Salin Artikel

"Jadi Guru Honorer Itu Banyak Membatin, Tidak Tahan kalau Bukan Panggilan Jiwa"

Suara tersebut berasal dari Heru Subiantoro (51), guru SMK Negeri 1 Cimahi, Jawa Barat.

Ia tak bisa menahan tangis saat mendapat kabar surat keputusan (SK) Penetapan Penugasan Guru Non-PNS untuk tingkat SMA, SMK, dan SLB yang dikeluarkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, beberapa waktu lalu.

SK tersebut mendekatkan guru honorer seperti dirinya untuk mendapatkan dana tambahan Rp 1,5 juta per bulan.

“Saya menangis saat menelepon kolega saya karena terharu. SK itu buah perjuangan,” ujar Heru saat dihubungi Kompas.com pada September 2020.

Namun, bukan berarti perjuangan sudah berakhir.

Sebab, SK gubernur tersebut hanya salah satu syarat agar para guru non-PNS bersertifikat pendidik ini mendapatkan tunjangan profesi dari pusat sebesar Rp 1,5 juta per bulan.

Heru berjuang mendapatkan tunjangan profesi tersebut karena terdesak kebutuhan.

Sejak memutuskan keluar dari pekerjaannya di perusahaan swasta dan menjadi guru honorer pada 2008, kehidupannya penuh perjuangan.

“Dulu memilih jadi guru karena panggilan jiwa,” tutur Heru.

Heru menceritakan perjalanan hidupnya sebagai guru honorer.

Ia beberapa kali pindah induk sekolah antara sekolah negeri dan swasta untuk mendapatkan tunjangan yang lebih baik.



Bertahan dengan gaji kecil

Menurut Heru, apabila mengandalkan gaji honor sangat kecil.

Tahun 2008, gaji honornya hanya Rp 500.000 per bulan, ditambah uang transportasi Rp 10.000 per hari.

Saat ini, pada 2020, gaji honorernya hanya Rp 800.000 per bulan.

Itu sebabnya ia mengejar sertifikasi dengan berpindah-pindah induk sekolah, karena terbentur jumlah jam mengajar.

Hingga akhirnya ia mendapat honorarium Rp 2.040.000 per bulan dari provinsi.

“Jadi guru honor itu tidak enak, sering dikesampingkan. Banyak membatin. Kalau bukan panggilan jiwa, enggak akan bertahan lama,” ungkap Heru.

Contohnya, di sekolah negeri tempatnya menginduk, ia hanya mendapat sedikit jam pelajaran.

Setiap dua hari per minggu, dari pagi sampai pukul 10.00 WIB.

Untuk memenuhi persyaratan jam mengajar, ia akhirnya mengajar di sekolah swasta.

Belum lagi kebutuhan ekonomi keluarga yang terus meningkat, seiring pendidikan anaknya yang semakin tinggi.

Hingga kini, ia bahkan belum bisa memutuskan apakah anak terbesarnya akan melanjutkan ke perguruan tinggi atau bekerja, karena keterbatasan ekonomi.

“Sampai sekarang saya masih nebeng di rumah mertua. Ke sekolah juga pakai motor. Kalau ada guru honorer pakai mobil, itu biasanya suami istri bekerja. Kalau kayak saya, pakai motor saja,” ucap dia.

Bahkan untuk keperluan mengajar online, pada semester sebelumnya ia kerap menumpang di tempat temannya yang memasang wifi.

Sebab, jika ia memaksakan diri menggunakan kuota internet, biayanya terlalu besar dan koneksinya sering terputus.

“Kalau sekarang sudah pasang wifi di rumah. Untuk bayarnya, nanti saya cari,” kata Heru sambil tertawa.



Seleksi PPPK

Beberapa waktu lalu, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim mengumumkan kesempatan bagi guru honorer untuk mendaftar dan mengukuti ujian seleksi menjadi guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) pada 2021.

Seleksi ini terbuka bagi guru honorer yang terdaftar di Data Pokok Pendidikan (Dapodik), serta lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang saat ini tidak mengajar.

Heru memastikan bahwa dia akan mengikuti PPPK tersebut, walaupun tidak mudah juga baginya, karena persyaratannya banyak.

“Sekarang kendalanya verifikasi dan validasi (verval) ijazah belum bisa. Kenapa tidak langsung ASN saja, karena guru honorer sudah banyak yang tua, termasuk Bapak. Seharusnya pemerintah jangan mempersulit untuk pengangkatan, terutama yang sudah berumur,” tutur Heru.

Heru menilai, pemerintah seperti setengah hati.

Sebab, untuk orang yang berumur seperti dirinya, menjadi serba salah ketika PPPK membutuhkan banyak persyaratan yang harus dipenuhi.

“Apalagi sekarang sekolah banyak guru yang pensiun, malah menerima CPNS yang rata-rata baru lulus, jadi belum pengalaman untuk mengajar yang produktif,” kata dia.

Pemerintah, menurut Heru, tidak mengerti kondisi di lapangan.

Untuk mendidik guru baru, perlu proses empat sampai lima tahun. Sedangkan guru honorer yang sudah ada malah dipersulit.

“Contoh Bapak, punya sertifikasi, sudah ngajar lebih dari 10 tahun, umur sudah 51 tahun, mengerikan. Masak pemerintah tidak peduli orang kayak Bapak. Mudah-mudahan saja semua mendoakan Bapak bisa lolos PPPK sekaligus ASN, karena tinggal hitungan tahun Bapak sudah 60 tahun,” kata Heru.

https://regional.kompas.com/read/2020/11/25/10353541/jadi-guru-honorer-itu-banyak-membatin-tidak-tahan-kalau-bukan-panggilan-jiwa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke