Salin Artikel

Raih Kalpataru 2020, Bukti Kukuhnya Masyarakat Dayak Punan Menjaga Hutan Adat

Penghargaan tersebut diberikan kepada individu maupun kelompok yang dinilai berjasa dalam merintis, mengabdi, menyelamatkan, melindungi dan mampu mengelola lingkungan hidup dan kehutanan.

Ada 10 penerima penganugerahaan penghargaan Kalpataru Tahun 2020, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MENLHK) Nomor SK.302/MENLHK/PSKL/PEG.7/7/2020, dan MHA Punan Adiu salah satunya.

Arti Kalpataru

Lalu apa arti Kalpataru bagi MHA Punan Adiu?

Mewakili kepala adat Punan Adiu Markus, Kepala desa Punan Adiu Ilin Kristianus mengatakan, Kalpataru adalah sebuah simbol dan pengakuan, juga sebagai spirit yang diharapkan menjadi obat bagi para pelestari hutan.

"Saya menerima Kalpataru hanya sebagai perwakilan masyarakat saja, ada yang sangat berhak menerimanya yaitu ketua adat Punan Adiu, pak Markus, saat ini beliau terbaring sakit, saya berdoa, Kalpataru menjadi penyembuh bagi pak Markus karena dia adalah sosok penting dari lestarinya hutan Punan," ujarnya dihubungi, Selasa (22/12/2020).

Ilin berharap, Kalpataru akan menjadi spirit masyarakat Dayak Punan untuk semakin gigih melestarikan dan menjaga hutan dari ancaman korporasi dan para perusak hutan.

Sumber kekuatan tola rayuan korporasi

Bagi masyarakat dayak Punan, hutan bukan sekedar habitat dan sumber kehidupan, melainkan lebih dari itu.

Masyarakat setempat berkeyakinan hutan adalah pelindung, hutan juga menyimpan kekuatan penuh misteri, kerusakan hutan menimbulkan murka alam sehingga tidak ada alasan selain memperlakukan hutan sebagai sahabat bahkan sebagai mutu manikam.

"Kalpataru akan menjadi jaminan kami, Kalpataru menandakan hutan kami adalah milik kami, pengakuan Negara tersebut adalah jaminan dan kekuatan kami untuk menolak rayuan korporasi yang selama ini sering terjadi," tegasnya.


Dibantu LSM lawan korporasi sawit dan batu bara

Selain tekat dan keyakinan masyarakat adat Punan dalam kelestarian hutan, mereka juga memiliki lembaga yang mendukung mereka untuk terus menjaga warisan alam untuk generasi mereka.

Lembaga Pemerhati dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Dayak Punan Adiu (LP3M). Lembaga ini selalu memberikan pendampingan, masukan serta advokasi, saat ancaman eksplorasi sawit serta tambang batu bara terus gencar merayu masyarakat agar menjual tanah mereka.

Direktur LP3M Niko Boro menuturkan, LP3M didirikan pada 27 Juni 2005 untuk merespon aneksasi 1 juta hektar lahan sawit oleh gubernur Kalimantan Timur.

Niko menjelaskan, LP3M tidak serta merta menolak keberadaan sawit, akan tetapi eksploitasi itu, akan membuat orang Punan mati karena mereka sangat bergantung pada hutan.

"Sebelum LP3M berdiri, masyarakat Punan sendirian berjuang menjaga hutan, saat itu, ada areal hutan yang diplot Pemda untuk perkebunan kayu kertas, itu sekitar 2006, disitu juga ada izin kebun sawit, kita buat seminar merespon tanaman sawit skala besar yang berdampak ke hutan, kita semua sepakat menolak itu," kata Niko.

Hutan adalah air susu ibu, urat nadi dan jantung

Niko mengatakan, masyarakat Dayak Punan Adiu adalah pemburu peramu yang masih tersisa di Borneo, mereka memiliki ketergantungan erat dengan hutan bahkan hutan adalah urat nadi dan jantung mereka.

Di kabupaten Malinau, selain Punan, ada 10 sub suku dayak, masing masing, Dayak Lundayeh, Dayak Kenyah, Dayak Belusu, Dayak Habai, Dayak Saben, Dayak Kayan, Tidung, Dayak Tingalan, dan Dayak Tahol.

Diantara semuanya, Dayak Punan dikatakan salah satu suku yang, menjiwai hutan. Mereka mengumpamakan hutan sebagai seorang ibu yang memberikan ASI untuk menghidupi anaknya.

Dayak Punan memiliki filosofi ‘’Lunang t’lang ota’ ine’ yang berarti, hutan adalah Air Susu Ibu.

"Jadi saya pernah diundang Kompas TV dulu tahun 2016, saya katakan di sana, kalau mau menghancurkan masyarakat Punan itu mudah, babat hutannya, mereka tidak akan hidup," katanya.


Babat hutan adat sama dengan membasmi masyarakat Dayak Punan

Ucapan tersebut, bukan sebuah kalimat negatif, melainkan menunjukkan betapa berartinya hutan bagi masyarakat Dayak Punan, sehingga jika hutan rusak, sama halnya dengan mencabut kehidupan yang diberikan Tuhan atas mereka, dan itu adalah kejahatan kemanusiaan.

Mengambil hutan warga Dayak Punan sama dengan melakukan pembasmian etnis atau genosida, sehingga hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah pusat.

"Masyarakat Dayak Punan sangat menghormati hutan, mereka tidak pernah mengambil apapun secara asal saja, bahkan ketika memotong rotan, mereka pilih yang tua, dan memotong satu meter dari tanah dengan harapan akan tumbuh kembali, hutan sakral untuk mereka, bagaimana seharusnya seorang ibu diperlakukan, itu yang dibuat juga untuk hutan," kata Niko.

Cara masyarakat Punan menjaga hutan adat

Masyarakat Dayak Punan Adiu memiliki luas hutan adat sekitar 17.414,93 hektar. Luasan tersebut kemudian dibagi dengan 7 peruntukan.

Tanoq Jakah, yaitu hutan yang dimanfaatkan hasilnya tanpa menebang kayunya. Masyarakat mengambil Gaharu, getah damar, hewan buruan, buah buahan, juga hasil rotan di hutan dengan luas kurang lebih 5.700 hektar ini.

Tanoq Legaman, kawasan hutan ini merupakan hutan larangan yang sangat dilindungi, untuk masuk kawasan hutan dengan luas sekitar 8.851 hektar ini, harus beramai ramai, karena kawasan ini dihuni makhluk halus bernama Kelebbu, hantu hutan yang akan menyesatkan jalan bagi siapa saja yang masuk.

Dipersiapkan untuk anak cucu

Melu Tanoq, kawasan hutan yang dipersiapkan untuk anak cucu, tidak boleh ada aktivitas yang mengganggu habitat apapun di lahan seluas 744,86 hektar.

Mena Umoh Unan Lidaq, yaitu tanah untuk berladang, lokasi ini diperuntukkan sebagai perkebunan dan bercocok tanam. Luas lahan sekitar 923,52 hektar.

Tanoq lidaq Lelah, yaitu tanah untuk budidaya Gaharu seluas 458,11 hektar. Masyarakat Dayak Punan memiliki sejarah yang berkaitan dengan Gaharu, mereka percaya Gaharu akan mendekatkan mereka dengan arwah nenek moyang.

Balah, yaitu tanah bekas perladangan, masyarakat akan melakukan penghijauan dengan menanam kembali pohon pohon produktif. Lokasi ini memiliki luas sekitar 314,24 hektar.

Tanoq Lun Tukung, yaitu kawasan wisata dan perkampungan masa depan.

Kaya satwa endemik

Di lokasi ini terdapat danau yang dikenal masyarakat Punan sebagai Sigong Kalapang yang berarti tumpukan labi labi, karena dulunya danau tersebut menjadi habitat labi labi. lahan ini memiliki luasan sekitar 300,1 Ha.

"Pemda sudah mengakui hutan adat Dayak Punan dengan Perda yang dikeluarkan pada hari Rabu tanggal 3 bulan 10 tahun 2012, saya hafal itu karena bersejarah, dan itu menjadi payung hukum pertama yang diparipurnakan," katanya.

Banyak satwa endemic masih mendiami hutan adat, burung enggang dan burung rangkong badak sampai macan dahan, masih sangat banyak, begitu pula dengan kayu kayu keras dengan harga lumayan seperti kayu Meranti, kayu Kapur, Tengkawang, Ulin, Menggris, dan Bengkirai.


Waspada modus baru korporasi

Kelestarian hutan memiliki konsekuensi berat untuk menjaganya dari kerusakan, masyarakat Dayak Punan memiliki susunan organisasi untuk megantisipasi hal tersebut.

Ada 32 orang yang menjadi penanggung jawab penuh atas keutuhan hutan, ada bidang patroli hutan, bidang kerajinan perempuan, bidang tata air yang memastikan sumber mata air terjaga, sampai bidang budi daya tanaman hutan gaharu.

‘’Bicara ekonomi, mungkin masyarakat Dayak Punan belum mendapat banyak hasil, tapi ketika saat ini semua kesulitan survive akibat pandemic Covid-19, masyarakat Punan tidak ada yang kesulitan kerja atau berfikir kekurangan makanan, hutan menyediakan itu semua,’’kata Niko.

Namun jika berbicara insentif, dayak Punan akan segera menerima rupiah dari manfaat hutan Punan Adiu yang terbukti mampu mengurangi emisi karbon hingga 54.000 ton karbondioksida pertahun berdasar asumsi perhitungan oleh ADB tahun 2017.

Incar dan rayu anak muda Punan yang merantau

Lebih jauh, Niko mengatakan saat ini korporasi masih belum menyerah untuk menggarap hutan Adat Punan Adiu, Niko mengatakan, saat ini banyak anak anak Punan yang merantau, tengah diincar dan dirayu agar ketika pulang mereka bisa meyakinkan orang tuanya untuk menjual lahannya.

‘’Itu yang kita waspadai, ada modus baru kurir korporasi yang mengiming imingi generasi Punan yang ke kota, mari kita berharap prinsip mereka tidak terkikis karena menyangkut masa depan Punan, jangan sampai mereka jadi agen korporasi.’’katanya.

Masih kata Niko, luas hutan Malinau sekitar 3,9 juta hektar, termasuk sekitar 1,2 juta hektar yang merupakan taman nasional Kayan Mentarang. LP3M memiliki obsesi untuk mengamankan 500.000 hektar.

Mimpi tersebut sudah dipetakan. Ada 15 komunitas adat yang akan diusahakan menggarap hutan dengan total luasan tersebut.

Terbukti baru baru ini ada pleno penetapan hutan adat untuk Dayak Habai dengan luasan sekitar 64.000 hektar, juga hutan adat Dayak Merap/Kayan, seluas 12.000 hektar.

‘’Jadi nanti skemanya seperti Dayak Punan, ancamannya sama yaitu eksploitasi batu bara dan perkebunan kelapa sawit, harus ada control dari pusat, demi terjaganya ekosistem, keseimbangan alam, ketersediaan mata air dan kelangsungan generasi.’’tuntasnya.

https://regional.kompas.com/read/2020/12/23/06423531/raih-kalpataru-2020-bukti-kukuhnya-masyarakat-dayak-punan-menjaga-hutan-adat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke