Salin Artikel

Cerita Berta 11 Tahun Jadi Guru Honorer, Jalan Kaki Susuri Hutan ke Sekolah dan Dipinjami Pondok oleh Warga

Sekolah di pinggir Samarinda bersebelahan dengan Desa Bangunrejo, Kecamatan Tenggaron Sebrang, Kutai Kartanegara. Sebagian besar kawasan itu masih hutan.

Selama 11 tahun, Berta menyusuri hutan menaiki bukit dan menuruni lembah untuk berangkat ke sekolah yang berjarak 5 kilometer dari rumahnya.

Namun, saat ini ia tinggal di rumah pondok kayu yang dipinjami warga yang kasihan melihat Berta menempuh perjalanan 10 kilometer setiap hari.

Di rumah yang lama, Berta terbiasa bangun pukul 03.30 Wita. Ia kemudian ke dapur dan menyiapkan bekal yang akan dibawa ke sekolah serta sarapan dan makan siang suami dan anaknya.

Berta meninggalkan rumah sekitar pukul 04.30 Wita saat sang suami, Yusuf, masih beristirahat. Biasanya Yusuf bangun tidur pukul 06.00 Wita.

Sambil menenteng tas kecil dan kotak bekal, ibu satu anak ini berjalan kaki membelah kesunyian.

Sebelum menjadi guru, ia bekerja di salah satu perusahaan kayu di Samarinda. Namun, pada tahun 2005, perusahaan itu tutup dan karyawan dirumahkan, termasuk Berta.

Ia pun menganggur dan sang suami bekerja sebagai buruh bangunan.

Mereka tak lagi bisa membayar kontrakan di Samarinda. Pasangan suami istri itu kemudian pindah ke kebun di Kampung Berambai.

“Daripada bayar kontrakan, kami pindah ke kebun di sini (dekat Kampung Berambai). Kebetulan ada ipar yang juga berkebun di sini. Dia panggil kami ke sini,” kenang Berta.

Selama empat tahun, Berta membantu suaminya mengurus kebun. Pada tahun 2009, dia mendengar kabar bahwa SD yang terletak di Kampung Berambai butuh tenaga pengajar.

Walaupun jaraknya jauh, ia tetap melamar dan diterima sebagai pengajar. Gaji pertama, ia mendapatkan uang Rp 150.000 per bulan.

Dua tahun kemudian gaji yang diterimanya naik menjadi Rp 400.000.

“Sampai sekarang gaji saya Rp 1 juta per bulan,” tutur wanita asal Toraja, Sulawesi Selatan, ini.

Berta mengaku, gajinya tak mencukupi kebutuhan hidup keluarga, apalagi biaya sekolah anak. Ia pun mencari penghasilan tambahan dengan menjual hasil kebun di pasar malam.

“Setiap malam Senin saya jualan sayur, ubi-ubian, pisang, lombok di pasar malam di Desa Bangun Rejo (desa tetangga). Kalau makan ada saja, enggak ada beras bisa makan ubi, tapi biaya anak sekolah ini agak sulit,” keluhnya.

Kondisi ini dipersulit sejak ada pandemi Covid-19 dan pasar malam pun ditutup.

Terpaksa ia harus menjual hasil kebun ke sejumlah pasar tradisional di Samarinda dan Tenggarong.

“Yang kami sulit itu menyekolahkan anak-anak. Kalau makan, apa saja bisa kami makan dari hasil kebun,” tuturnya.

Kendati dengan kisah sedihnya, Berta tak berharap belas kasihan. Ia mengaku ikhlas menjalani profesinya sebagai guru demi mencerdaskan generasi bangsa.

Setelah melewati kebun, ia memasuki kawasan tanpa hutan. Kiri kanan jalan hanya terlihat rerumputan dan pepohonan.

Suasana sepi, hanya terdengar suara burung dan nyanyian hutan. Sesekali ia melewati jalur menanjak, menuruni bukit, dan melintasi bebatuan.

“Kalau tidak hati-hati, bisa jatuh,” Berta mengingatkan saat kami menanjaki jalan berbukit.

Ketika hujan, kata Berta, jalan tanah ini licin dan lengket.

Biasanya, ia menggunakan payung ke sekolah ketika hujan. Tak jarang, Berta menemui ular kobra, monyet, bahkan orangutan.

“Monyet paling sering ketemu. Orangutan dan ular jarang-jarang, tapi ular di sini rata-rata berbahaya, ular kobra. Tapi, syukur sejauh ini saya aman saja,” harap Berta.

Awal mengajar pada 2009, Berta jalan kaki bersama anaknya, Emanuel. Saat itu Emanuel masih berusia lima tahun.

Tiap pagi Berta membawanya ke sekolah. Keduanya menyusuri jalan sejauh 5 kilometer ini sampai sang anak masuk SD hingga lulus di sekolah itu.

Kini, Emanuel sudah duduk di bangku SMK dan pindah tinggal di Samarinda bersama tante atau adik Berta.

Karena itu, hanya Berta seorang diri yang kini masih bolak-balik dari rumah ke sekolah.

Menuju sekolah, Berta mengaku butuh waktu satu setengah sampai dua jam jalan kaki. Ia biasanya berangkat dari rumah pukul 04.30 Wita dan tiba di sekolah pukul 07.30 Wita.

Selesai mengajar, Berta pulang sekitar pukul 12.00 Wita atau 13.00 Wita. Ia akan tiba di rumahnya sekitar pukul 16.00 Wita sampai 17.00 Wita.

Bekal nasi yang ia bawa kadang dimakan langsung di sekolah setelah jam pulang.

“Kalau jalan sudah terlalu capek kadang lapar, saya makan di perjalanan. Istirahat sebentar makan dulu, baru lanjut jalan lagi,” tutur Berta.

“Karena jalan siang itu lebih cepat capek ketimbang pagi hari. Karena itu, sampai rumah agak lambat,” kata Berta.

Begitu tiba di rumah, Berta mengaku langsung tertidur karena lelah. Ia sudah tak sempat membantu suami di kebun ataupun mengurusi dapur.

“Setelah bangun baru masak-masak,” ucap Berta.

Tak ada listrik di rumah ini, keduanya menggunakan penerangan lampu pelita di malam hari.

“Sebenarnya masih jauh juga, tapi daripada lima kilo, lebih baik satu kilo lebih," tutur Berta. Pondok yang kini ditempati Berta bersama suaminya terbuat dari kayu.

Tampak banyak anjing peliharaan yang menjadi penjaga pondok.

Suami Berta membuka kebun ubi-ubian di sekitar pondok. Menuju pondok ini, Berta masih menyusuri jalan yang sama, tetapi lebih dekat dari jarak sebelumnya.

Dia memotong jalan melintasi bukit bebatuan, menuruni tanjakan, dan melintasi beberapa kebun warga.

“Di tempat yang batu-batu itu ada ular. Sepertinya berada di lubang-lubang batu. Saya pernah lihat besar sekali. Saya paling takut lewat di situ, tapi itu cuma-cuma satu-satunya jalan,” terang Berta.

Beratnya medan ini kadang membuat Berta putus asa. Berta mengaku sempat terlintas di benaknya ingin berhenti mengajar dan fokus membantu suami menjual hasil kebun di pasar.

Namun, saat membayangkan wajah anak muridnya, Berta kembali luluh. Ia tak tega meninggalkan anak-anak di sekolah tersebut.

“Saya kadang capek jalan kaki. Makin tua, sudah tidak kuat lagi, saya hampir menyerah, tapi kasihan anak-anak,” kenang Berta.

Karena alasan itu, Berta bertahan mengajar hingga saat ini, meski tiap hari harus berjalan kaki menuju sekolah.

Jumlah murid tiga kelas ini tujuh orang, yang terdiri dari kelas I tiga orang, kelas II satu orang, dan kelas III tiga orang. Murid tiga kelas ini digabung dalam satu ruang kelas dan Berta ditunjuk sebagai wali kelas.

Sementara itu, tiga kelas lainnya, yaitu IV, V, dan VI, wali kelasnya adalah Herpina (27). Sekolah ini hanya punya dua guru honor, yakni Berta dan Herpina, dengan jumlah 17 murid.

Karena gedung sekolah hanya punya dua ruang kelas, masing-masing ruang ditempati tiga kelas.

Tempat duduk para murid dipisah berdasarkan tingkatan kelas.

Melihat kondisi sekolah tempat Berta mengajar jauh dari kesan layak. Terlihat seng atap ruang kelas yang penuh karat ditambah keramik dan fondasi bagian belakang gedung yang sudah retak.

Bangunan berusia 25 tahun ini jadi satu-satunya bangunan beton di kampung ini.

Sekolah ini induknya di SDN 004 di Kota Samarinda. SD Filial dibangun Pemkot Samarinda untuk kegiatan belajar mengajar anak-anak di kampung ini. Sebab, letak kampungnya jauh dari sarana pendidikan.

Jarak Samarinda menuju kampung ini sekitar 25 kilometer.

Kampung yang dihuni sejak 1982 memiliki luas sekitar 11 hektar. Kini, sudah ada 64 kepala keluarga yang bermukim di kampung ini yang rata-rata berprofesi bertani dan berkebun.

Tahun 2000-an, Pemkot Samarinda memasukkan kampung jadi wilayah administrasi Samarinda karena beberapa RT dinilai lebih dekat. Pemkot Samarinda juga membuka jalan penghubung menuju kampung ini dari Samarinda melewati jalur Batu Besaung.

Namun, belakangan proyek semenisasi jalan disetop dan muncul tarik ulur perebutan wilayah dengan Pemkab Kutai Kertanegara.

Konflik berakhir pada 2012 setelah Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak kala itu mengeluarkan SK Nomor 136/590/BKPW-C/I/2012 tentang kepemilikan wilayah oleh Pemkab Kutai Kartanegara.

Keputusan ini memberi konsekuensi nasib SDN Filial. Aset gedung sekolah dipunyai oleh Pemkot Samarinda, tetapi lahan milik Pemkab Kutai Kertanegara.

Sampai saat ini kasus itu masih menggantung. Pemkot Samarinda mengaku khawatir perbaikan gedung sekolah karena aset berdiri di lahan Pemkab Kukar.

Terlepas dari polemik kepemilikan lahan, letak sekolah yang jauh dan akses masuk yang sulit membuat guru-guru yang mengajar di sekolah ini tidak bertahan lama.

Berta mengaku, ia tak bisa berharap banyak dari pemerintah soal peningkatan status.

“Mau tes PNS umur sudah tua. Tidak ada kesempatan lagi, jadi jalani saja saat ini,” ungkap Berta pasrah.

SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Zakarias Demon Daton | Editor: Dony Aprian)

https://regional.kompas.com/read/2020/11/25/13550051/cerita-berta-11-tahun-jadi-guru-honorer-jalan-kaki-susuri-hutan-ke-sekolah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke