Salin Artikel

Mengenal "Radio Kambing" dan Kisah Perjuangan Pers Melawan Militer Belanda

Mereka menggempur objek-objek vital dalam Agresi Militer Belanda pada tahun 1948.

Pemancar-pemancar radio pun tak luput dari serangan. Sebab, objek tersebut ialah ancaman besar bagi Belanda saat itu.

"Radio ketika itu menjadi alat komunikasi, yang bisa memberikan komando, menyampaikan gambaran situasi serta sarana agitasi politik bangsa Indonesia. Belanda khawatir, pejuang mengobarkan semangat melalui radio," kata Sejarawan yang juga Dosen Prodi Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Heri Priyatmoko.

Hal itu membuat para pejuang penyiaran di Solo yang ketika itu lebih dikenal dengan sebutan angkasawan, mengambil langkah sigap.

Atas perintah Kepala RRI Surakarta, R. Maladi, mereka menyelamatkan pemancar radio di Kota Bengawan.

"Oleh R. Maladi dan teman-teman angkasawan, radio itu dungsikan ke arah kaki Gunung Lawu secara diam-diam," kata dia.

Pasukan Belanda yang menjaga batas-batas wilayah sempat memergoki pergerakan mereka.

Tak habis akal, lagi-lagi rakyat dan pejuang bergerak cepat dengan memanggul seluruh peralatan radio menuju tempat aman.

Padahal berat peralatan radio tersebut mencapai puluhan bahkan ratusan kilogram.

"Tentu saja dengan tantangan pertaruhan nyawa, karena Belanda saat itu juga telah masuk ke Karanganyar, sampai akhirnya mereka harus menggotong peralatan itu dan meletakkannya di kandang kambing agar tak diketahui," tutur Heri.

Para angkasawan pun berhasil kembali melakukan siaran dan selalu menutup perlengkapan radio dengan terpal dan dedaunan setelah usai bertugas.

Tak jarang, suara kambing terdengar mengembik di tengah-tengah siaran yang berlangsung.

Meski demikian, di tempat itu, Belanda tak mencium keberadaan mereka.

Siaran mengudara melalui kandang kambing sampai sekitar tahun 1950.

Hingga Belanda menarik diri dari Indonesia, pemancar tersebut tak pernah jatuh ke tangan mereka.

"Kenapa itu penting, karena saat itu Belanda juga menyebarkan hoaks, berita bohong bahwa Soekarno Hatta sudah ditangkap dan itu mempengaruhi psikologi pejuang," kata dia

"Hoaks lainnya ialah memecah belah kelompok dengan menyebar kabar pertempuran kelompok a dan kelompok b. Belanda pun terbang dan menyebarkan selebaran dari atas," lanjutnya.

Maka tinta sejarah membuktikan, peran pers sangat penting untuk memberikan informasi yang menggugah semangat rakyat hingga meluruskan kabar yang salah.

Kepala Monumen Pers Solo, Widodo Hastjaryo mengungkapkan, ada dua perangkat yang tersimpan, yakni peralatan inti penyiaran radio serta power supply.

Widodo menuturkan perjuangan pers pada saat itu tak main-main.

Sebab saat memindahkan radio itu, kini dibutuhkan cukup banyak orang.

"Diangkat berempat belum kuat, Jadi saya bisa bayangkan bagaimana rakyat dan para pejuang informasi kita memanggulnya saat itu," kata dia.

Menurut Widodo, Balai Konservasi Cagar Budaya pernah mendatangi Monumen Pers untuk mengetahui tahun berapa radio itu diproduksi.

"Dicek serial number-nya, itu diperkirakan diproduksi tahun 1930-an," ujar dia.

Sehingga diperkirakan, kini radio tersebut berusia sekitar 90 tahun.

Setelah pandemi usai, Monumen Pers berencana memamerkan radio kambing dengan cara yang berbeda.

Mereka akan menggabungkan dengan teknologi terkini sehingga pengunjung dapat merasakan suasana para angkasawan mengudara di kandang kambing.

"Akan kami fasilitasi dengan tab, ada aplikasinya, sehingga ketika di-klik akan ada rumah penduduk, ada kambingnya dan menggambarkan situasi pada masa itu. Seolah-olah radio itu menyatu dengan kandang kambing," kata dia.

https://regional.kompas.com/read/2021/02/14/08000011/mengenal-radio-kambing-dan-kisah-perjuangan-pers-melawan-militer-belanda

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke