Salin Artikel

Teater Tak Mati di Tengah Pandemi

Ketua Umum Teater Gabung Unsika Shahal Rizki menuturkan, pertunjukan teater membutuhkan kerumunan orang yang sayangnya tidak mungkin ada di masa pandemi ini.

"Kerumuman orang bukan hanya penonton. Pertunjukan teater adalah seni kolektif. Di sana ada aktor, tim musik, tim tata cahaya, tim tata panggung, tim artistik, tim produksi, dan lain-lain," ungkap Shahal kepada Kompas.com, Jumat (23/10/2020).

Bagi mereka mengoordinasikan semuanya agar berjalan dengan lancar tanpa perlu bertemu fisik adalah sesuatu yang baru. Beruntung, sambung Shahal, Teater Gabung dikelilingi orang-orang hebat.

"Bantuan tidak hanya datang dari internal Teater Gabung, tapi juga dari eksternal. Terima kasih."

Teater Gabung, kata Shahal, mengirim dua pertunjukan dalam lomba Siliwangi Monologue Event 2020 se-Jawa Bali yang diselenggarakan Universitas Siliwangi Tasikmalaya.

"Target juara sudah pasti, semua orang yang ikut lomba pasti ingin jadi juara. Tapi di luar itu, kami ingin menantang diri kami sendiri, sejauh mana kami bisa menggarap sebuah pertunjukan di masa pandemi ini," ujarnya.

Teater Gabung memilih naskah Tua karya Putu Wijaya. Shahal Rizki di bawah penyutradaraan Faizol Yuhri, dan Fatimah Maya di bawah penyutradaraan Ahmad Farid.

Pepi menyebut di naskah ini, Putu memberi keleluasaan penafsiran bagi penggarap. Putu hanya menuliskan peristiwanya. Perkara lain seperti apa yang terjadi di belakang teks, latar belakang sosial politik di balik peristiwa, dan hubungan sebab akibatnya, semuanya dikembalikan ke penggarap.

"Kami merasa paling siap menggarap naskah ini dengan segala keterbatasan kami," kata Yuhri yang akrab disapa Pepi saat ditanya alasan memilih naskah tua.

Meski menggarap naskah yang sama, ada perbedaan penafsiran antara masing-masing pertunjukan. "Saya merasa, apa yang dikisahkan si 'aku' dalam naskah ini adalah peristiwa yang sudah terjadi.

Makanya, kami memunculkan bekas-bekas dan tanda-tanda sebagai akibat dari peristiwa yang mengubah hidup si 'aku' dalam naskah," ungkap Pepi.

Sementara yang ditafsirkan dari tim A yang disutradarai Farid, kisah yang dimunculkan 'aku' sedang terjadi. Peristiwanya sedang dan masih berlangsung.

Konsekuensi dari dua penafsiran ini adalah latar belakang tempat dan waktu. Tim B mengambil latar belakang tahun 1980-an. Sementara tim A mengambil latar belakang masa sekarang. Perbedaan latar tempat dan waktu ini menjadikan pertunjukan unik satu sama lain.

"Benar semua pertunjukan dimulai dari ketakutan si 'aku' dalam naskah pada entitas di masa lalu. Namun, dua entitas ini berbeda sesuai dengan lantar waktunya," imbunya.

Seperti diketahui, Siliwangi Monologue Event adalah kegiatan rutin Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Tahun ini, ada 30 lebih kelompok teater yang berpartisipasi dari Jawa dan Bali. Perlombaan dan penilaian dilakukan secara daring. Masing-masing kelompok teater merekam pertunjukannya lalu mengunggahnya. 

https://regional.kompas.com/read/2020/10/23/12150261/teater-tak-mati-di-tengah-pandemi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke