Salin Artikel

Tak Ada Listrik dan Internet, Ini Kisah Anak-anak Suku Talang Mamak Belajar Saat Pandemi

Di perkotaan misalnya, anak-anak dengan gampang belajar dalam jaringan (daring). Dari rumah saja, mereka belajar dengan modal handphone dan jaringan internet.

Tapi bagaimana dengan nasib anak-anak Suku Talang Mamak yang tersebar di beberapa wilayah di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Provinsi Riau.

Mereka hidup di dalam kawasan hutan. Jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Tak punya handphone, tidak ada jaringan internet dan telpon. Begitu juga dengan cahaya listrik belum ada.

Akses jalan menuju sekolah jelek

Senin (2/11/2020) pekan lalu, Kompas.com berkunjung ke salah satu sekolah, yaitu Sekolah Dasar Negeri (SDN) 028 di Desa Talang Sungai Limau, Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Inhu.

Untuk sampai ke sekolah ini, dari Kota Pekanbaru menempuh perjalanan sekitar enam jam dengan kendaraan roda empat.

Kendaraan untuk memasuki kampung orang yang mengasingkan diri dalam hutan ini, harus mobil double cabin. Kalau tidak pakai sepeda motor.

Pasalnya, akses yang ditempuh jalan tanah kuning. Berlumpur di kala hujan, berdebu saat musim panas.

Dari permukiman warga biasa, ada sedikit jalan yang sudah beraspal. Namun, banyak lubang yang dalam yang harus dihindari.

Kiri dan kanan jalan hamparan kebun sawit dan karet.

Diminta antar tugas ke sekolah

Jam 09.30 WIB, Kompas.com sampai ke SDN 028. Letak sekolah ini di pinggir jalan. Sekelilingnya hutan.

Anak-anak tampak sedang bermain di halaman dan duduk-duduk di teras sekolahnya.

Semuanya pakai seragam sekolah merah putih. Murid laki-laki ada yang main bola kaki dan main tanah, sedangkan murid perempuan main jungkat jungkit dan kain karet.

Di sekolah juga disediakan tempat mencuci tangan untuk mencegah Covid-19. Mereka juga wajib memakai masker ke sekolah.

Mereka ketika itu tidak sedang belajar. Karena sistem belajar di tengah pandemi Covid-19, murid hanya diminta mengantar tugas ke sekolah setiap hari Senin.

Jarak rumah mereka dari sekolah bervariasi, ada yang jauh dan ada pula yang dekat. Sebab, anak-anak pedalaman ini tinggal secara terpencar-pencar di dalam hutan.

Andra Brekbon salah satunya. Bocah 10 tahun ini jalan kaki lebih kurang dua kilometer untuk pergi menuntut ilmu ke sekolahnya.

"Biasanya saya jam enam pagi sudah berangkat dari rumah. Sampai ke sekolah jam tujuh pagi," kata Andra saat diwawancarai Kompas.com.

Ia mengaku pergi ke sekolah tidak seorang diri, tapi pergi berombongan.

Rumah Andra lebih dekat dari sekolah dibandingkan rumah teman-temannya. Sehingga, ia menunggu temannya terlebih dahulu sebelum berangkat ke sekolah.

"Saya tunggu teman-temannya dulu. Biasanya kami 12 orang satu rombongan. Kami ke sekolah jalan kaki," ujar Andra.

Ia dan teman-temannya tak jarang melepas sepatu pergi sekolah. Karena, mereka menempuh jalan tanah berlumpur disaat musim hujan dan juga melewati anak sungai.

Saban hari, cerita Andra, ia dan teman-temannya bertemu dengan seekor ular berukuran besar melintang di jalan. Mereka tak begitu ketakutan, karena sudah biasa melihat hewan buas di hutan.

Waktu itu ia pergi ke sekolah melewati jalan pintas dalam hutan dengan kayu-kayu yang besar.

"Waktu itu musim hujan jalan banyak lumpur, jadi kami lewat jalan pintas dalam hutan. Kami kaget ketemu ular besar. Kami tak berani lewat sebelum ular itu pergi," cerita Andra.

Kalau ada uang jajan kami bersyukur, kalau tidak tak mengapa

Rata-rata anak Suku Talang Mamak pergi ke sekolah berjalan kaki. Hanya beberapa orang saja yang diantar orangtuanya ke sekolah dengan menggunakan sepeda motor atau sepeda dayung.

"Orangtua kami pagi-pagi sudah pergi kerja. Ada yang menyadap karet dan kerja di kebun sawit orang," sebut murid kelas empat SD ini.

Saat ditanya soal uang jajan ke sekolah, Andra mengaku cuma sesekali dikasih uang sama ayah dan ibunya.

Setiap ke sekolah, ia kadang membawa uang Rp 2.000 buat belanja di kantin depan sekolah.

"Ya, orangtua kami di sini banyak kurang mampu. Kerja cuma bertani dan cari ikan. Kalau ada uang jajan kami bersyukur, tapi kalau tidak ada tak apa-apa," ujar Andra.

Anak-anak tak bisa belajar dari jarak jauh. Karena, di kawasan tempat tinggal Suku Talang Mamak tidak ada yang namanya internet.

"Selama ada virus corona ini kami cuma disuruh sama guru antar tugas ke sekolah. Datang jam tujuh, jam 10 kami pagi kami sudah pulang," ujar Andra Brekbon.

Tak terbayangkan oleh Andra betapa enaknya belajar dari jarak jauh dengan menggunakan gadget. Belajar dari rumah dengan mengakses internet.

Karena, dia dan teman-temannya belum tahu apa itu internet.

"Kami tidak tahu apa itu internet. Kalau telepon kami tahu. Yang tua-tua di tempat kami sudah ada yang sudah punya. Tapi, kalau mau nelpon harus pergi jauh keluar dari hutan, karena jaringan telepon juga tidak ada," tutur Andra.

Mulai dari Selasa sampai Jumat, Andra dan murid lainnya belajar di rumah. Sedangkan Sabtu dan Minggu, mereka dibawa oleh orangtuanya bekerja bertani.

Mereka rata-rata tinggal di dalam hutan dengan rumah kayu yang dibuat setinggi dua sampai tiga meter.

Belajar di rumah, kata Reno (12), tak seenak dengan anak-anak yang tinggal di desa yang sudah ada listrik.

Murid kelas lima SDN 028 ini, mengaku belajar di rumah hanya diterangi cahaya lampu pelita.

"Penerangan di rumah kami cuma pakai lampu pelita. Belum ada listrik di tempat kami," akui Reno kepada Kompas.com.

Bagi anak-anak Suku Talang Mamak, jarang sekali menonton televisi. Karena di tempat mereka hanya beberapa orang yang punya televisi.

"Kalau kami mau nonton pergi ke rumah orang. Itu pun jaraknya satu sampai dua kilometer. Lewat hutan juta. Di tempat kami ada beberapa orang yang punya televisi, litriknya dari mesin genset," ujar Reno.

Masing-masing anak-anak Suku Talang Mamak memiliki motivasi untuk belajar.

Seperti Reno dan Andra, mengaku rajin belajar untuk membahagiakan kedua orangtuanya.

"Motivasi saya belajar supaya bisa jadi orang sukses dan buat orangtua bahagia," ungkap Andra.

Ia mengaku bercita-cita ingin menjadi seorang dokter. Sedangkan Reno mau jadi polisi.

Mereka berdua berharap impian itu bisa dicapai kelak dengan rajin belajar.

"Walaupun tempat kami tidak internet, tidak listik, jaringan telepon dan jalan tanah, kami tetap semangat bersekolah," ucap Andra.

Semangat belajar tinggi

Dedi Zulhendri, selaku guru kelas tiga SDN 028 Talang Sungai Limau, menilai semangat belajar anak-anak Suku Talang Mamak sangat tinggi.

"Semangat mereka untuk belajar sangat tinggi. Itu saya sangat salut sama mereka," kata Dedi saat diwawancarai Kompas.com.

Ia menuturkan, sistem belajar antar jemput tugas ke sekolah berjalan lebih kurang tiga bulan di masa pandemi Covid-19.

Pada awal pandemi, murid diminta datang belajar sekolah setiap hari, masuk jam 08.00 dan pulang jam 10.00 WIB. Sedangkan guru masuk dari Senin sampai Rabu.

Namun, sistem tersebut tidak efektif. Selain jarak tempuh anak-anak yang jauh, murid juga jarang datang semuanya ke sekolah.

"Rumah mereka kan jauh-jauh di dalam hutan. Kadang cuma datang separoh," sebut Dedi.

Karena itu, pihaknya menerapkan sistem belajar antar jemput tugas ke sekolah. Menurut Dedi, sistem ini lebih efektif dan efisien.

"Di sini kami kan tidak ada internet, tidak bisa belajar daring. Jadi, anak-anak cuma masuk sekali seminggu, yaitu hari senin antar jemput tugas," kata Dedi.

Dedi Zulhendri sendiri mengaku sudah delapan tahun mengajar di SDN 028. Di sekolahnya itu, kini terdapat 13 orang guru.

Pahit manisnya ia telan selama mengajari anak-anak Suku Talang Mamak.

Tiap ajaran baru, guru yang jemput calon murid

Setiap ajaran baru, kata dia, para guru datang ke rumah-rumah menjemput anak Suku Talang Mamak untuk sekolah.

Dedi menceritakan, pada tahun 2004, SD 028 masih memiliki tiga ruang belajar terbuat dari kayu.

Anak-anak waktu itu dijemput ke rumahnya agar mau dididik.

"Kami jemput anak-anak ke rumah. Mau baju bebas, tak pakai sepatu ke sekolah terserah. Yang penting mereka mau sekolah. Bahkan dulu itu ada murid kita yang sudah berjenggot," kata Dedi seraya tertawa.

Ia menempuh tantangan yang berat, agar anak-anak Suku Talang Mamak menikmati pendidikan. Dedi rela setiap hari menempuh jalan tanah dengan menggunakan sepeda motor.

Bagaimana tidak, bagi warga Suku Talang Mamak, waktu itu sekolah tidaklah menjadi prioritas.

Mereka kalau punya anak, rata-rata dibawa bekerja ke kebun, cari ikan atau aktivitas lainnya di dalam hutan.

"Warga Suku Talang Mamak ini sudah terbiasa berkebun, ladang padi. Jadi  anak-anak dibawa kerja. Itu kalau sudah tamat SD, tidak mau menyekolahkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi," cerita Dedi.


Didukung Pertamina

Warga Suku Talang Mamak sudah ada kemajuan mengenai dunia pendidikan.

Sejak dibantu program CSR Pertamina EP Asset 1 Lirik, pendidikan SDN 028 sekarang jauh lebih maju.

Dikatakan Dedi, SDN 028 dulu namanya SD 019. Namun, pada tahun 2013, pihak pertamina membangun sekolah tersebut menjadi permanen. Lengkap enam ruang belajar.

Sama seperti sekolah dasar yang ada di daerah yang sudah maju. Ada arena bermain, musalah dan perpustakaan. Tapi jaringan internet dan listri masih belum ada.

Lalu, tahun 2017 sekolah dasar tersebut diangkat menjadi sekolah negeri.

Sejak itulah, anak-anak Suku Talang Mamak di Desa Talang Sungai Limau makin bersemangat untuk sekolah.

Para guru juga rutin mendatangi warga Suku Talang Mamak untuk memberikan pandangan dan pemahaman soal pendidikan.

"Alhamdulillah, sekarang para orangtua mereka sudah mulai mengerti dan 90 persen mendukung anaknya sekolah lebih tinggi. Yang 10 persennya masih kami upayakan," ucap Dedi.

Ia pun mengaku sangat bangga melihat tingginya semangat belajar anak Suku Talang Mamak saat ini.

Bahkan, menurut Dedi, anak Suku Talang Mamak lebih cepat menangkap saat diberikan pelajaran. Ketimbang anak yang belajar dengan menggunakan teknologi.

"Mereka betah belajar di sekolah. Cepat nangkapnya. Misalnya waktu belajar agama, saya suruh hafal ayat pendek cepat hafalnya. Mereka memang belum mengerti tentang IT (ilmu teknologi). Beda dengan anak yang sudah kenal televisi dan gadget. Anak saya saja di rumah suruh belajar kadang lebih mau main game di handphone," ujar Dedi.

Sementara itu, Dian Tri Agustin, selaku  Community Development Officer Pertamina EP Asset 1 Lirik menjelaskan, pembangunan SDN 028 Talang Sungai Limau merupakan bantuan dari Program CSR (corporate social responsibility).

Bagi perusahaan plat merah yang beroperasi di Kecamatan Lirik, Kabupaten Inhu, ini pendidikan merupakan modal untuk kemajuan bangsa. Pendidikan juga hak dasar bagi setiap warga negara.

"Pertamina EP Asset 1 Lirik sebagai perusahaan yang berkomitmen terhadap lingkungan dan sosial. Komitmen inilah yang menggerakkan kami untuk melaksanakan tanggung jawab, salah satunya dibidang pendidikan, terutama anak-anak yang tinggal di daerah pedalaman seperti Suku Talang Mamak ini," kata Dian kepada Kompas.com.

Menurut Dian, anak-anak Suku Talang Mamak memang seharusnya dibantu, karena merekalah nantinya yang akan berada di masa depan.

Sejak tahun 2016, Pertamina sudah mulai memfasilitasi sekolah di daerah pedalaman itu. Pertamina juga membuat akses jalan, agar anak-anak mudah menuju sekolah.

"Kami berusaha memfasilitasi sekolah.

Yang paling penting adalah infrastruktur.

Tahun ini kami membuat saluran air bersih, karena di sekolah ini tidak ada sumur. Kemudian, kami juga memasang listik dari panel surya untuk penerangan sekolah," kata Dian.

https://regional.kompas.com/read/2020/11/09/12042451/tak-ada-listrik-dan-internet-ini-kisah-anak-anak-suku-talang-mamak-belajar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke