Salin Artikel

Merayakan 100 Tahun Dam Kawah Gunung Ijen Melalui Kartu Pos

Selain memiliki kawah asam dengan warna yang mempesona, Gunung Ijen juga di kenal dengan fenomena eternal blue fire atau api biru.

Namun tidak banyak yang tahu jika di Gunung Ijen terdapat sebuah bendungan raksasa yang dikenal dengan nama Dam Kawah Ijen.

Tempatnya tersembunyi dan jauh dari keriuhan spot utama, puncak Gunung Ijen.

Dam Gunung Ijen ini diperkirakan dibangun pada tahun 1900-an. Hal tersebut terbukti dari sebuah kartu pos bergambarkan pembangunan Bendungan Kawah Ijen.

Kartu pos tersebut diterbitkan oleh F H Gruyters yang dikirim dari Surabaya ke Haarlemmeemeer, Belanda tepatnya pada 20 Desember 1917.

Hal tersebut dijelaskan kolektor kartu pos, Lukman Hakim (44) saat dihubungi Kompas.com, Kamis (4/2/2021).

"Dari situs KITLV saya pernah melihat sejumlah foto Banyuwangi tempo dulu. Di situs tersebut foto Bendungan Ijen di kategorikan dari masa 1920-an. Jadi usianya sudah satu abad"

"Namun dari penggunaan kartu pos tahuun 1917, maka saya asumsikan foto itu dibuat sebelum tahun itu. Bisa jadi antara tahun 1910 hingga 1915," kata Lukman saat dihubungi via telepon.

Lukman kemudian membandingkan foto Bendungan Kawah Ijen dengan fofo lainnya yakni Pondok Kawah Ijen.

Di foto Pondok Ijen yang pertama diambil oleh fotografer yang sama dengan foto Bendungan Kawah Ijen.

Sedangkan foto Pondok Ijen yang kedua terlihat lebih rapi dan sudah dipergunakan oleh orang-orang Eropa untuk berpose.

"Agar lebih spesifik, biasanya saya akan melihat catatan kapan fotografer itu datang ke Banyuwani karena pada masa itu banyak yang menjadi fotografer.

"Sehingga jika ada seorang fotografer yang sedang melakukan tour atau dinas, maka pemerintah Hindia Belanda akan mengumumkannya dan mencatatnya dalam sebuah arsip. Karena biasanya saat datang mereka akan melakukan serangkaian pemotretan," jelas pria yang berprofesi sebagai pengamat modal.

Menurut Lukman, selain memotret Bendungan Kawah Ijen, FH Gruyther juga membuat sejumlah foto di Kabupaten Banyuwangi mulai dari stasiun, pelabuhan, dan kondisi Banyuwangi saat iu.

Kala itu, selain menjadi fotografer, FH Gruyther juga publisher kartu pos yang dijual di tokonya di Banyuwangi.

Pemerintah Hindia Belanda kemudian menyewakan tanah yang cukup luas di sekitar Gunung Ijen kepada Kapten China asal Surabaya yang bernama Han Chan Pit serta saudaranya yang bernama Han Ki Kong pada tahun 1810 senilai 400.000 dolar Spanyol.

Perkebunan tersebut kemudian dipromosikan oleh Daendels selaku Gubernur Hindia Belanda.

Sebagai Mayor Cina,  Han Kik Ko, adik Han Chan Pit kemudian membeli distrik Probolinggo pada 1813.

Untuk mengolah lahan tersebut, didatangkan 40 ribu pekerja asal Madura.

Pada tahun 1813, para petani yang dipimpin Kiai Mas melakukan pemberontakan. Lahan tersebut kembali dibeli oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Setelah peristiwa “Kepruk China”  semua lahan yang dikuasai sebelumnya oleh keluarga ini dibeli kembali oleh pemerintah Hindia Belanda.

Kawasan Puncak Ijen yang termasuk didalamnya akhirnya dibuka kembali untuk perkebunan kopi dan karet pada akhir ke-19. Ribuan orang dari Madura kembali didatangkan untuk mengolah lahan tersebut.

Nama Gunung Ijen semakin terkenal sekitar tahun 1971. Saat itu suami istri asal Prancis yang bernama Nicholas Hulot dan Katia Krfat datang ke Gunung Ijen. Mereka kemudian menuliskan pengalaman mereka di Gunung Ijen di majalah Geo Perancis.

Suami itu juga menceritakan kerasnya kehidupan penambang belerang serta keberadaan api biru di Gunung Ijen.

Sejak saat itu, Gunung Ijen menjadi salah satu destinasi wisata yang menjadi tujuan wisatawan mancanegara.

Kehadiran kartu pos di Hindia Belanda saat itu bersamaan dengan masa keemasan kolonial. Sehingga tak heran penggunaan kartu pos di masa itu cukup banyak.

"Dibandingkan dengan surat biasa, kartu pos memiliki keunggalan dan disukai karena ada foto sehingga penerima bisa mendapatkan gambaran lokasi pengirim berada," jelas Lukman.

Bagi orang Erapa saat itu, Hindia Belanda adalah "kepingan surga" yang eksotis.

"Mereka mengirimkan banyak kartu pos ke Eropa dan itu menjadi promosi gratis mengenai tanah harapan di bagian timur dunia," kata Lukman.

Orang Eropa pun terpikat dengan Hindia Belanda setelah kartu pos beredar di Eropa. Mereka kemudian berdatangan dengan berbagai tujuan di antaranya mencari kehidupan baru atau mengembangkan bisnis dan investasi.

"Ini membuat perekonomian Hindia Belanda semakin bersinar sebelum terseret krisis keuangan global pada tahun 1930," kata Lukman.

"Kalau kartu pos di masa kolonial masih ratusan jumlahnya. Tapi kalau Indonesia modern, ada seribu lebih koleksi," kata pria yang tinggal di Jakarta ini.

Menurutnya kartu pos adalah bagian dari rekam sejarah dan menjadi artefak yang menggambarkan peradaban masyarakat saat itu.

"Saya suka dengan kartu pos yang bergambar bangunan dan aktivitas masyarakat," ungkapnya.

Melalui sebuah kartu pos, menurut Lukman, bisa dilihat perkembangan arsitektur termasuk perubahan sebuah kota yang akan memberikan gambaran keadaan sosial masyarakat kala itu.

"Bisa jadi bangunan tersebut sudah hilang. Tapi bila sudah terekam dalam sebuah kart pos maka akan bisa menjadi jendela waktu untuk melihat sejarah di masa lalu," kata Lukman.

https://regional.kompas.com/read/2021/02/06/07080051/merayakan-100-tahun-dam-kawah-gunung-ijen-melalui-kartu-pos

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke