Salin Artikel

Perjuangan Dokter Sriyanto Sembuh Lawan Covid-19, Tak Bisa Menelan dan Batuk Susah Berhenti (2)

Betapa tidak, setelah melalui empat fase yang menyiksa seluruh tubuhnya mulai demam, batuk, kehilangan indra penciuman, hingga tak bisa menelan makanan.

Sriyanto pun dihadapkan pada satu kepasrahan.

Batuknya yang semakin parah karena komorbid penyakit diabetes selama dua tahun terakhir membuatnya hampir menyerah.

Pasalnya beberapa kasusnya sebelumnya, risiko seorang penderita diabetes terinfeksi covid-19 acapkali berujung kematian.

“Saat paranoid itu saya membayangkan warga yang meninggal karena Covid-19 fasenya seperti itu. Soalnya hari ketujuh setelah mau makan batuknya ngekel (makin menjadi). Bahkan semua teman saya yang telepon dan video call merasa heran batuk saya kok tidak bisa dihentikan,” kenang Sriyanto saat dihubungi, Minggu (6/12/2020).

Ketakutan Sriyanto makin menjadi saat ia merasakan tidak bisa menelan makanan ke dalam tenggorokannya.

Apalagi selama hidupnya dia tidak pernah mengalami yang namanya memindahkan makanan dari mulut ke tenggorokan.

Padahal di meja kamar ruang rawatnya sudah disediakan makanan lembut mulai dari pisang, roti dan nasi.

Tidak bisa mengunyah, membuat Sriyanto tidak memiliki pilihan lain selain hanya minum susu dan air manis agar ada asupan ke dalam tubuhnya.

“Tetapi yang membuat saya paranoid itu pas saya tidak bisa menelan itu. Itu saya sudah paranoid banget. Saya seumur–umur tidak pernah mengalami yang namanya memindah makanan dari mulut ke tenggorokan dan baru kali ini,” tandas Sriyanto.

Meski demikian, dia tidak merasa sesak napas seperti pasien Covid-19 lainnya.

Hanya saja lantaran batuknya yang susah berhenti membuat dirinya tidak nyaman bernafas normal.


Dia mulai merasakan nyeri di bagian dada. Batuk-batuk itu rupanya membuat otot dan tulang menjadi kecapekan. Apalagi terasa dihentak.

Di tengah kepasrahannya pada Sang Maha Pencipta, malam itu, Sriyanto seperti mendapatkan mukjizat.

Dua kantong plasma pesanan untuk mengobati kegawatan yang melanda tubuhnya datang dari Jakarta.

“Jadi saya pas banget dapat obat. Saya tidak bisa membayangkan tidak mendapatkan Tocilizumab dan plasma dengan posisi dua hari tidak makan bisa makin memburuk. Sehari saja saya rasakan sangat tidak enak. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kalau hal itu terjadi hingga tiga hari,” kata Sriyanto.

Satu kantong plasma diinjeksikan ke tubuhnya malam itu. Tak hanya itu, dia meminta disuntik Tocilizumab agar aneka keluhan yang menyerang tubuhnya segera mereda.

Menakjubkan, enam jam setelah diinjeksi plasma yang berasal dari pasien sembuh Covid-19 dan suntikan Tocilizumab dirinya mulai merasakan sesuatu yang sangat berbeda pada tubuhnya.

Dia mencoba memakan pisang yang berada di meja ruang perawatan pun tak lagi mengalami hambatan.

Padahal sebelum disuntik, Sriyanto sama sekali tidak bisa menelan. Semuanya saat itu begitu keras untuk masuk dikunyah di mulut hingga membuatnya putus asa.

Pagi harinya (hari kedelapan), Sriyanto kembali mendapatkan injeksi plasma kedua kalinya setelah reaksi injeksi pertama berdampak positif bagi perkembangan kesehatan tubuhnya.

“Saat diinjeksi yang kedua saya tertidur selama 12 jam. Seharian itu saya hanya tertidur. Begitu terbangun, badan terasa lebih ringan dan segar. Batuk juga sudah berkurang banyak dan demam perlahan menurun,” ungkap Sriyanto.

Memasuki hari kesembilan, demam pada tubuh sudah menghilang. Suhu tubuhnya pun kembali normal meskipun Sriyanto tidak lagi menelan obat penurun panas.

Batuknya yang dahsyat sebelumnya juga berkurang hingga 75 persen. Saat itu dia merasakan badannya kembali normal hingga membuatnya hatinya bahagia.

“Hari kesembilan saya seperti sudah melewati masa-masa kritis dimana sebelumnya harus beradu pertarungan antara hidup dan mati. Di hari itu saya sudah bisa merasakan nikmatnya mengunyah nasi dan tidak sekeras lagi seperti kemarin,” kata Sriyanto.


Dia pun bersyukur lantaran anaknya semata wayang yang dirawat di rumah sakit tidak mengalami aneka sakit yang dirasakannya.

Kondisi anaknya yang masih berumur remaja sekitar 17 tahun membuat anaknya hanya mengalami gejala ringan saja.

“Sebelumnya saya sudah sakit diabetes melitus (DM) selama dua tahun. Selain itu bisa jadi virus di tubuh saya lebih banyak karena setiap hari saya di rumah sakit,” ungkap Sriyanto.

Saat ini, kondisi Sriyanto sudah membaik dan sedang masa pemulihan. Begitu pula dengan anak semata wayang sudah dinyatakan sembuh dari Covid-19.

Namun, sedihnya kondisi ayah mertua tak dapat tertolong. Almarhum meninggal Sabtu (21/11/2020) lalu dan dimakamkan secara protokol kesehatan covid-19.

Saat mendengar kabar duka itu, Sriyanto masih berada di ruang isolasi. Saat itu sepertinya semua kesusahan melanda hidupnya.

Serentetan kesusahan dialaminya mulai demam tinggi, tak bisa menelan makanan, demam tinggi, batuk parah, anak diisolasi dan akhirnya mertua meninggal.

Meski didera masalah bertubi-tubi, Sriyanto berusaha tegar dan tidak mau menyerah. Tak mau larut, dia bangkit dan akhirnya sembuh dari penyakit ini.

“Tekad itu saya tanamkan kuat dalam hati karena saya masih ingin hidup untuk menambah amal shalih. Bekal saya belum cukup untuk pulang ke negeri keabadian,” ujar Sriyanto.

Terhadap peristiwa itu, Sriyanto mendapatkan pelajaran berharga bagi hidupnya. Meski kondisi kritis, semuanya tetap harus dipercayakan pengobatan kepada medis.

Apalagi obat medis sudah teruji. Sedangkan pengobatan alternatif baru sebatas coba-coba.

Selain itu doa doa yang tulus serta perhatian dari orang sekeliling sangat membantu percepatan pengobatan.

Untuk itu jangan pernah lelah memberikan perhatian dan doa untuk mereka yang sedang sakit.

“Sungguh pelukan doa dari orang-orang terkasih begitu berharga,” ungkap Sriyanto.

https://regional.kompas.com/read/2020/12/07/16095601/perjuangan-dokter-sriyanto-sembuh-lawan-covid-19-tak-bisa-menelan-dan-batuk

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke