Salin Artikel

Asal-usul Kota Solo, dari Geger Pecinan hingga Perjanjian Giyanti

KOMPAS.com - Hari jadi Kota Solo baru saja diperingati pada 17 Februari 2021 lalu.

Pada peringatan hari jadi ke-276 itu diketahui tidak ada acara spesial yang digelar Pemerintah Kota Solo karena masih dalam kondisi pandemi Covid-19.

Lantas, apa yang perlu diketahui masyarakat dalam peringatan hari jadi tersebut?

Berdasarkan sejarahnya, Kota Solo berasal dari nama sebuah desa Sala yang berada di tepian sungai atau bengawan.

Dikutip dari laman resmi Pemerintah Surakarta, Solo atau Sala ternyata dikenal sebagai desa terpencil yang banyak ditumbuhi pohon sala. Adapun letaknya berada tak jauh dari timur Kartasura, pusat pemerintahan Kerajaan Mataram pada saat itu.

Geger pecinan

Berpindahnya pusat pemerintahan Mataram dari Keraton Kartasura ke Sala pada saat itu diketahui karena adanya pemberontakan etnis China atau yang dikenal dengan sebutan "Geger Pecinan" yang dipimpin Sunan Kuning.

Adapun salah satu pemicu terjadinya pemberontakan tersebut karena adanya hubungan mesra yang dilakukan antara Keraton Kartasura dengan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).

Akibat pemberontakan itu, pihak Keraton Kartasura yang dipimpin Paku Buwono II terpaksa harus mengungsi ke Ponorogo.

Pemberontakan tersebut baru berakhir setelah VOC, Pangeran Cakraningrat dari Madura dan Raden Mas Sahid bersatu untuk memulihkan keadaan.

Dilansir dari Babad Sala yang ditulis RM Sajid, akibat pemberontakan tersebut menyebabkan seluruh bangunan keraton di Kartasura rusak berat.

Karena kondisi itu, Paku Buwono II dan para kerabat keraton berunding mencari lokasi baru untuk dijadikan lokasi pusat pemerintahan Mataram.

Saat itu, ada tiga opsi yang ditawarkan untuk pilihan lokasi, yaitu di Desa Kadipolo (sekarang Taman Sriwedari), Desa Sala (sekarang Keraton Surakarta) dan Desa Sasewu (sebelah barat Kecamatan Bekonang).

Namun demikian, akhirnya Desa Sala yang dipilih sebagai lokasi pusat pemerintah baru. Alasannya, lokasi tersebut dianggap strategis karena dekat dengan sungai (Bengawan Solo) yang merupakan pusat transportasi perdagangan saat itu.

Menurut Sejarawan Kota Solo, Heri Priyatmoko, warga yang menetap sebelumnya di desa tersebut diberikan ganti untung oleh Sunan Paku Buwono II.

Hal itu dilakukan sang raja karena berusaha menjaga wibawa kerajaan dan menghormati penduduk asli yang telah menetap sebelumnya.

Dalam pusat pemerintah yang baru itu, kemudian diberi nama Surakarta atau dikenal dengan Keraton Surakarta Hadiningrat. Nama itu diambil dari keraton sebelumnya yaitu, Kartasura.

"Jadi pihak Kasunanan Surakarta membeli sejumlah lahan dengan nominal yang pantas atau bahkan bisa dikatakan dengan ganti untung," katanya dilansir dari TriunSolo.com.

Perjanjian Giyanti

Setelah pemindahan pusat pemerintahan ke Sala dan berganti nama menjadi Keraton Surakarta, lalu terjadi perang saudara.

Dikutip dari laman Kebudayaan Kemendikbud, ada tiga tokoh utama dalam perang saudara ini, yaitu Susuhunan Paku Buwono II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa.

Berdasarkan silsilahnya, Pakubuwana II merupakan raja pendiri dari Kasunanan Surakarta dan Pangeran Mangkubumi adalah saudara kandungnya (kakak beradik), yang merupakan sama-sama putra dari Amangkurat IV (1719-1726).

Sedangkan Raden Mas Said merupakan salah sati cucu Amangkurat IV, atau lebih tepatnya adalah keponakan dari Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi.

Dalam buku Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan (2004) karya Mark R. Woodward, puncak dari konflik saudara tersebut menghasilkan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755.

Perjanjian Giyanti yang berlangsung di Desa Jantiharjo, Karanganyar, Jawa Tengah itu disepakati oleh VOC, Paku Buwono III dan Mangkubumi.

Adapun keputusan penting dalam perjanjian itu adalah adanya pembagian kekuasaan kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kasunan Surakarta Hadiningrat dikuasai oleh Pakubuwono III dan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat dikuasai oleh Mangkubumi yang kemudian diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwono I.

https://regional.kompas.com/read/2021/02/21/07000041/asal-usul-kota-solo-dari-geger-pecinan-hingga-perjanjian-giyanti

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke