Salin Artikel

Cerita Juyono, 50 Tahun Jadi Pandai Besi, Ikuti Jejak Ayah, Menempa Parang hingga Wajan

Namun kini keberadaan pandai besi nyaris terlupakan seiring dengan banyaknya perkakas pabrik.

Di Semarang, Jawa Tengah, keahlian dan ketrampilan menempa besi secara tradisional ini masih ditekuni segelintir orang. Bahkan diwariskan turun temurun ke generasinya dan bertahan hingga kini.

Api di tungku pembakaran itu semakin membesar setelah mesin peniup angin dinyalakan. Sedemikian besar hingga nyaris menjilat atap asbes di bengkel besi tempa milik Juyono, di Kampung Kaligetas, Mijen, Semarang, Jawa Tengah.

Melalui kegesitan tangan Juyono, lidah api itu dipakai untuk membakar besi sabit, cangkul, dan linggis. Aneka perangkat besi itu kemudian ditempa dengan martil, lalu dicelupkan di bak air pendingin.

Proses tersebut dilakukan berulang kali sebelum akhirnya dihaluskan dengan gerinda mesin agar halus dan tajam.

"Nanti dulu, ini harus ditempa terus sampai pas," jelas Juyono dengan logat Jawa kental menimpali si pemilik cangkul yang meminta proses itu disudahi.

Beberapa lama kemudian, pekerjaan lelaki berusia 62 tahun itu rampung.

Uang Rp 30.000 dan Rp 25.000 untuk perkakas besi dengan ketajaman sempurna, berpindah ke kantong bajunya.

Juyono adalah satu dari sedikit pandai besi tradisional yang masih tersisa.

Keahlian dan ketrampilannya menempa besi menjadi aneka perkakas dikenal banyak petani di sekitar Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Sebagai anak sulung dari sembilan bersaudara, Juyono awalnya hanya membantu pekerjaan Karimin menempa besi.

"Ya ikut membantu ayah dari umur 12 tahun. Dari situ belajar sampai 15 tahunan, lanjut terus dan keterusan sampai sekarang jadi terampil pandai basi. Waktu itu belum ada mesin, manual semua," papar Juyono kepada wartawan BBC News Indonesia.

Banyak ilmu yang didapat Juyono dari ayah dan pamannya, termasuk teknik menempa besi dan menjaga kualitas produk.

Hal itu penting agar pelanggan puas sehingga bisa datang lagi. Sebaliknya, jika kualitas produk buruk, pembeli tidak akan kembali.

"Kalau tidak bagus tidak ada yang datang, yang beli kapok. Makanya ayah selalu berpesan yang penting bagus agar dicari orang. Barang yang bagus kan dicari orang, yang paling bagus jangan sampai kalah dengan bikinan orang lain. Kalau tidak bagus nanti orang yang beli kapok," imbuhnya.

Juyono mampu memperkirakan dan mengukur tingkat panas api tanpa menggunakan alat pengukur suhu.

"Panasnya perkiraan jangan sampai kemerahan dan kehitaman. Pas merah sama seperti bulan tanggal satu. Dicelup, semua pakai rasa. Itu untuk melenturkan besi agar mudah dibentuk. Kalau tidak seperti itu tidak jadi. Besinya lebur di api, hancur ya rugi," papar Juyono.

Tak ada alat cetak untuk meleburkan dan mencetak besi menjadi aneka perkakas, dari parang hingga wajan.

"Nggak pakai cetakan, dikarang saja, dikira-kira terus dibentuk. Kalau dicetak kan kayak bubur. Ini besi mentah, dipanaskan dan dibentuk sejadinya. Kalau masih tebal kikir lagi, digosok. Kalau mencong-mencong ya ditempa terus."

Mulai dari besi-besi bekas kendaraan berat hingga arang kayu jati. Menurutnya, bahan itu mampu menghasilkan proses pembakaran maksimal dan hasil produk berkualitas bagus.

"Cari dari penampung rongsok. Cari sampai dapat, makanya sampai ke mana-mana. Sekarang lebih mudah dibandingkan zaman dulu masih dikit," kata Juyono.

Juyono mengatakan komponen besi kini menurun kualitasnya tapi harga terus naik.

Dari Rp 3.500 per kilogram kini mencapai Rp 7.500 per kilogramnya.

"Zaman dulu beda, sekarang banyak tiruan. Dulu mengkilat, sekarang putih tapi buram karena komponen bajanya kurang banyak."

Awalnya, Juyono menjual perkakas buatannya dengan keliling menggunakan sepeda onthel. Seiring waktu, dia menggelar dagangan di Pasar Kliwon Gunungpati dengan merek KN III.

"Tahun 2000 itu masih jual sabit di pasar, nggak sampai 15 menit saja bawa 30-an [perkakas] sudah habis. Orang sudah nunggu untuk bayar. Banyak saingan tapi pamor kelihatan, ada stempel KN III. Kalau dengar KN III itu datang ngerubungi semua," jelasnya.

Dulu dia menjual sabit seharga Rp 25.000, kini harga sabit buatannya berkisar antara Rp 75.000 hingga Rp 125.000.

Suparto, petani palawija dari Gunungpati, Semarang, salah satu pelanggan Juyono sejak 1979.

Dia mengakui kualitas perkakas buatan Juyono, meski menurutnya harga perkakas produksi K N III lebih mahal dibanding sabit pabrikan.

"Aku pelanggan dia masih sama-sama bujang, dia sama bapaknya dulu. Garapannya bagus, jadi langganannya banyak. Aku nggak pernah beli di pasar, karena beli di pasar itu tajamnya kurang," tutur Suparto.

Pekerjaan turun temurun itu juga diikuti kedua anaknya. Narto Susilo dan Agus Sunarso, yang menjadi pandai besi di daerah lain.

"Sudah menyatu, satu keluarga pandai besi, nggak ada lainya. Adik saya yang kecil juga jadi pande, tapi semua punya ciri sendiri, beda gayanya. Pesannya pada mereka jangan ceroboh karena nanti hasilnya jelek konsumen tidak tertarik."

Di usia senjanya, Juyono memilih bekerja sendiri.

Dia pun tidak seproduktif dulu karena tenaga makin berkurang dan gangguan kesehatan mulai menghinggapi tubuh rentanya yang tak lagi berotot.

"Sekarang tenaga sudah kendur, sudah loyo, tenaganya sudah habis, pokoknya kerja sekuatnya. Kalau sakit nggak bisa kerja."

Meski begitu, Juyono masih kukuh melakoni profesinya dan tak ingin ingin berhenti selagi mampu.

"Ini mata pencaharian utama, hidup saya. Jadi masih kerja sampai sekarang. Saya punya keinginan yang belum tercapai."

"Ingin punya alat tempa yang lebih modern jadi nanti mukul pakai mesin tidak harus mengeluarkan tenaga untuk menempa besi," harapnya mengakhiri percakapan.

https://regional.kompas.com/read/2021/02/06/06070031/cerita-juyono-50-tahun-jadi-pandai-besi-ikuti-jejak-ayah-menempa-parang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke