Salin Artikel

Terinspirasi "Little Free Library" di Amerika, Desa di Wonosobo dan Cilacap Bangun Perpustakaan Mini Gratis

Sejak dimulai di Hudson, Wisconsin pada 2009, perpustakaan kecil mini itu dengan cepat menyebar ke seluruh AS dan akhirnya ke seluruh dunia.

Total ada 100.000 perpustakaan mini yang terdaftar dan paling banyak berada di Amerika Serikat. Perpustakaan tersebut mengusung konsep pinjam dan sumbang buku sesuka hati.

Little Free Library yang ada di 108 negara. Termasuk juga di Indonesia. Sedikitnya ada 2 orang yang membangun Little Free Library di Tanah Air yakni di Wonosobo dan Cilacap.

Sedangkan satu diaspora Indonesia, mendirikannya di Kota Mount Prospect sejak tahun 2016.

Buku-buku tersebut diletakkan di kotak berwarna hijau yang disangga kayu dan terpasangan di sebuah rumah salah satunya di negara bagian Illinoi. Kotak tersebut seperti kotak surat.

Namun jika dilihat lebih dekat, berisi belasan buku dari berbagai genre yang bisa dipinjam secara gratis.

Dilansir dari VOA Indonesia, hampir setiap hari Alfred mengecek bukunya untuk sekedar merapikan. Sering kali ia juga menerima dan menyortir sumbangan buku.

Sebelum memasukkan buku ke dalam kotak itu, Alfred akan mengecapnya dengan tulisan: "Always a Gift, Never for Sale," yang berarti: "Untuk Disumbangkan, Bukan Untuk Dijual."

Di atas kotak itu, Alfred juga menyediakan sebuah toples berisi biskuit anjing.

"Karena orang di sini suka bawa anjingnya jalan keluar kan. Dengan kami taruh disitu, banyak sekali orang-orang mampir, ambil treat itu buat anjingnya."

"Pada saat bersamaan anjingnya lagi makan, orang itu buka library kita, dia lihat '"oh, ini isinya.'" Kalau tertarik, dia ambil bukunya," ujarnya kepada VOA.

AS, Alfred mengaku tak pernah mengalami masalah perputaran buku.

Di tengah pandemi virus corona pun tetap banyak orang yang mampir untuk mengambil ataupun menyumbang buku. Tapi kini ia menerapkan protokol kesehatan.

"Meningkatkan kebersihan dari perpustakaan tersebut. Jadi kita pakai wipes, sterile wipes, kita lap sedikit, dan buku-bukunya itu kita kita semprot sedikit dengan clorox."

Hal tersebut mendorong Nining Dwi Astuti untuk menghadirkannya di desa tempat ia tinggal dan bekerja yakni di Wonosobo tepatnya di Desa Jolontoro.

"Awalnya kenapa persiapannya sampai setahun karena jujur aku agak ragu ya. Bisa ngga ya ini diadaptasi di Indonesia, gitu? Apakah aku terlalu mengawang-awang karena mencontoh yang di Amerika sana, gitu."

Ia mengatakan sebenarnya di Desa Jolontoro ada perpustakaan umum. Namun perpustakaan tersebut jarang dikunjungi warga.

Adening yang berprofesi sebagi PNS tersebut kemudian menawarkan konsep Little Free lIbrary kepada pengurus desa. Tawaran tersebut disambung baik.

"Kita bingung waktu itu mau pasang di mana, trus ada salah satu warga yang merelakan dengan sukarela rumahnya. '"Dipasang depan rumah saya aja, nanti sekalian saya awasin,'" gitu. Sampai dia ngecat rumahnya biar nuansanya sama," cerita Adening.

Sejak September 2020, Little Free Library mulai terbentuk di desanya. Perpustakaan tersebut juga membuka upaya pemberdayaan masyarakat khususnya anak-anak sekolah yang terkendala belajar karena pamdemi.

"Di desa kan internet susah, banyak ngga punya internet di rumah. Mereka pakai kuota. Kuotanya juga terbatas. Kebetulan di rumah itu kita inisiatif buat pasang wifi. Jadi kalau pagi orang-orang pada pinjam buku, malamnya anak-anak kecil belajar di situ."

Idealnya Liitle Free Library juga memberi ruang bawa warga untuk meminjam buku secara gratis atau menyumbang buku

Namun pola tersebut belum bisa diterapkan karena literasi masyarakat masih rendah.

Untuk itu Adening masih mengandaklan buku sumbangan dari berbagai organisasi untuk mengisi perpustakaan mini yang diberi nama Ngesti Rahayu.

Bahkan perpustakaan umum yang sepi pengunjung juga meminjamkan beberapa bukunya.

Perpustakaan sederhananya tersebut saat ini menjadi tempat berkumpulnya anak-anak.

"Buku kalau dibaca anak-anak itu ternyata cepat sekali rusak. Tidak apa-apa, akhirnya dikasih solusi. Yang pada lepas sampulnya kita ganti dengan kertas kalender. Bertahan sebentar, lama-lama (mereka) bosan karena hampir semuanya sudah dibaca."

Apabila tak mendapat donasi buku, pria yang berprofesi sebagai guru pendidikan jasmani ini dengan sukarela merogoh kantong untuk membeli bacaan bekas di pasar malam.

"Namun, ada kekurangannya juga. Buku yang di pasar malam itu cacat. Misalnya begini, buku kan depannya sampul, buka itu bukan halaman pertama, tapi halaman terakhir. Nah halaman pertamanya gimana? Dibalik, kaya Al-Quran begitu, bukanya ke kiri."

"Mayoritas seperti itu, dijual Rp 20.000 tiga. Menurut saya ngga masalah, saya yakin nggak akan diprotes anak-anak."

Meski halamannya tak beraturan, tapi buku-buku yang diborongnya malam itu tetap diminati oleh anak-anak.

Namun sejak pandemi virus corona, pasar malam yang biasa didatanginya itu tutup dan Hendra tak bisa lagi membeli buku-buku bekas murah untuk perpustakaannya.

Terlepas dari berbagai tantangan yang dihadapi selama ini, ketiganya sepakat bahwa ini adalah peran yang sangat bermanfaat dan membahagiakan. Hendra mengaku bangga bisa membantu meningkatkan literasi di desanya.

"Ada anak belajar membaca dengan diucapkan sangat keras sekali. Contoh; Kan-cil ma-kan, itu keras sekali. Jadi itu membuat saya puas sekali, belajar di tempat saya," kata Ari Hendra.

Sementara bagi Alfred, Little Free Library membantu menciptakan lingkungan yang kekeluargaan.

"Membuka pintu perkenalan kepada orang-orang yang tinggal di sekitar rumah kami."

https://regional.kompas.com/read/2021/02/06/08080011/-terinspirasi-little-free-library-di-amerika-desa-di-wonosobo-dan-cilacap

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke