Salin Artikel

Dedi Mulyadi: Warga Baduy Nol Covid-19, Seharusnya Kita Belajar dari Mereka

Warga adat rata-rata memiliki daya tahan tubuh yang bagus karena mengonsumsi makanan alamiah dan higienis.

Kepada Kompas.com, Jumat (29/1/2021), Dedi mengatakan bahwa usulan tersebut pernah ia sampaikan dalam rapat kerja bersama Menteri Pertanian Yasin Limpo di Jakarta, dua hari lalu.

Menurut Dedi, selain memiliki imunitas yang bagus, warga Baduy juga sudah lama mengalami swasembada pangan.

Hal itu karena mereka memiliki sistem pengelolaan pertanian yang bagus meski mereka termasuk golongan tradisional.

"Di Baduy nggak ada kadis Pertanian tapi swasembada pangan. Nggak ada kadis kesehatan tapi tak ada Covid," kata Dedi.

Dedi mengatakan, sistem pengelolaan berbasis tradisi yang dilakukan oleh warga Baduy itu memiliki dampak pengganda terhadap ekonomi, sosial dan kesehatan.

Misalnya, kata Dedi, dalam pengelolaan bibit bahwa orang Baduy, Ciptagelar, Sinaresmi, mereka memiliki bibit padi sendiri dengan varietas lebih dari 100 jenis.

Padahal, menurut Dedi, mereka sebenarnya tidak memiliki laboratorum, tetapi mampu mengembangakan varietas padi.

"Selain menyediakan benih, mereka juga menggunakan tata kelola yang baik dan berbasis organik. Mereka berada di lereng gunung, tapi lanskapnya dipertahankan dengan baik," kata Dedi.

Mereka juga memiliki sistem pergudangan yang memadai. Gudangnya terkenal dengan istilah leuit, yakni semacam lumbung tradisional.

"Kemudian padinya awet. Kan padi mereka ada yang usianya sudah 50 tahun. Masih tersimpan di leuit, bahkan ada yang 100 tahun," katanya.

Menurut Dedi, di kampung adat Baduy setiap tahun ada seren tahun. Seren tahun itu proses pengeluaran padi dari leuit yang sekian puluh tahun tersimpan. Lalu padi yang baru dimasukkan. Tak ada tradisi makan padi yang baru dipanen dalam tradisi masyarakat Baduy.

"Padi baru disimpan, padi lama keluar. Itulah seren tahun. Dari sisi kesehatan itulah yang paling sehat. Beras baru rentan terhadap kadar gula yang sangat tinggi. Mereka sudah menyimpan lama jadi kadar gula nol. Cerdas," kata Dedi.

Dari sisi logistik, Dedi mengatakan mereka memiliki sistem tata kelola logistik sangat memadai. Logistik mereka cukup untuk sekian puluh tahun ke depan. Bahkan katanya sampai 150 tahun ke depan.

"Jadi kalau 150 tahun ke depan orang Baduy tidak menanam padi, dia masih makan karena cadangannya masih cukup. Pertanyaannya adalah cadangan beras kita ada segitu? Nggak ada kan. Itu yang dari dulu saya kritik. Soal tata kelola. Sebab, di desa-desa sekarang tak ada lagi lumbung. Dulu ada," beber mantan bupati Purwakarta itu.

Dedi mengatakan, tradisi lumbung di kampung terhapus saat pemerintahan Seoharto. Ia mengubah lumbung dengan pola Dolog. Kemudian dibikin Badan Usaha Milik Desa (BUMD) atau sekarang Bumdes.

"BUMD dibikin gudang-gudang dari seng, dari situlah hancurnya leuit-leuit tradisional pedesaan. Karena terjadi perubahan dari pengelolaan leuit yang tradisi kultural berbasis lingkungan ke pengelolaan leuit berbasis struktural koruptif," tandasnya.

Menurut Dedi, dulu lumbung tradisional dikelola orang-orang kultur, tokoh-tokoh terpercaya. Kemudian berubah menjadi badan dan dikelola oleh lembaga desa yang saat itu tidak terpercaya, koruptif. Akhirnya gudang pun habis.

Baduy dan pengelolaan pertanian higienis

Dedi mengatakan, mengatakan, warga Baduy mampu mengelola pertanian yang higienis, berbasis alam dan lingkungan.

Pengelolaan model itu otomatis memiliki dampak pengganda (multiplyer effect). Mereka bisa swasembada daging lewat peternakan sapi, domba dan ayam. Sumber pangannya dari lingkungan mereka sendiri, tidak impor.

"Itu yang dari dulu harus dipertahankan," katanya.

Memang, kata dia, orientasi ekspor komoditas warga Baduy masih jauh. Tapi mereka sudah bisa membangun kemandirian.

"Kesehatan manusianya juga terjaga. Masyarakat memiliki daya imun karena memiliki basis alam," katanya.

"Itulah saya sampaikan warga Baduy nggak punya dinas pertanian, mereka swasembada pangan. Nggak punya Bulog, mereka punya cadangan pangan cukup. Nggak punya dinas kesehatan, mereka bebas Covid. Kita mau belajar dari mana lagi?" kata Dedi.

Menuruynya, jika warga Baduy cerdas seharusnya kita belajar dari mereka. Belajar pada kearifan mereka.

"Kenapa kita bawa istilah-istilah asing yang kemudian membunuh seluruh perangkat tradisional kita yang kokoh. Sayang ingatkan itu," tandasnya.

Sebelumnya diberitakan, hampir setahun pandemi Covid-19, tidak ada satu pun warga Suku Baduy di pedalaman Provinsi Banten terkonfirmasi positif.

Padahal, di Kabupaten Lebak, jumlah kasus sudah mencapai 1.179 yang tersebar di 28 kecamatan hingga Kamis (21/1/2021).

Tetua Adat Masyarakat Baduy sekaligus Kepala Desa Kanekes, Jaro Saija, kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Jumat (22/1/2021), mengatakan, nol kasus di Baduy merupakan hasil dari segala upaya yang sudah dilakukan oleh pihaknya untuk mencegah Covid-19 masuk ke dalam wilayahnya. Mulai dari isolasi kampung, disiplin mengenakan masker hingga menggunakan mantra dan doa.

https://regional.kompas.com/read/2021/01/29/14174401/dedi-mulyadi-warga-baduy-nol-covid-19-seharusnya-kita-belajar-dari-mereka

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke