Salin Artikel

Mengenal Kopi Wonogiri, Potensi dan Sejarahnya

KOMPAS.com - Kopi diketahui sebagai salah satu komoditas eskpor unggulan di Indonesia.

Sebagai salah satu penghasil kopi terbesar di dunia, Indonesia memiliki banyak macam kopi, salah satunya adalah kopi Wonogiri.

Meskipun kopi Wonogiri belum setenar seperti kopi dari daerah lain, namun, salah satu daerah di Jawa Tengah tersebut memiliki potensi yang tak kalah dengan kopi lokal lainnya.

Pegiat kopi lokal Wonogiri, Yosep Bagus Adi mengatakan, budidaya kopi di Wonogiri sudah ada sejak era Mangkunegara IV.

Bahkan, pada era itu Wonogiri dijadikan sebagai salah satu daerah sentra budidaya kopi selain Karanganyar.

Potensi kopi Wonogiri

Bagus sapaan akrabnya itu mengatakan, meski budidaya kopi di Wonogiri sempat meredup, namun, saat ini para petani setempat kembali tertarik untuk mengembangkan kopi.

Hal itu karena kondisi geografis yang mendukung serta harga jual yang tinggi.

Bahkan, hampir semua kecamatan di Wonogiri saat ini memiliki kebun untuk budidaya kopi.

Menurut Bagus, ada dua macam kopi yang banyak ditemukan di daerahnya, yaitu kopi jenis arabika dan robusta.

Di deretan kaki gunung Lawu, kata Bagus, merupakan lahan yang cocok untuk budidaya kopi arabika, yang mencakup Kecamatan Bulukerto, Girimarto, Slogohimo, Jatipurno, dan Puhpelem.

Sedangkan di sekitar pegunungan Seribu lebih cocok sebagai daerah tanam kopi Robusta, yang meliputi Kecamatan Jatiroto, Karangtengah, Tirtomoyo, Kismantoro, dan Batuwarno.

Adapun produksi unggulan untuk masing-masing varietas kopi tersebut terdapat di Desa Conto, Kecamatan Bulukerto dan Desa Brenggolo, Kecamatan Jatiroto.

"Di Desa Brenggolo dalam sekali panen bisa menghasilkan 10 ton, bahkan bisa lebih. Belum desa lainnya," ungkapnya kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Jumat (5/2/2021).

Kendala yang dihadapi

Bagus mengatakan, untuk mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas kopi di Wonogiri berbagai upaya sudah dilakukan.

Mulai dengan memberikan edukasi kepada para petani dan juga mendirikan koperasi.

Namun demikian, ia tak memungkiri bahwa masih banyak kendala yang dihadapi. Utamanya terkait dengan kesadaran para petani dalam melakukan pemrosesan kopi sebelum dijual.

Dikatakan Bagus, kopi jenis arabika di Wonogiri dijual seharga Rp 70.000 - 75.000 per kilogram. Harga itu melonjak drastis dibandingkan tahun 2018 yang hanya dikisaran Rp 20.000 per kilogram.

Sedangkan jenis robusta dijual seharga Rp 35.000-50.000 per kilogram dari sebelumnya Rp 15.000 per kilogram.

Melonjaknya harga jual itu seiring dengan kesadaran dan pemahaman para petani kopi yang meningkat dalam memproses kopi. Mulai dari memetik biji kopi yang sudah matang hingga proses setelahnya sebelum dijual.

"Karena itu, bagi para petani yang tidak ingin repot, biasanya lebih memilih menjual ke tengkulak. Karena kalau ke tengkulak tidak perlu memilah mana biji kopi yang sudah matang atau belum. Hanya saja harganya jauh lebih rendah," jelasnya.

Karena hasil budidaya kopi di Wonogiri dianggap relatif masih terbatas, lanjut Bagus, kopi yang dihasilkan dari para petani saat ini hanya untuk mencukupi kebutuhan pasar lokal.

Bagus sendiri juga belum berkeinginan untuk mendorong para petani binaannya itu untuk melakukan ekspor. Sebab, masih banyak pekerjaan yang harus dibenahi.

"Meskipun potensinya bagus, namun kita belum mengincar pasar ekspor. Saat ini kita lebih fokus untuk meningkatkan kualitas dan kuantitasnya," ungkap bagus.

Sejarah

Dilansir dari laman puromangkunegaran, budidaya tanaman kopi di daerah Mangkunegara ternyata sudah mulai dikembangkan sejak tahun 1814.

Hal itu karena melihat potensi dari komoditas biji kopi yang laku keras di pasar internasional dan dianggap mampu menopang perekonomian kerajaan.

Dengan pertimbangan tersebut, Mangkunegara IV saat itu memfokuskan daerah Wonogiri dan Karanganyar untuk dijadikan sebagai sentra budidaya tanaman kopi.

Pemilihan lokasi di daerah tersebut karena kondisi geografisnya yang dinilai cocok untuk melakukan penanaman kopi karena berada di dataran tinggi.

Tak hanya itu, pada awal tahun 1850 penanaman kopi di wilayah Mangkunegaran juga ditangani secara serius.

Salah satunya dengan mendatangkan administratur kopi dari Eropa yang bergelar panewu kopi dan mantri kopi.

Di setiap daerah juga didirikan gudang untuk penampungan kopi dan pesanggrahan sebagai tempat tinggal para administratur.

Upaya yang dilakukan Mangkunegara IV saat itu berhasil memperoleh keuntungan yang signifikan, sehingga mendongkrak perekonomian kerajaan.

Dari 1.208 kwintal pada tahun 1842 menjadi 11.145 kwintal pada tahun 1857 dan terus meningkat pada tahun setelahnya.

Bahkan, selama rentang waktu 1871-1881, Mangkunegara IV berhasil menambah kas kerajaan sebesar f 13.873.149,97 atau rata-rata f 1.261.195,45 per tahun dari hasil produksi kopi.

https://regional.kompas.com/read/2021/02/06/06190011/mengenal-kopi-wonogiri-potensi-dan-sejarahnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke