Salin Artikel

Rindu Dendang Suku Bajau di Teluk Tomini

Dia kesulitan berjalan setelah kakinya terluka beberapa tahun lalu, bahkan untuk mengucapkan syair-syair yang acap didendangkan di tengah laut pun suaranya terdengar lirih. Usia telah memakan ingatannya.

Lelaki renta ini menghabiskan waktunya di rumah. Dia sudah tidak melaut lagi sejak setahun lalu.

Dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama cucunya, bahkan jaring ikan yang menumpuk di sudut teras sudah lama tak disentuhnya.

Sansang meminta anaknya, Una Pasandre (46), untuk memanggilkan Pua Sena yang rumahnya tidak jauh dari tempat tinggalnya.

Una bergegas dengan langkah cepat, telapak kakinya menggetarkan lantai rumah yang terbuat dari papan hingga di jalan belakang.

“Pua Sena yang lebih banyak hafal syair-syair orang Bajau saat melaut,” kata Sansang Pasandre ke Zuriyati Taha, staf Kantor Bahasa Provinsi Gorontalo, yang tengah menggelar Reksa Bahasa di Desa Torosijae Laut, Rabu (30/9/2020).

Saat Una datang membawa kabar Pua Sena tidak ada di rumah, Sansang Pasandre tidak bersuara.

Dia menatap lama-lama cakrawala Teluk Tomini di depan rumahnya, tempat para suku Bajau mencari ikan.

Seakan dia mencari warganya yang melaut mendendangkan lagu-lagu Bajau masa lalu.

Namun tiba-tiba dari dapur terdengar suara keras melengking, itu suara Incemina Pasandre (73), istri Sansang yang tengah asyik dengan kompor barunya.

Dia mendendangkan sebuah lagu yang lama tidak dinyanyikan.

“Kami sering menyanyikan lagu itu setelah meninggalkan rumah, berperahu mencari ikan,” ujar Incemina dari dapur.

Incemina bergabung dalam pembicaraan seru bersama para sejumlah anak muda Duta Bahasa dari Kantor Bahasa Provinsi Gorontalo.

Incemina bercerita, saat masih kuat untuk turun mencari ikan atau teripang di sekitar desanya, pinggiran hutan bakau, pasti mendendangkan lagu ini. 

Saat layar mulai mengembangkan atau dayung sudah dikayuh meninggalkan rumahnya, lagu jadi ungkapan hati yang tengah mencari rezeki.

“Sejak dua tahun lalu saya sudah tidak turun (melaut),” ujar Incemina yang lahir dan besar di desa Torosiaje.

Melalui tradisi lisan ini, suasana sosial dan ruang batin mereka dapat dipahami.

“Nenek moyang kami datang dari selatan sebelum menetap di desa ini. Dulu mereka meminta izin untuk membuat rumah di toro (tanjung) si Aje. Aje ini adalah nama seseorang yang telah lama menetap di sini. Ketika perkampungan di atas air ini berkembang, maka orang mengenal sebagai Desa Torosiaje,” ujar Sansang Pasandre.

Menurut Sansang Pasandre, Desa Torosiaje ini mulai dihuni masyarakat Bajau sejak awal 1900.

Mereka membangun rumah kayu dari pohon bakau yang banyak tumbuh di pesisir selatan Kecamatan Popayato.

Jarak antar rumah agak berjauhan sehingga jika berinteraksi dengan tetangga mereka harus naik perahu.

Desa Torosiaje sejak lama dikenal sebagai perkampungan nelayan yang berada di atas permukaan laut.

Masyarakat Bajau di desa ini membangun rumahnya dengan tiangt-tiang kayu di atas karang atol.

Pola persebaran rumah di perkampungan ini menyerupai jepit kepiting.

Kanan kirinya berupa deretan rumah-rumah panggung yang saling terhubung dengan koridor kayu yang berfungsi sebagai jalan.

Di antara deretan rumah memanjang ini, terdapat ruang luas yang dibiarkan sebagai lalu lintas perahu dan gerbang menuju laut Teluk Tomini yang biru.

Di ruang tengah ini terdapat bendera putih yang berkibar sepanjang tahun. Bendera yang memiliki arti khusus bagi suku Bajau.

Untuk bisa sampai di Desa Torosiaje ini, pengunjung harus menyeberangi laut dari dermaga daratan Pulau Sulawesi.

Di dermaga ini para ojek motor menanti penumpang yang akan ke Desa Torosiaje, cukup membayar Rp 5.000 untuk mengantarkan pengunjung ke desa eksotik di tengah laut ini.

Latif (64), warga Bajau yang tinggal di darat menuturkan, leluhur mereka adalah pengelana lautan sejati.

Berbulan-bulan mereka mencari ikan dan teripang di laut.

Seluruh aktivitas kehidupan hanya dilakukan di atas perahu mungil yang didesain sebagai rumah tinggal, memiliki atas dan perlengkapan masak di dalamnya, meski sangat sederhana.

“Leluhur kami menginjak daratan hanya saat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, selebihnya mereka mengelana di atas laut,” ujar Latif.

Ungkapan hati pada keluarga atau kekasih sering terucap pada nyanyian mereka, rindu dalam kesepian di tengah samudra raya menghasilkan syair-syair yang menyayat hati.

Namun takdir menjadi manusia Bajau tetap dijalani dalam kesunyian.

Dari Desa Torosiaje Jaya yang berada di daratan, lamat-lamat terdengar syair Bajau yang dinyayikan tanpa iringan alat musik.

Daya subbatang di billa ka santang

Paboko kami ka lana aloang

Kalau intangku pasang lakuku boe mataku alo-aloang

Sikakatumppa sikakalopa

Paboko kami kasapa Aloang

Kalau intangku pasannu iru boe mataku alo- aloang

Suara serak kering menyayat ini berasal dari mulut Umar Pasandre di tengah malam.

Umar yang  dikenal sebagai nelayan penjaga hutan mangrove di tiga desa Bajau serumpun ini mendendangkan kisah pemuda yang pergi melaut berbekal ikan cakalang asap yang disantani menuju gugusan karang di Aloang (sebuah tempat di Teluk Tomini).

Pemuda ini selalu teringat pesan kekasih hatinya yang berada di kampung, hatinya tersayat-sayat bercucuran air matanya.

“Kami selalu rindu kehidupan leluhur kami yang menjelajah lautan, tabah menghadapi cobaan dan tangguh menjalani kehidupan,” ujar Umar Pasandre.

Umar mengaku zaman tidak bisa diputar, tapi kehidupan masa lalu leluhurnya masih bisa dihadirkan di desanya.

Dia bermimpi mendirikan pusat informasi suku Bajau untuk menyajikan barang dan peralatan leluhurnya sebagai artefak kehidupan yang dapat dilihat dan dipelajari oleh kaum muda.

“Kami berharap dapat menghadirkan rumah  adat Bajau aslinya. Termasuk dokumentasi tradisi lisan yang pernah dimiliki leluhur kami,” ujarnya lirih.

Seiring waktu, masyarakat Bajau perkembang semakin banyak, mereka membangun rumah di atas gugusan karang di Teluk Tomini, lepas dari daratan Pulau Sulawesi.

Mereka benar-benar hidup di atas laut, bahkan saat laut surut pun masih menyisakan air di bawah rumah mereka.

Lamun bergoyang-goyang dimainkan arus, sejumlah ikan warna-warni terlihat bergerombol mencari makan di bawah rumah kolong ini.

Suku Bajau semakin banyak, melalui program pemukiman suku terasing pemerintah berusaha membuatkan rumah bagi pengelana lautan di daratan.

Hingga kini ada dua desa di daratan yang dihuni masyarakat Bajau, Desa Bumi Bahari dan Torosiaje Jaya.

Masyarakat di ketiga desa ini masih menyebut diri sebagai masyarakat Bajau serumpun.

“Jumlah warga Desa Torosiaje sebanyak 425 Kepala Keluarga atau 1448 jiwa yang tersebar di 4 dusun, Sengkang, Mutiara, Bahari Jaya dan Tanjung Karang,” kata Uten Sairullah (32), Punggawa (kepala desa) Torosiaje.

Uten menjelaskan, sebagian besar penduduk Torosiaje masih setia dengan pekerjaan leluhur mereka sebagai nelayan.

Jumlahnya sekitar 96 persen, sisanya yang empat persen bekerja sebagai pedagang dan pengusaha yang membuka kios atau rumah makan di perkampungan ini.

Jumlah penduduk yang banyak hingga ribuan jiwa tinggal di rumah kayu di atas laut bukan tanpa masalah, Uten Sairullah menyebutkan air bersih masih menjadi kendala dalam pemenuhan kebutuhan dasar.

Pasokan air PDAM Kecamatan Popayato dari daratan Sulawesi memang sudah ada, tapi belum semua warga dapat dijangkau layanan ini.

Di Provinsi Gorontalo, suku Bajau mendiami wilayah pesisir pantai selatan bagian barat.

Pengembara laut ini dapat ditemukan di Kecamatan Popayato dan Lemito di Kabupaten Pohuwato, dalam jumlah warga yang lebih sedikit juga dapat dijumpai di Tilamuta Kabupaten Pohuwato.


Sebagai salah satu suku di daerah ini, bahasa dan tradisi orang Bajau menjadi kekayaan budaya di Provinsi Gorontalo.

Ini menggenapi kekayaan bahasa lain yang berlaku di sini, antara lain suku Gorontalo dan Minahasa.

“Kami mendorong kaum muda Bajau untuk melestarikan bahasa daerah sendiri, mengutamakan Bahasa Indonesia dan mampu menguasai bahasa asing melalui program Reksa Bahasa yang digerakkan oleh duta bahasa,” kata Armiati Rasyid, Kepala Kantor Bahasa Provinsi Gorontalo.

Armiati Rasyid menjelaskan duta bahasa merupakan generasi muda yang diandalkan sebagai penggerak program di daerah melalui kegiatan abdi bahasa, jaga bahasa, dan niaga bahasa.

Kaum muda ini diajak ke pelosok untuk lebih mengenal dan mendalami bahasa dan kebiasaan masyarakat, seperti yang dilakukan di permukiman suku Bajau di tengah laut ini.

“Kurikulum reksa bahasa diimplementasikan di Torosiaje Kabupaten Pohuwato menjadi bagian dari kegiatan abdi bahasa, dengan tujuan menggerakkan aktivitas berliterasi bagi generasi muda di desa ini yang menyasar pemerintah dan kelompok pemuda serta literasi baca tulis untuk anak usia sekolah,” ucap Armiati Rasyid.

https://regional.kompas.com/read/2020/10/01/11332611/rindu-dendang-suku-bajau-di-teluk-tomini

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke