Salin Artikel

Kisah Tenun Cual Khas Bangka, Meredup karena Perang Dunia

Tidak hanya di Eropa, tapi juga berdampak pada daerah-daerah koloni.

Di Kota Muntok, Bangka Barat, Kepulauan Bangka Belitung, suplai kain sutra dari daratan Tiongkok dan benang emas India ikut terhenti.

Kapal dagang tak berlayar karena adanya blokade dan kekhawatiran adanya sabotase.

Selain itu, industri sipil dan para pekerja banyak yang dialihkan untuk kepentingan militer.

"Selama perang dunia pertama, pengrajin di Muntok tak bisa lagi membuat tenun cual, karena ketika itu tenunan berasal dari bahan-bahan pilihan yang didatangkan dari luar," kata Isnawati, salah seorang pewaris tradisi tenun cual, saat berbincang dengan Kompas.com di Pangkalpinang, Rabu (28/10/2020).

Setelah perang usai pada 1918, aktivitas tenun cual dibuka kembali.

Tenun ini mulanya hanya diperuntukan bagi kalangan tertentu saja.

Ini disebabkan bahan baku yang sulit didapat, serta proses pengerjaannya yang rumit.

Biasanya, tenun cual digunakan untuk upacara adat, upacara keagamaan atau acara pernikahan.

Motifnya yang unik serta lembut saat dipakai, membuat masyarakat menggandrunginya.

Bangsa Belanda dan Inggris yang ketika itu mengauasai Tanah Air juga menaruh perhatian.

Tenun cual dipasarkan hingga akhirnya menyebar di negara-negara Eropa.

Di dalam negeri, tenun cual menyebar di Sumatera hingga ke Kalimantan.

Menurut Isnawati, tenun cual memiliki sejarah panjang.

Diperkirakan muncul sejak abad ke-17.

Akulturasi budaya

Palembang sebagai bandar dagang sejak zaman Sriwijaya memberi andil terhadap perdagangan masyarakat, termasuk tenun cual.

Secara geografis, Bangka dan Palembang dulunya merupakan satu kesatuan.

Bahkan, hingga zaman kemerdekaan tergabung dalam Provinsi Sumatera Selatan.

Barulah pada Era Reformasi, Bangka memisahkan diri menjadi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

"Akulturasi budaya melayu dan Tionghoa sangat terlihat dari tenun cual ini. Penggunaan warna merah marun begitu dominan. Kemudian banyak terdapat motif burung Hong dan naga bertarung," ujar Isnawati.

Tenun cual merujuk pada kata cual yang bermakna kain yang dicelup.


Proses pembuatan

Dalam proses tradisional, menurut Isnawati, benang kain cual dicelup menggunakan pewarna alami.

Pembuatan motif pun dilakukan saat proses pewarnaan benang.

Barulah benang-benang tersebut disusun atau ditenun, sehingga menjadi lembaran kain dan membentuk motif tertentu.

"Bisa dibayangkan betapa rumit dan lamanya untuk membuat selembar tenun cual itu. Para penenun harus bekerja dengan hati yang tenang agar susunan benang-benang tidak ada yang salah," kata dia.

Saat ini, hanya tinggal segelintir pengrajin yang memproduksi tenun cual di Muntok.

Peralatan terbuat dari kayu, masih sama seperti beberapa abad lampau.

Pengerjaan tenun dilakukan dengan sistem ungkit dan ikat.

Ini pula yang menjadi ciri khas Sumatera sebagai penghasil tenunan. Berbeda dengan Pulau Jawa yang kebanyakan dengan cara membatik.

"Ada juga tenun di Lombok, tapi mereka menggunakan katun dan tidak menggunakan benang emas. Kalau ciri khas cual adalah sutra dan benang emas," kata Isnawati.

https://regional.kompas.com/read/2020/10/29/09395571/kisah-tenun-cual-khas-bangka-meredup-karena-perang-dunia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke