rabu (27/5/2020).

Ditiadakannya sementara tradisi ini juga untuk melindungi warga dari persebaran virus corona.

Bila ada warga kedapatan menyelenggarakan tradisi berbagi gula, akan didenda Rp 200.000.

Merayakan Idul Adha, masyarakat Desa Tulehu, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah biasanya menyelenggarakan tradisi abdau dan karnaval budaya.

Kata Kepala Desa Tulehu Urian Ohorella, tradisi ini telah berlangsung sejak 1600 Masehi.

Tradisi abdau digelar setelah acara kaul negeri dan penyembelihan hewan kurban.

Di acara puncak ini, para pemuda desa bakal memperebutkan bendera bertuliskan kalimat syahadat yang diikat di sebuah tiang.

Tradisi ini menggambarkan semangat persatuan masyarakat Tulehu yang tercermin dari keberhasilan umat Islam saat Perang Badar.

Karena adanya pandemi Covid-19, tradisi ini ditiadakan untuk menghindarkan warga dari terjangkit virus corona.

Keputusan ini diambil dalam rapat adat yang berlangsung pada Minggu (25/7/2020).

Rapat adat melibatkan unsur pemerintah desa, tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat serta pemuda.

“Karena corona jadi kaul negeri saja yang digelar, hanya penyembelihan hewan kurban saja, untuk abdau dan karnaval budaya yang mengumpulkan banyak orang tidak dilakukan,” jelas Urian, dikutip dari pemberitaan Kompas.com, Kamis (30/7/2020).

Tradisi Grebeg Maulud yang diadakan oleh Keraton Yogyakarta biasanya didatangi oleh orang banyak.

Di acara ini, masyarakat akan memperebutkan gunungan hasil bumi. Isian gunungan tersebut diyakini dapat membawa berkah.

Tradisi yang berlangsung sejak ratusan tahun ini terpaksa ditiadakan karena merebaknya virus corona di Indonesia.

Keraton Yogyakarta mengganti gunungan dengan pembagian rengginang kepada seluruh abdi dalem Keraton Yogyakarta sebagai bentuk sedekah raja kepada rakyatnya.

Rengginang adalah kue yang terbuat dari beras ketan.

Selain kepada abdi dalem di Keraton Yogyakarta, ubo rampe rengginang juga dibagikan kepada Kepatihan dan Puro Pakualaman.

“Persiapan seperti biasa sekitar tiga harian proses pembuatan rengginang, esensi rengginang itu sedekah raja kalau dulu gunungan ada macam-macam seperti hasil bumi, cuma ini dipilihkan rengginang karena sangat tradisional karena kalau tidak ada grebeg tidak ada yang buat. Kalau lainnya hasil bumi kan tetap ada khusus ini rengginang dengan pewarnaan itu yang kami pilih,” tutur Penghageng KHP Kridhomardowo Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Notonegoro, dilansir dari pemberitaan Kompas.com, Kamis (29/10/2020).

Acara ini yang berlangsung pada Kamis ini berlangsung tertutup dan tidak menyertakan masyarakat umum.

Selain bagi-bagi rengginang, Grebeg Maulud di masa pandemi ini juga punya format beda, yakni ditiadakannya udik-udik dari raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X.

Dalam prosesi udik-udik, Sultan akan menyebar uang koin kepada masyarakat.

Di konsep pandemi, prosesi itu diganti dengan membagikan uang koin satu per satu kepada setiap abdi dalem.

Sumber: Kompas.com (Penulis: Kontributor Semarang, Riska Farasonalia; Kontributor Magetan, Sukoco; Kontributor Ambon, Rahmat Rahman Patty, Kontributor Yogyakarta, Wisang Seto Pangaribowo | Editor: Dony Aprian, Robertus Belarminus, Dheri Agriesta, Teuku Muhammad Valdy Arief)

https://regional.kompas.com/read/2021/03/02/082059278/setahun-corona-di-indonesia-ini-sederet-tradisi-yang-harus-mengalah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke