Salin Artikel

Cerita Para Pasien Covid-19 yang Isolasi Mandiri, Tak Dipantau Petugas hingga Terpaksa Keluar Rumah

Sejumlah pasien Covid-19 yang menjalani isolasi mandiri di berbagai daerah menceritakan pada BBC Indonesia, bagaimana mereka dapat keluar kamar bahkan keluar rumah dengan leluasa.

Mereka juga ada yang mengklaim tak mendapat pengawasan serta kontak tracing (penelusuran kontak) dari petugas.

Hingga kini kebijakan isolasi mandiri di rumah masih diterapkan. Kendati demikian, pemerintah lebih mendorong para pasien tanpa gejala hingga bergejala ringan untuk menjalani isolasi di fasilitas yang disediakan oleh pemerintah.

Pemerintah lalu mengambil strategi meningkatkan pusat karantina dan isolasi mandiri di daerah, salah satunya melalui kerja sama dengan pihak hotel dan memanfaatkan fasilitas publik.

"Selama isolasi di rumah, ternyata tidak dipantau sama petugas, tidak ada yang kasih kabar. Bahkan tahu positif dari teman-teman, bukan petugas," kata Rizal kepada wartawan BBC News Indonesia akhir September lalu.

Rizal menambahkan, petugas juga tidak melakukan penelusuran kontak seusai ia dinyatakan positif.

"Tracing contact [tidak ada] dari petugas. Tidak ditanya pernah kontak dengan siapa saja, melakukan aktivitas di mana, tidak ditanya. Bahkan yang minta tracing itu isteri yang nanya, bagusnya bagaimana buat keluarga. Soalnya kalau sudah dinyatakan positif, ditanya keluarga kontak tidak, ini tidak ditanya," kata Rizal yang kini hasil tesnya telah negatif.

Saat terkonfirmasi positif terjangkit virus corona, Rizal yang tidak menunjukkan gejala Covid-19 masih bekerja di ruang terbuka dan bertemu dengan orang lain. Keesokannya, ia memutuskan isolasi mandiri.

Setelah menjalani isolasi di rumah, Rizal melanjutkan ke fasilitas pemerintah selama 5-6 hari.

Selama di sana, ia mengaku mendapat fasilitas yang lebih baik dibandingkan isolasi di rumah, dan menciptakan gaya hidup sehat serta taat protokol kesehatan.

Karenanya ia berharap agar setiap pasien Covid-19 dapat menjalani isolasi di fasilitas pemerintah, dibandingkan isolasi di rumah.

Ia mengkritik ketiadaan standar operasi penanganan bagi pasien yang melakukan isolasi mandiri di rumah yang kemudian memunculkan anggapan adanya "pengabaian".

"Untungnya pemahaman saya tidak bodoh-bodoh amat. Saya baca-baca, sebisa mungkin jaga jarak dengan orang di sekitar rumah, segala macam dilakukan sendiri. Akhirnya cari-cari informasi sendiri," kata Martin yang tidak menunjukkan gejala Covid-19.

Ia menyebut mendapatkan penelusuran kontak dari petugas kesehatan dan hasilnya ibu Martin -tinggal bersama- dinyatakan negatif.

Martin kini sudah beraktivitas setelah hasil tes swab kedua dinyatakan negatif.

Protokol yang 'kurang tersampaikan'

Kementerian Kesehatan sebenarnya telah mengeluarkan surat edaran protokol isolasi diri sendiri dalam penanganan Covid-19. Namun protokol itu disebut "kurang tersampaikan" kepada masyarakat.

Dalam protokol tersebut, poin di antaranya adalah pasien jangan pergi bekerja dan ke ruang publik, gunakan kamar terpisah, lakukan pengukuran suhu harian, dan terapkan perilaku hidup bersih dan sehat, serta hubungi segera fasilitas pelayanan kesehatan jika sakit memburuk.

"Dipantau oleh puskesmas setempat melalui HP atau apa, dipantau suhu tubuhnya seperti apa, kemudian diingatkan minum vitamin apa, itu dipantau oleh puskesmas setempat. Lalu mengenai tracing, kami setelah dapat informasi dari pasien, langsung dilakukan tes kontak erat seperti keluarga di rumah," kata Daud yang tidak mengetahui berapa jumlah pasien isolasi mandiri di rumah.

Daud memang mengakui adanya kelemahan sistem isolasi di rumah - pasien hilir mudik, "tapi jika ada laporan, tim kesehatan langsung segera membawa ke pusat isolasi," katanya.

Di Kabupaten dan Kota Bandung, tingkat keterisian tempat tidur pasien tanpa gejala di pusat isolasi sebesar 33,82% dari total 1.020. Sementara di Bogor, Depok dan Bekasi terdapat 315 kapasitas kamar (tiga hotel).

Artinya, masih banyak tempat bagi pasien untuk menjalani isolasi di fasilitas pemerintah.

"Isolasi mandiri di rumah boleh, kita lihat punya kamar isolasi sendiri, kamar mandi sendiri, itu bisa tapi diupayakan isolasi di pusat-pusat isolasi kita," katanya.

Berdasarkan data pada akhir September lalu, jumlah pasien tanpa gejala di Jawa Barat sekitar 70% dari dari total hampir mencapai 24.000 kasus.

Selama isolasi di kos, ia mengungkapkan terpaksa keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti membeli makan.

"Mau tidak mau [keluar], apalagi saya tinggal di kos, semua sendiri, beli sendiri, masak sendiri. Sebisa mungkin saya lakukan pakai masker, sarung tangan, hand sanitizer, kalau di luar itu ada kelolosan, mau bagaimana," katanya.

"Ada juga teman saya yang merasa badannya sehat padahal positif dan lagi isolasi di rumah, tapi ia tidak jaga diri, keluar rumah, ke tempat keramaian. Tidak merasa takut dan bersalah dan tidak ada pemantauan. Itu lemahnya isolasi rumah, sulit diawasi," cerita Putri.

Di kosnya, tetangga Putri dinyatakan terinfeksi virus corona pada saat dilakukan penelusuran oleh petugas kesehatan.

"Tim menelusuri siapa saja yang kontak erat dengan saya," katanya.

Putri beranggapan isolasi di rumah tidak efektif untuk dilaksanakan karena selain bisa keluar rumah, juga memunculkan beban sosial.

"Ada beban sosial dan psikologi kalau di kos karena ada ibu kos yang punya anak kecil, teman-teman kos. Kalau menurut saya seluruh pasien dirawat di fasilitas pemerintah, jangan ada lagi yang isolasi di rumah. Selain menutup potensi penularan, layanan kesehatan, vitamin dan makanan juga dijamin," katanya yang kini sedang menjalani isolasi di rumah sakit.

Parto (bukan nama sebenarnya), warga Makassar, Sulawesi Selatan, yang menjalani tes swab usai bapak mertuanya positif Covid-19 mengatakan, kondisi rumahnya memungkinkan dilakukan isolasi mandiri.

"Makan dikirim dan pesan online selama 12 hari. Dalam rumah kosong, saya sendiri, keluarga di rumah yang lain, Isolasi di rumah pilihan terbaik buat saya," kata Parto yang dinyatakan positif dua minggu sebelum pernikahannya kepada wartawan BBC News Indonesia.

Parto yang tidak menunjukkan gejala Covid-19 itu mengatakan, tidak pernah keluar rumah selama isolasi. Ia juga mengatakan, selama isolasi tidak ada pendampingan dari petugas kesehatan.

"Tidak ada yang biasanya mengawasi positif atau bagaimana itu tidak ada, tidak ada sama sekali, murni mandiri," kata Parto yang diduga terinfeksi Covid-19 saat mengurus proses pernikahan.

Ketua Komisi Pemilihan Umum Kota Makassar Farid Wajdi juga memilih melakukan isolasi di rumah setelah dinyatakan positif Covid-19 karena rumahnya memiliki fasilitas yang memadai dan dapat melakukan aktivitas yang menyenangkan, dibanding di tempat lain.

"Saya memilih rumah karena harus membaca, olahraga tiap hari, yang menyenangkan di rumah. Saya khawatir kalau di tempat lain akan kesulitan," kata Farid.

Farid menambahkan, selama isolasi, ia tinggal sendiri di rumah dan telah mengungsikan anggota keluarganya ke tempat lain. Tim kesehatan pun rutin melakukan pemantauan ke rumahnya.

"Mereka [pasien] itu rata-rata bandel, kurang disiplin, tetap berkeliaran bahkan masuk kantor, terus kondisi sosial rumah mereka banyak yang tidak layak untuk isolasi mandiri, misalnya satu rumah hanya memiliki satu kamar mandi yang dipakai bersama, itu tidak layak."

"Yang ketiga khusus masyarakat di pemukiman kumuh yang padat, kontrakan, petak-petak tidak mungkinlah isolasi mandiri," kata Husni.

Akibatnya kata Husni, isolasi di rumah jadi salah satu penyebab lahirnya klaster rumah tangga yang berkontribusi terbesar penularan Covid-19.

"Bapaknya dulu [terinfeksi], dua hari berikutnya ibunya, lalu istrinya juga, dan anaknya. Ini akibat apa? Karena akibat isolasi mandiri," kata Husni yang mengatakan hingga kini Makassar masih masuk dalam zona merah.

Menyadari kelemahan isolasi mandiri di rumah, Pemprov Sulsel telah bekerja sama dengan hotel sebagai tempat isolasi terpusat yang dinamai "Wisata Duta Covid".

"Jadi seluruh pasien tanpa gejala di Sulsel didorong untuk ke hotel. Tidak boleh ada penderita Covid berkeliaran, biaya seluruhnya ditanggung pemerintah," kata Husni.

"Isolasi di rumah hanya boleh dilakukan jika memenuhi syarat ketat yaitu rumah layak, keluarga dan lingkungan rumah mendukung isolasi. Tapi sekarang gagal karena syarat itu tidak dipenuhi. Untuk itu, sebaiknya isolasi dilakukan di fasilitas pemerintah," katanya.

Seperti di Bogor, klaster keluarga menjadi peringkat tertinggi -sekitar 34%- penyebab penularan Covid-19. Pakar epidemiologi menyebut klaster keluarga tersebut bisa berkontribusi hingga 85%.

Lalu di Kota Bekasi, data hingga Senin (28/09), terdapat 351 klaster keluarga dengan total 881 jiwa.

Kemudian di Bandung, terdapat 299 orang dari 109 kepala keluarga yang positif Covid-19, data hingga Kamis (24/09).

Yunis menambahkan, klaster keluarga juga muncul akibat kurangnya aktivitas penelusuran dan pemantauan tim kesehatan kepada para pasien isolasi rumah tersebut.

Seperti contoh, di Jakarta penelusuran kontak menurun drastis dari 20-30 kasus pada April lalu menjadi di bawah 10 kasus saat ini.

"Pengawasan, pendampingan, dan pemantauan kepada pasien yang isolasi di rumah sangat minim yang berdampak mereka jadi tidak patuh," katanya.

"Di pemerintah, semua Satgas terlibat penanganan Covid-19, kita mendorong peningkatan pusat karantina dan isolasi mandiri bekerja sama dengan satuan hotel. Kita juga menyediakan tempat-tempat isolasi mandiri di berbagai hotel di daerah," kata Juru Bicara Kemenko Kemaritiman dan Investasi, Jodi Mahardi.

Menurut Jodi, di Jakarta sudah ada 10.161 kamar hotel dengan keterisian 4.985 unit. Kemudian di Jawa Tengah, terdapat 6.899 kapasitas dengan keterisian 64 kamar, termasuk juga di provinsi prioritas lainnya.

"Karena banyak penularan di klaster keluarga maka daerah diperintahkan oleh Pak Menko untuk segera mempersiapkan tempat-tempat isolasi mandiri, antara lain kerja sama dengan perhotelan yang dijadikan khusus menapung orang-orang yang akan diisolasi secara terpusat," katanya.

Jodi juga mengatakan pemerintah akan mendorong peningkatan tim penelusuran dan jumlah tes karena kondisi sekarang belum ideal - seperti Jakarta baru tersedia sekitar seribu orang dari kebutuhan 3.300 orang.

"Di Jakarta itu tiga perempat kapasitas tes itu tes mandiri, sementara tes surveillance hasil penelusuran hanya 3-4 ribu per hari, itu akan ditingkatkan dan Pak Menko juga menekan agar harga tes lebih terjangkau," tambahnya.

Terdapat tiga strategi utama pemerintah di bawah komando Luhut yaitu perubahan perilaku masyarakat agar disiplin protokol kesehatan, peningkatan testing dan tracing, dan peningkatan jumlah pusat isolasi terpusat yang diikuti dengan peningkatan manajemen perawatan pasien Covid-19.

Berdasarkan data pada akhir September lalu, terdapat 106 hotel yang dibiayai pemerintah sebagai pusat karantina mandiri.

Kemudian hingga Senin (05/10), total kasus positif di Indonesia terus meningkat menjadi 307.120 kasus dengan korban meninggal mencapai 11.253 orang yang menempatkan Indonesia berada di urutan 22 total kasus terbanyak di dunia.

Korban meninggal terbesar terjadi di Jawa Timur (22 orang), DKI Jakarta (16 orang) dan Jawa Barat 15 orang.

https://regional.kompas.com/read/2020/10/07/06120041/cerita-para-pasien-covid-19-yang-isolasi-mandiri-tak-dipantau-petugas-hingga

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke