Salin Artikel

Belajar Hidup Selaras dengan Alam dari Warga Lereng Gunung Merapi

Hal itulah yang membuat mereka sampai saat ini bisa hidup harmoni di tengah ancaman erupsi.

Kebudayaan atau kearifan lokal dan ilmu pengetahuan menjadi mitigasi yang digunakan masyarakat hingga saat ini.

Hingga setelah erupsi Gunung Merapi pada 2010, muncul istilah living in harmony with disaster.

"Pada dasarnya setiap masyarakat itu punya kearifan lokal sendiri-sendiri, termasuk di tempat saya tinggal," ujar Indra Baskoro Adi warga Dusun Turgo, RT 03/RW 02, Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Sabtu (29/08/2020).

Indra menyampaikan desa tempatnya tinggal berada di Lereng Gunung Merapi.

Jaraknya sekitar 5 kilometer dari puncak Gunung Merapi. Di tempat tinggalnya terdapat empat RT yang dihuni 500 jiwa dari 182 Kepala Keluarga (KK).

Masyarakat di desanya menganggap Gunung Merapi sebagai orang tua, yang hidup dan mempunyai napas.

Ketika Gunung Merapi aktivitasnya meningkat, warga masyarakat memaknai jika "eyang" sedang mempunyai hajat.

Tidak hanya di desanya, tetapi sekitar Lereng Merapi sisi selatan juga mempunyai kearifan lokal yang sama.

Ketika Merapi meletus, dimaknai oleh masyarakat Merapi sedang punya "gawe".

"Memaknai itu artinya, kalau orang dekat pasti paham, simbah lagi punya hajat atau punya gawe. Nah, gawene arep metu ngendi, apakah metu kulon opo kidul? tandane opo," ucapnya.

Menurutnya tanda-tanda tersebut bisa datang lewat mimpi.

Orang tersebut menyampaikan pesan dengan bahasa Jawa kepada ayah mertuanya.

Pesan tersebut kurang lebih, memberitahu sekitar 10.30 siang, Eyang Sapu Jagat Merapi mau sowan ke Nyi Loro Kidul melewati Sungai Boyong.

Orang tersebut meminta agar warga masyarakat menyingkir terlebih dahulu.

"Arti dari pesan itu, guguran kubah lava itu bisa mengarah ke Sungai Boyong, nah supaya selamat bergeser ke arah barat dahulu," ungkapnya.

Sejak saat itu, ketika Gunung Merapi akan erupsi, ayah mertuanya pasti mendapat mimpi. Orang yang datang dalam mimpi juga sama.

"Orangnya sama, memakai lengan panjang, celana panjang memakai keris, memakai ikat gadung melati," ungkapnya.

Sebelum terjadi awan panas Gunung Merapi 1994, ayah mertuanya melihat benang putih "Nglawer".

Ternyata itu menjadi tanda batas wilayah yang akan dilewati awan panas.

"Sadar itu setelah letusan, ternyata benang putih yang dilihat itu batas awan panas Merapi. Makanya kepekaan membaca tanda, ini ada tanda, ini akan ada apa?" bebernya.

Masyarakat di Dusun Turgo juga mengenali tanda-tanda aktivitas Gunung Merapi dari suara  kijang.

Jika ada warga masyarakat yang mendengar suara kijang, maka tanda Gunung Merapi akan meletus.

"Di kampung saya juga ada kesepakatan kalau ada suara kidang (kijang), itu (artinya) ada dua, bisa warga lokal ada yang meninggal, bisa juga dalam kurun waktu tertentu erupsi Merapi," urainya.

Suara kijang tersebut biasanya berasal dari arah timur Bukit Plawangan, atau sisi barat daya Gunung Merapi dari Dusunnya.

"Itu hanya suara, tapi pertanyaan saya kidang itu benar kidang tenanan (benar hewan) atau kidang-kidangan (bukan kijang yang sebenarnya). Suaranya itu kadang pagi, kadang sore, kadang juga malam, selepas benar atau tidak itu kuasa Yang Maha Kuasa," urainya.

Indra yang saat ini bekerja di Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta ini beberapa kali mencermati hal itu.


Bahkan, dari beberapa kali erupsi Gunung Merapi yang akhir-akhir ini terjadi, memang sebelumnya mendengar suara kijang terlebih dahulu.

"Apakah itu benar atau tidak, selama ini kami mencoba menghitung, oh tanggal ini ada suara kidang, seminggu setelahnya ada erupsi itu saya titeni (cermati) hampir empat sampai lima kali. Ya yang akhir-akhir ini saja, tanggal 21 yang kemarin, ada lagi 2 Juni, 3 Maret, tapi suara itu ya dalam jangka waktu seminggu paling tidak pasti ada kejadian," tegasnya.

Hanya saja informasi-informasi yang bersifat kearifan lokal tersebut memang harus ada yang bisa menerjemahkan, sehingga bisa diterima oleh masyarakat.

"Sebetulnya kalau kita peka, kalau orang Lereng Merapi menyebutnya olah rasa, soal peringatan dini itu sarana, tergantung peka atau tidak. Permasalahanya, tidak semua masyarakat bisa menerjemahkan dan tidak bisa menginformasikan, kalau saya pakai dua-duanya, kajian pengetahuan tentang Gunung Api dan kajian lokal, biar saling melengkapi," ungkapnya.

Diungkapkannya kearifan lokal tersebut masih dilestarikan oleh orang-orang tertentu yang hidup di Lereng Gunung Merapi, khususnya para orang-orang tua.

"Orang-orang tertentu, orang-orang generasi lalu, seumuran ayah mertua saya lah. Orang-orang yang tua-tua pasti bisa cerita ada perubahan karakter Merapi dulu dengan sekarang, karena itu tadi olah rasa dan kepekaan," tandasnya.

Di setiap wilayah di lereng Gunung Merapi mempunyai kearifan lokal sendiri-sendiri.

Kearifan lokal ini, menurut Indra cukup menarik jika dicatat kemudian dibukukan.

"Tinggal orang itu mau menjahit atau menyetrika ceritanya atau tidak, kalau mau belajar konteks Merapi banyak sekali, di Selo ada ceritanya sendiri, di Tlogolele ada, dan sebagainya," bebernya.

Indra melihat ada perubahan tren persepsi masyarakat dalam melihat bahaya erupsi Gunung Merapi.

Saat ini persepsi masyarakat melihat risiko bahaya erupsi Gunung Merapi jauh lebih baik.

"Berhubung tesis saya di Turgo, jadi tahu persepsi masyarakat zaman 1994, 2006, 2010 sampai sekarang melihat bahaya Merapi jauh lebih baik sekarang. Kalau dulu tidak tahu apa itu awan panas, jadi ada tren perubahan persepsi atas risiko kan bagus," ungkapnya.

Perubahan persepsi ini karena adanya penyebaran informasi tentang sistem peringatan dini hingga ke tingkat paling bawah yakni masyarakat.

"Artinya dengan melihat status Merapi mulai dari normal, waspada, siaga, awas itu sudah bagus. Warga masyarakat itu yang penting tahu status dan rekomendasinya sudah cukup, tidak usah harus tahu gempa low frequency-nya berapa ya, gempa tektoniknya berapa ya, setiap status kan punya rekomendasi untuk direspons," ujarnya.


Masyarakat di Turgo yang tempat tinggalnya radius 5 Km dari puncak Gunung Merapi juga telah melakukan pemetaan risiko bencana, termasuk membuat jalur evakuasi, titik kumpul beserta rambu-rambunya.

Bahkan, masyarakat membuat pos pengamatan Gunung Merapi secara mandiri.

"Ada pos pemantauan di RT 1 dan RT 4, itu mandiri. Ya karena itu tadi sadar risiko, karena pernah mengalami kejadian, beda kalau belum pernah mengalami," ungkapnya.

Inisiatif masyarakat membangun pos pengamatan mandiri Gunung Merapi muncul pasca erupsi 1994, tepatnya pada 1997.

Setiap warga yang bertugas di pos pemantauan juga bergantian.

"Ternyata masyarakat bisa berperan partisipatif, ya bisa, wong rumahnya dekat dengan gunung, kok tanya orang yang jauh. Masyarakat bisa melihat secara visual, oh ada suara gemuruh, oh asapnya tebal, masyarakat bisa melihat asal tidak tertutup kabut, kalau kabut ya hanya memantau suara seismik di HT," ujarnya.

Di masyarakat Turgo juga ada iuran seikhlasnya. Uang yang terkumpul dari masyarakat tersebut digunakan untuk tabungan siaga bencana.

Sehingga sewaktu-waktu harus mengungsi, uang tersebut bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat.

Selain itu juga untuk keperluan warga masyarakat saat piket memantau aktivitas Gunung Merapi.

"Jadi tidak menunggu pemerintah, saat di barak pengungsian tidak ketergantungan, tetapi mandiri makanya kita gerakan namanya pengurangan risiko bencana berbasis komunitas," bebernya.

Selain itu, warga masyarakat yang tinggal di Turgo juga ada kesepakatan, mengungsi itu untuk mencari selamat. Bukan mengungsi untuk mencari makan.

"Mencari selamat itu kalau dimasukan kearifan lokal juga bisa, keyakinan akan selamat itu tinggi. Selamat dari apa, dari bahaya," tandasnya.

Masyarakat juga telah mempersiapkan segala sesuatu ketika harus mengungsi. Surat-surat penting, pakaian, mie, air mineral dan hingga beras disimpan dalam satu tempat yang mudah dibawa.

Sehingga ketika harus mengungsi, barang-barang itu yang dibawa.

"Sudah membawa beras, air mineral, mie instan, pakaian secukupnya dan surat-surat penting. Warga membawa beras per keluarga, nanti saat di barak beras itu di jadikan satu untuk dimasak," urainya.

Disampaikannya, di status siaga, ada yang namanya pengungsian mandiri dan terbatas untuk lansia serta ternak. Mandiri itu artinya inisiatif dari warga agar selamat karena sadar risiko.

"Walaupun status siaga, orang Turgo itu sudah menjalankan seperti status awas, karena radius Dusun Turgo 5 Km. Sekarang statusnya waspada, tetapi perilaku warga ya sudah siaga, kalau dinaikan siaga, perilaku warga itu status awas, mulai parkir motor tidak sembarangan harus menghadap jalur evakuasi," ucapnya.

Berbagai bentuk mitigasi bencana tersebut dilakukan karena inisiatif warga.

Mengacu pada pengalaman-pengalaman yang dialami terkait kejadian erupsi Gunung Merapi. Terlebih pengalaman erupsi besar pada 2010.

"Ancaman Merapi permanen, harus bisa mengerti makna perubahan status, makna erupsi Merapinya. Sederhananya seperti sepak bola, menang atau kalah tergantung sering latihan atau tidak, sama halnya bencana. Tingkat korban tinggi, sedang atau rendah tergantung kerentanan dan kapasitas warga, pengetahuan ke gunung apian, kearifan lokal," ungkapnya.

https://regional.kompas.com/read/2020/10/05/12232451/belajar-hidup-selaras-dengan-alam-dari-warga-lereng-gunung-merapi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke