Salin Artikel

Asal-usul Tuban, Legenda Aryo Dandang Wacono hingga Pelantikan Adipati Ranggalawe

KOMPAS.com - Kabupaten Tuban menjadi perbincangan setelah ratusan warganya membeli mobil secara bersamaan setelah tanahnya dibeli oleh Pertamina untuk pembangunan kilang minyak.

Dilansir dari website Kabupaten Tuban, daerah Tuban berada di jalur pantai utara (Pantura) Pulau Jawam

Tuban disebut sebagai Kota Wali karena Tuban menjadi salah satu kota di Jawa yang mejadi pusat penyebaran ajaran agama Islam.

Di Tuban ada beberaoa makam wali seperti makam Sunan Bonang, Makam Syeh Maulana Ibrahim Asmaraqandi (Palang) dan Sunan Bejagung.

Tuban juga terkenal dengan kota tuak karena menghasilkan minuman (tuak dan legen) yang berasal dari sari bunga siwalan (ental).

Nama itu diambil karena jika dilihat dari arah laut, daratan Tuban seolah-olah sepertu batu putih yang terapung (watu kambang putih dalam Bahasa Jawa).

Sebagian orang juga meyakini nama Tuban berasal dari sumber air tawar yang ditemukan di lokasi yang berjarak sekitar 10 meter dari pantai.

Peristiwa tersebut membuat orang menamakannya 'me(tu) (ban)nyu yang berarti keluar air.

Legenda yang diyakini masyarakat sekitar adalah cerita tentang Raden Aryo Dandang Wacono yang sedang membuka lahan.

Saat itu ia mencangkul lahan di hutan bambu yang bernama Papring. Namun betapa mengejutkannya saat tanah yang dicangkul Raden Aryo mengeluarkan air.

Mata air tersebut sejuk dan segar walaupun terletak di tepi pantai utara Pulau Jawa. Mata air tersebut juga tidak mengandung garam, tidak seperti kota pantai lainnya.

Akhirnya tanah yang dibuka oleh Raden Aryo Dandang Wacono tersebut dinamakan Tuban yang dikenal hingga sekarang dengan nama Kabupaten Tuban.

Nama Tuban sudah ditulis oleh para penulis China pada zaman dinasti Song Selatan pada tahun 1127-1279 dan dinasti Yuan (Mongol) pada tahun 1271-1368 hingga dinasti Ming pada tahun 1368-1644).

Orang Cina menyebut Tuban dengan nama Duban atau nama lainnya adalah Chumin.

Pasukan China-Mongolia (tentara Tatar) yang menyerang Jawa bagian Timur pada tahun 1292 mendarat di pantai Tuban. Dari Tuban pula sisa-sisa tentara China meninggalkan Pulau Jawa untuk kembali ke negaranya.

Sejak abad ke 15 dan 16, kapal-kapal dagang yang berukuran sedang sudah terpaksa membuang sauh di laut yang cukup jauh dari garis pantai.

Sesudah abad ke-16, pantai di Tuban menjadi dangkal oleh endapan lumpur. Keadaan geografis seperti ini membuat kota Tuban dalam perjalanan sejarah tak lagi menjadi kota pelabuhan penting di Tanah jawa.

Ranggalawe adalah salah satu pengikut setia Raden Wijaya. Ia adalah putra Arya Wiraraja, Bupati Sumenep dan memiliki paman bernama Lembu Sora.

Diceritakan jika Ranggalawe, Arya Wiraraja, dan Lembu Sora mendukung Raden Wijaya yang merintis Kerajaan Majapahit di tepi Sungai Brantas, Mojokerto.

Namun Ranggalawe sempat dianggap melakukan pemberontakan saat Kerajaan Majapahit yang masih berusia muda.

Ia lalu meninggal di tangan Kebo Anabrang yang memimpin pasukan Majapahit menyerang Tuban. Peperangan mereka terjadi di sekitar Sungai Tambak Beras, Jombang.

Dalam Kakawin Nagarakertagama tidak disebutkan ada pemberontakan dari Ranggalawe.

Namun di Kidung Ranggalawe dijelaskan jika konflik Ronggolawe dengan Majapahit berawal saat pengangkatan Nambi sebagai Patih Amangkubumi Majapahit.

Dikutip dari Historia.co.id, Kidung Ranggalawe menyebut Ranggalawe sebagai amanca nagara di Tuban dan adipati di Datara. Tokoh yang memimpin pasukan Singhasari ke Malayu menjadi panglima perang dan mendapat nama Kebo Anabrang.

Namun, Kidung Harsawijaya menyebut Ranggalawe sebagai patih amangkubhumi, Nambi sebagai demung, dan Sora sebagai tumenggung.

Ranggalawe menganggap jika posisi Patih Amangkubumi lebih layak dipegang oleh Lembu Sora, paman dari Ranggalawe

Walaupun demikin Lembu Sora tetep mendukung Nambi menjadi patih.

Mengetahui hal itu, Ranggalawe marah dan keluar dari istana. Lembu Sora meminta keponakannya untuk meminta maaf kepada Raden Wijaya. Tapi ia tetap menolak dan memilih kembali ke Tuban.

Nambi kemudian dipengaruhi dengan desas-desus yang mengatakan Ranggalawe akan melakukan pemberontakan pada Majapahit.

Ia pun menyerang Tuban ditemani oleh Lembu Sora dan Kebo Anabrang.

Dalam peperangan tersebut, Ranggalawe dan Kebo Anabrang sama-sama tewas di Sungai Tambak Beras.

Ranggalawe tewas di tangan Kebo Anabrang. Sementara Anabrang tewas ditangan Lembu Sora yang menikamnya saat tahu keponakannya, Ranggalawe sekarat.

Oleh Raden Wijaya, jasad Ranggalawe dan Mahisa Anabrang dibawa ke Puri Majapahit untuk mendapatkan penghormatan serta disucikan lalu dibakar dan abunya dibuang ke laut.

Ranggalawe tetap dianggap pahlawan dan keturunannya tetap diberi kesempatan untuk memimpin Tuban karena Ranggalawe berjasa besar pada Raden Wijaya saat memulai Kerajaan Majapahit.

Hingga saat ini Ranggalawe tetap menjadi pahlawan bagi masyarakat Tuban. Bahkan

Bahkan dalam lambang daerah Kabupaten Tuban, disertakan gambar kuda hitam dan tapal kuda kuning.

Disebutkan kuda Hitam adalah kesayangan Ronggolawe, pahlawan yang diagungkan oleh masyarakat Tuban karena keikhlasannya mengabdi kepada Negara watak kesatriaannya yang luhur dan memiliki keberanian yang luar biasa.

Sedangkan tapal kuda ronggolawe berwarna kuning emas melingkari warna dasar merah dan hitam melambangkan kepahlawanan yang cemerlang dari Ronggolawe.

https://regional.kompas.com/read/2021/02/21/08090051/asal-usul-tuban-legenda-aryo-dandang-wacono-hingga-pelantikan-adipati

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke