Salin Artikel

Duduk Perkara 4 Ibu Ditahan dan Bawa Balita ke Penjara, Bermula Bau, Lempari Atap Pabrik Tembakau

Mereka adalah Fatimah (49), Martini (22), Hulyiah (40) dan Nurul Hidayah (38).

Ironisnya, dua dari empat ibu itu terpaksa harus membawa anak balitanya ke dalam penjara.

Para ibu tersebut ditahan sejak Rabu (17/2/2021) di Rutan Praya Lombok Tengah.

Para ibu tersebut diduga nekat melempari atap pabrik karena marah dengan pemilik pabrik.

Selama ini mereka memprotes bau pabrik yang menyengat namun tidak digubris oleh pemiliknya.

Ibu-ibu itu ingin melindungi anak mereka dari bau pabrik yang dikhawatirkan bisa mengganggu kesehatan buah hati mereka.

Salah seorang warga yang tinggal di sekitar pabrik, Jumenah (50) mengatakan cucunya mengalami kesulitan bernapas akibat bau dari pabrik tembakau.

"Sakit cucu saya, dadanya sakit sulit bernapas, suka batuk batuk, dan dia tak lagi bisa jalan atau bermain, karena lumpuh," kata Jumenah di Desa Wajageseng, Sabtu (20/2/2021).

"Sesak tiap pagi begitu mulai pabrik tembakau beroperasi baunya sudah menyengat, itu setiap hari, kalau tidak pagi, siang atau sore harinya," kata Jumenah.

Dia pernah melayangkan protes namun justru pemilik meminta dirinya pindah rumah.

"Saya dan warga sudah sering protes dari 2008 kami sudah protes, tapi mereka justru menyuruh pindah rumah saja kalau terganggu," jelasnya.

Mawardi, suami dari salah satu ibu yang ditahan juga mengatakan hal serupa.

"Ini sudah lama, sejak 2006-2007, tapi tidak pernah ada perubahan. (pemilik) diajak ketemu musyawarah, tapi tak pernah ada perubahan, bau dari pabrik tetap ada, " kata Mawardi.

"Saya biasa lihat anak saya yang masih balita masin di rumah. Sekarang dia dipenjara bersama ibunya, sakit rasanya dada saya," kata Agustino.

Dia pun sempat mendatangi rutan bersama suami Nurul Hidayah, Mawardi. Namun saat itu jam besuk telah habis.

Sementara suami Fatimah, Ismayadi kebingungan karena anaknya di rumah terus menanyakan keberadaan ibunya.

"Saya bingung, anak saya tanya ibunya terus. Saya katakan ibunya masih berobat, karena anak- anak terbiasa bersama ibunya, " kata Ismayadi kepada Kompas.com di kediamannya, Sabtu (20/2/2021).

Ketika itu, dia diminta menandatangani surat penangguhan penahanan istrinya.

Sayangnya Ismayadi tidak menandatanganinya karena takut. Sebab dia mengaku tidak paham sama sekali tentang hukum.

"Saya tidak paham apa yang harus saya tandatangani. Tidak ada yang tahu hukum saat istri saya dan tiga ibu lainnya diperiksa. Tahu-tahunya mereka sudah dibawa ke sel tahanan polsek," kata Ismayadi.

Ismayadi kemudian mengecek langsung kondisi atap pabrik tembakau UD Mawar milik Suhardi.

Dia penasaran dengan kerusakan akibat lemparan batu dan kayu yang dilakukan istrinya dan empat pekerja lain.

Kompas.com juga turut mengecek kondisi pabrik di Dusun Eat Nyiur, Wajageseng itu. Sekilas tak terlihat adanya kerusakan berarti.

Hanya sebagian atap spandek tampak lecet terkena lemparan kayu dan batu yang berukuran tak seberapa besar.

Kerugian disebut hanya Rp 2,5 juta

Yan Mangandar dari Biro Konsultasi Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Mataram (Unram) menilai pelaporan kasus tersebut cukup berlebihan.

Sebab menurutnya tidak ada kerusakan yang berarti pada atap pabrik.

"Tak ada sama sekali kerusakan berarti, itu hanya spandek yang keok, dan tidak menimbulkan cacat atau meninggalkan kerugian yang besar lebih dari Rp 2,5 juta," katanya.

Selain itu, Pasal 170 KUHP juga berlebihan jika dibandingkan dengan kerusakan yang kecil.

Dia pun menyayangkan atas penahanan ibu-ibu tersebut tanpa pendampingan hukum.

"Penahanan sangat berlebihan dan tidak ada pertimbangan yang terbaik bagi ibu-ibu dan anak anak ini. Ini yang paling utama, anaknya masih membutuhkan ASI. Menurut kami ini kasus kecil tapi ditahan seperti ini," kata Yan.

Ditanya terkait kandungan bahan tertentu pada tembakau yang menimbulkan bau menyengat sampai ke permukiman warga, Suhardi menegaskan tak bisa membagikan informasi tersebut.

"Itu tidak bisa saya sampaikan, itu rahasia pabrik ini," katanya.

Suhardi pun menyebut, DPRD Lombok Tengah pernah melakukan sidak namun tidak mencium bau menyengat.

"Saya tidak bisa ungkapkan ya, itu rahasia usaha kami. Lihat saja ini tembakau yang kami jual, silakan dicium baunya," katanya sambil menunjukkan tembakau dalam bungkusan kecil.

Dia mengatakan, sebenarnya tidak ingin melanjutkan kasus.

"Saya sebenarnya tidak mau melanjutkan kasus ini, tapi tindakan mereka melempar pabrik saya membuat pekerja saya ketakutan. Atap saya juga ada yang bolong karena batu, dan sudah kami perbaiki," kata Suhardi.

Suhardi juga mempertanyakan para ibu membawa anak-anaknya ke dalam tahanan.

"Kenapa waktu melempar dan diperiksa tidak bawa anaknya? Kenapa sekarang setelah ditahan bawa anak-anaknya, kan gitu," kata Suhardi.

"Mengenai anak anak ini kami tidak tahu, karena ketika itu tidak ada kami lihat ada anak -anak. Tiba-tiba keluar di berita ada anak-anak, kami tidak tahu ada anak anak," kata Otto.

Pihaknya mengklaim telah menjalankan prosedur sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.

Para tersangka dijerat dengan Pasal 170 ayat 2 KUHP, yang ancaman hukumannya maksimal 5 tahun 6 bulan penjara.

"Mereka melakukan pelemparan ke gudang sehingga terjadi kerusakan di gudang tembakau. Karena tindakan itulah bisa dilakukan penahanan," ucap dia.

Pada saat tahap dua, kejaksaan sudah memberikan hak-hak mereka, termasuk memberi kesempatan penangguhan penahanan, tetapi tidak dilakukan oleh keluarga.

"Kami tunggu sampai sore tidak ada yang datang, seperti tidak merespons. sampai sore, sampai kantor sudah mau tutup tidak ada yang merespons, sehingga kami mempercepat prosesnya. Kita lakukan penahanan dan menitipkan mereka di Polsek di Lombok Tengah, " kata Kajari.

Sumber: Kompas.com (Penulis : Kontributor Kompas TV Mataram, Fitri Rachmawati | Editor : David Oliver Purba, Dheri Agriesta)

https://regional.kompas.com/read/2021/02/22/16300071/duduk-perkara-4-ibu-ditahan-dan-bawa-balita-ke-penjara-bermula-bau-lempari

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke