Salin Artikel

Asal-usul Gudeg Yogyakarta, dari Prajurit di Hutan Mentaok hingga Kisah Raden Mas Cebolang

Gudeg adalah salah satu makanan yang awet karena dimasak dengan pemanasan berulang.

Gudeg bercita rasa manis dengan warna coklat gelap, terbuat dari nangka muda, Saat disajikan dilengkapi dengan areh, sambal goreng krecek, dan laut seperti tempe , tahu, telur, atau daging ayam.

Tapi tak banyak yang tahu bahwa gudeg ternyata tidak hanya terbuat dari gori atau nangka muda.

Gudeg juga ada yang terbuat dengan bahan utama bunga kelapa. Ada juga gudeg rebung yaitu gudeg dari tunas bambu.

Jika gudeg nangka muda adalah gudeg komersial, maka gudeg manggar memiliki status sosial yang lebih tinggi karena hanya keluar saat pesta.

Gudeg manggar memiliki sensai rasa liat dan sulit ditemui. Selain saat pesta, gudeg manggar disajikan di acara-acara tertentu di hotel-hotel berbintang.

Sedangkan gudeg tunas bambu tidak beredar di pasaran. Gudeg rebung agak berair dan hanya menjadi variasi makanan rumahan.

Tepatnya pada pembangunan Kota Yogyakarta saat prajurit menebang Hutan Mentaok sekitar tahun 1756.

Kala itu prajurit yang sedang menebang di hutan menemukan banyak pohon nangka dan kelapa. Karena jumlah prajurit cukup banyak, maka nangka dan kelapa yang ditemukan mereka masak.

Untuk memasak nangka dan kelapa yang jumlahnya sangat banyak, mereka memasaknya dengan menggunakan sendok sebesar dayung perahu agar masakannya tercampur rata.

Karena itu namanya disebut hanggudeg yang artinya mengaduk. Lalu makanan tersebut populer dengan nama gudeg.

Kisah Raden Mas Cebolang

Sementara itu dalam Serat Cethini diceritakan tentang peristiwa yang terjadi pada tahun 1600-an. Dikisahkan Raden Mas Cebolang tiba di padepokan Pangeran Tembayat pada pagi hari lalu.

lMas Cebolang adalah aki-laki muda dengan paras elok rupawan yang mengembara bersama empat orang kawannya

Lalu ia bercengkerama dengan Pangeran Tembayat dan tamunya, Ki Anom hingga matahari bersinar dan terdengar suara bedug.

Saat itu ada makanan yang disajikan bersamaan dengan suara bedug mejadi salah satu sajian di menu makan siang mereka. Makanan itu disebut dengan gudeg.

Dikutip dari pemberitaan Kompas.com, dijelaskan versi lain penyebutan gudeg.

Diceritakan dalam buku Indonesia Poenja Tjerita (2016) karya Sejarah RI, konon pada zaman penjajahan Inggris, seorang warga negara Inggris menikah dengan perempuan Jawa dan menetap di Yogyakarta.

Warga negara Inggris tersebut selalu memanggil istrinya dengan sebutan dek.

Suatu hari sang istri teringat akan resep turun-temurun keluarganya untuk memasak menggunakan bahan nangka muda.

Sepulang kerja, si suami yang merasa senang dengan masakan sang istri langsung melahap makanan dengan bahan nangka muda dan santan kelapa tersebut.

Selesai makan, suami tersebut berkata dengan keras, "good, dek. Its's good, dek."

Merasa tekejut, sang istri kemudian bercerita ke tetangga dan teman-temannya bahwa suaminya senang dengan masakan resep turun-temurun tersebut.

Dan berkata bahwa sang suami selalui bilang "good, dek". Konon, dari sinilah makanan nangka muda itu disebut dengan gudeg.

Menyusul Gudeg Mbarek di tahun 1970-an dan Gudeg Pawon yang menerima konsumen antara pukul 22.00 WIB hingga 23.00 WIB dan populer di tahun 1990-an.

Selain itu Kampung Gudeg Wijilan dan Barek yang menjadi salah satu keberhasilan pemerintah yang menempatkan satu kawasan wisata untuk membeli gudeg sebagai oleh-oleh.

Di sepanjang jalan tersebut kita bisa melihat rumah makan yan menawarkan gudek untuk dimakan langsung ataupun dijadikan cinderamata.

Jadi kalo ke Yogkayarta, jangan lupa ya untuk mencicipi gudegnya.

https://regional.kompas.com/read/2021/02/21/08080001/asal-usul-gudeg-yogyakarta-dari-prajurit-di-hutan-mentaok-hingga-kisah-raden

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke