Salin Artikel

Pandemi Tak Halangi Nampan dari Desa di Kulon Progo Tembus Pasar Eropa

Di pedukuhan nan sepi, pria berusia 45 tahun ini kini sedang berjibaku membuat 40.000 baki atau nampan dari bahan bambu untuk dikirim negeri Belanda, Eropa.

Baki itu berbentuk persegi empat dengan tinggi 7 sentimeter, panjang 56 sentimeter, dan lebar 36 sentimeter.

Semua dari bahan serba bambu, utamanya jenis cendani dan bambu apus Jawa.

Tanpa ada logam dalam tiap baki dan dikerjakan tanpa pengawet. Ini sesuai dengan ecogreen gaya hidup warga Eropa.

“Baki ini tanpa logam, diganti tusuk sate (sebagai pakunya), lem pasta atau lem untuk bambu. Tidak boleh ada logam dalam nampan. Bambu juga tidak boleh ada pengawet. Ini karena semangat go green dan ramah lingkungan. Intinya jangan diawetkan, tapi mesti dibersihkan,” kata Mujimin di rumah produksinya, Jumat (5/2/2021).

Pesanan ini bermula pada pertengahan 2020. Saat itu pandemi Covid-19 telah membuat bisnis bambunya surut.

Pertengahan tahun itu ada dua pembeli mencari para perajin bambu yang memang sangat terkenal di DIY. Para perajin bambu berkompetisi menunjukkan sampel.

Mujimin dikenal sebagai perajin bambu spesialis gedek atau anyaman bambu. Ia juga dikenal sebagai pembuat bangunan bambu, di antaranya seperti gazebo sampai homestay.

Ketika itu, contoh bikinan Mujimin mencuri hati buyer. Mereka kemudian memesan 40.000 baki untuk satu tahun produksi.

Pengiriman dilakukan dalam satu kontainer tiap bulan atau sekitar 4.000 baki.

Baki bikinan Mujimin terbuat dari bambu cendani dan bambu apus Jawa. Bambu cendani didatangkan dari luar Kulon Progo, sedangkan bambu apus diperoleh dari kebun yang banyak ditemui di Nabin.

Orang mengenal bambu cendani sebagai bahan gagang sapu dan tongkat.

Di tangan Mujimin ini, cendani berubah bentuk dan nilai yang lebih mahal. Bila dibanding setangkai sapu seharga Rp 5.000 per buah maka satu nampan bisa dihargai Rp 40.000 lantas diekspor.

“Sayang kalau bambu mahal hanya dijadikan sapu,” kata Mujimin.

“Bisa menceng sedikit, itu dimaklumi. Jadilah kontrak,” kata Mujimin.

Pembuatannya tidak diam-diam. Mujimin harus melaporkan produksinya dalam bentuk video setiap hari.

Ini permintaan pembeli yang menginginkan semua karya serba handmade atau dikerjakan oleh orang, bukan pabrikan.

“Lagi pula, bambu belum ada yang dibuat pabrik. Mereka menilai usaha kerjanya, mulai membuat presisi, kerapian, dan membuat lurus semua bambu yang tidak mungkin bisa lurus 100 persen. Proses kerja ini sangat diminati oleh pemesan di Belanda,” katanya.

Pesanan ini mengulang kembali pesanan serupa pada masa lalu. Ia mengingat ketika ia pernah memproduksi kerajinan bambu ke Denmark pada 2015.

Andalkan warga

Sebanyak delapan orang bekerja pada workshop Mujimin di Nabin. Mereka adalah warga sekitar pedukuhan.

Hampir semuanya anak muda, belum memiliki pekerjaan tetap, yang sehari-hari mengisi waktu dengan memancing.

Kini, mereka bekerja mulai dari memasang pagar nampan, mengelem, memaku dengan tusuk sate, ataupun membersihkan bambu cendani dengan cara dipanggang.

“Mereka sampai lupa mancing. Mereka berkembang dengan kemampuan menjadi makin ahli,” katanya.

Mujimin menceritakan, dirinya kerap mempekerjakan warga sekitar untuk ikut dalam berbagai proyek produksi bambu yang ia dapat.

Tidak hanya proyek bikin nampan seperti sekarang, ia juga menerima pesanan membuat gedek untuk jembatan, alas jemuran panen pertanian, hingga bambu gelondongan untuk berbagai bangunan gapura, gazebo, dan homestay.

Warga banyak dilibatkan. Terlebih lagi pada musim peralihan tanam seperti sekarang, warga memiliki waktu luang. Ia merekrutnya untuk ikut bekerja.

"Saya melibatkan warga sekitar untuk kegiatan saya," kata Mujimin.


Mujimin mengawali usaha ini lewat jualan bambu gelondongan pada tahun 2000.

Jualannya ketika itu demi mendukung pasar kerajinan bambu Yogyakarta yang sedang naik daun.

Bisnis bambu gelondongan hanya sambilan di tengah kegiatan sehari-hari sebagai buruh tani.

Dalam perjalanan waktu, ia membuat gedek. Namanya semakin melesat lewat media sosial pada 2009.

Dunia maya kian membuka lebar peluang bisnis bambu. Sejak itu karyanya dikirim ke berbagai daerah di Indonesia, bahkan hingga ke Eropa, seperti Denmark, Swedia, dan Spanyol.

Mujimin tinggal di Pedukuhan Nabin atau sekitar 36 kilometer dari Kota Yogyakarta. Rumahnya berada di desa tenang di kaki Bukit Menoreh.

Saat hujan, jalanan terasa licin dan becek. Kegigihan Mujimin teruji di masa pandemi.

Ia menunjukkan pada dunia luar bahwa orang desa yang tinggal di pelosok juga bisa merambah dunia dengan karya.

https://regional.kompas.com/read/2021/02/08/16593791/pandemi-tak-halangi-nampan-dari-desa-di-kulon-progo-tembus-pasar-eropa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke