Salin Artikel

Cerita Psikiater Tangani Pasien Covid-19, dari Pasien Sakit Jiwa Kabur hingga Pakai APD Lengkap

JEMBER, KOMPAS.com – Dr Dewi Prisca Sembiring merupakan dokter spesialis jiwa di Rumah Sakit Daerah (RSD) dr Koesnadi Bondowoso.

Selama pandemi Covid-19, tugasnya bertambah, yakni mengobati pasien Covid-19 yang mengalami depresi.

Tak mudah mengobati pasien Covid-19 yang mengalami depresi. Apalagi, pasien tersebut memang warga yang sakit jiwa.

“Pasien terakhir ini justru pasien sakit jiwa yang terkena Covid-19, agak sulit penanganannya,” kata Dewi, kepada Kompas.com, via telpon Rabu (4/11/2020).

Dia mengatakan, ada dua warga sakit jiwa yang tertular virus coronadi RSD dr Koesnadi, yakni mengalami skizofrenia paranoid.

Pihak rumah sakit sempat kesulitan untuk menempatkan pasien tersebut, sebab ruang isolasi terbatas.

“Pasien pertama dipindah ke ruang isolasi krisan, namun akhirnya pasiennya kabur,” ungkap dia.

Sampai sekarang, pasien tersebut masih belum kembali dan tidak diketahui kondisinya.

Sedangkan pasien kedua juga mengalami skizofrenia yang sudah tidak dikehendaki keluarganya. Pihak keluarga tidak bisa dihubungi sehingga pihak rumah sakit kesulitan.

“Dia sudah sakit sudah lama, namun kontrol tidak teratur sehingga kumat-kumatan,” papar dia.

Dr Dewi menuturkan, awalnya pasien Covid-19 yang masuk ke RS ditangani oleh dokter spesialis paru atau penyakit dalam.

Ketika ada tanda-tanda gangguan jiwa, lalu dikonsultasikan pada dokter psikiater.


Saat itulah, dr Dewi diminta untuk melakukan terapi pada pasien tersebut. Dia memilih bertemu langsung dengan pasien untuk mengetahui kondisi kejiwaan mereka.

Untuk menghindari penularan Covid-19, dr Dewi memakai Alat Pelindung Diri (APD) lengkap.

Caranya dia mendatangi pasien dengan jarak sekitar dua meter. Lalu berbicara dengan pasien sambil berdiri selama 15 menit hingga satu jam.

Sebenarnya, pertemuan dengan pasien Covid-19 hanya dibatasi selama 15 menit. Namun, karena tidak cukup, akhirnya hingga satu jam.

“Tapi rata-rata berdiri sampai satu jam, karena 15 menit tidak cukup,” ujar dia.

Dr Dewi merasakan tantangan melayani pasien Covid-19 lebih berat. Dia harus berdiri dengan memakai baju hazmat yang cukup panas.

Selain itu, juga berbicara cukup lantang agar terdengar.

“Setelah saya datangi, di situ saya dapatkan tanda-tanda gangguan mental,” terang dia.

Mulai dari depresi, cemas, hingga insomnia. Mereka depresi karena selalu terpikir dengan virus corona.

Seperti kenapa tertular, kapan sembuh, khawatir dengan respons tetangga, cemas ketika pulang, apakah masih diterima tetangga atau tidak. Akhirnya mereka kesulitan tidur.

Dia menambahkan, ketika pasien membutuhkan obat, maka dia memberikan resep.

Kalau depresi diberikan obat anti depresi, kalau insomnia diberikan obat anti insomnia untuk membantu mengurangi gejalanya.


“Karena kalau kondisi psikologis menurun, Covid-19 ini semakin sulit disembuhkan,” tutur dia.

Selain itu, juga didampingi dengan psikoterapi, yakni memberikan semangat pada mereka bahwa penyakit ini pasti bisa dilalui.

Pasien yang sudah sembuh juga masih ada trauma dengan Covid-19.

Misalkan mereka teringat pertama kali dijemput menggunakan ambulans.

“Mereka masih trauma mendengar suara ambulans, trauma itu bisa sembuh sekitar dua bulan,” terang dia.

Untuk itu, dr Dewi meminta agar masyarakat tetap menerapkan protokol kesehatan.

Mulai dari memakai masker, cuci tangan, jaga jarak. Selain itu, juga menjaga kesehatan mental karena disana letak imunitas manusia.

https://regional.kompas.com/read/2020/11/04/14540421/cerita-psikiater-tangani-pasien-covid-19-dari-pasien-sakit-jiwa-kabur-hingga

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke