Regina tercatat sebagai warga Kampung Rada Loko, Desa Mali lha, Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Selama delapan tahun, Regita merawat Dominggus yang lumpuh tanpa sebab. Sementara anak keduanya, Ferdianus Bali Mema (15), juga tak bisa berjalan sejak tiga bulan terakhir.
Regita mengasuh kedua anaknya seorang diri sejak sang suami pergi tujuh tahun yang lalu.
"Karena anak saya sudah meninggal begitu. (Saya) selalu ingat sama dia. Saya kepikiran setiap hari. Hidup ini tidak ada harapan lagi," kata Regina saat dihubungi Kompas.com, Senin (14/12/2020).
Gubuk tersebut nyaris tak memiliki dinding. Hanya ada beberapa lembar papan berukuran kecil yang lapuk ditempel menjadi dinding darurat.
Di beberapa bagian lain, Regina menggantungkan kain sebagai pengganti dinding rumah.
Untuk tidur, Regina dan dua anaknya tidur beralaskan bambu dalam kelambu sehingga kedinginan saat malam. Saat hujan, gubuk mereka bocor karena bagian atapnya rusak.
"Bocor. Itu kalau hujan, basah. Rasa dingin. Pokoknya tidak nyaman kalau hujan pada malam. Tidak bisa keluar dari rumah lagi. Tetap bertahan untuk tidur," papar Regina.
Untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, Regina bekerja di kebun dan menenun kain. Selain itu, ia memelihara ayam meskipun jumlahnya tak banyak.
Regina tak bisa berbahasa Indonesia. Dibantu penerjemah, Lukas Loghe Kaka (27), Regina bercerita bahwa anak pertamanya, Dominggus, mulai sakit-sakitan sejak umur 10 tahun.
Saat itu Dominggus masih kelas duduk di kelas 2 SD.
Setelah itu ia tak bisa berjalan dan selama delapan tahun lumpuh hingga meninggal dunia pada Kamis (10/12/2020).
Kelumpuhan membuat badan Dominggus sangat kurus dan tinggal kulit pembungkus tulang.
Regina mengaku pernah membawa anak sulungnya ke Weetabula, tetapi tak ada pemeriksaan
Selain itu, Dominggus juga tak pernah dibawa ke puskesmas sehingga tidak ada diagnosis dari otoritas medis terkait penyakit yang diderita Dominggus.
Sementara adik Dominggus, Ferdianus Bali Mema yang lumpuh sejak tiga bulan lalu, kini dirawat di RS Karitas Weetabula, Sumba Barat Daya.
Seperti sang kakak, Ferdianus juga tiba-tiba lumpuh dan tidak bisa berjalan.
"Tiba-tiba saja dia tidak bisa jalan begitu," ujar Regina.
Hal tersebut ia lakukan karena tak punya uang untuk memenuhi kebutuhan harian.
Ia menyebut persediaan beras di dapur tak cukup untuk makan tiga kali sehari.
"Sekali saja, (makan) siang. Itu saja. Malam (dan pagi) tidak ada lagi. Kalau lauknya daun ubi (singkong)," ujar Regina kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Senin (14/12/2020)
Di gubuk tersebut, Regina tak memiliki banyak barang. Ia hanya memiliki satu periuk yang digunakan untuk memasak nasi dan sayur.
Selain itu, mereka juga hanya memiliki piring, gelas, dan sendok sebanyak tiga buah untuk anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut.
"Piring cuma untuk kami bertiga yang tinggal di rumah. Terus gelas, sendok, cuma untuk kami bertiga," ujar Regina.
Menurut Lukas, ada pihak yang membantu biaya perjalanan dan pengobatan Dominggus di Bali.
Namun, Dominggus meninggal setelah beberapa jam berada di ruang perawatan rumah sakit.
"Kan masuknya sore. Malamnya sudah meninggal," kata Lukas saat dihubungi Kompas.com, Senin (14/12/2020).
Lukas menjelaskan, dokter memeriksa dan mendiagnosis Dominggus menderita gizi buruk kronis.
Nyawa Dominggus tak bisa diselamatkan karena tak pernah mendapat pertolongan medis selama ini.
Saat ini, jenazah Dominggus disemayamkan di rumah pamannya karena rumah Regina tak bisa menampung para pelayat.
Berdasarkan kesepakatan keluarga, Dominggus akan dikuburkan di Kampung Rada Loko pada Kamis (17/12/2020).
SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Ignasius Sara | Editor : Dheri Agriesta, David Oliver Purba)
https://regional.kompas.com/read/2020/12/16/10300021/regina-dan-harapan-yang-hilang-sejak-sang-anak-sulung-berpulang